Mohon tunggu...
Rio Efendi Turipno
Rio Efendi Turipno Mohon Tunggu... -

Orang Bisa Disebut Besar Jika Berdiri Di Atas Kemampuannya Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ujian Nasional Menciptakan Generasi "Sim Salabim"?

25 April 2012   04:32 Diperbarui: 16 September 2015   12:09 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pro dan kontra yang muncul di tengah-tengah masyarakat dewasa ini mengenai fenomena UN perlu dilihat sebagai sebuah upaya kritis dari seluruh elemen masyarakat dengan tujuan supaya keberlangsungan proses pendidikan berjalan pada rel yang benar. Mengingat sebuah kebijakan pemerintah harus memuat ’visi’ yang kokoh, dapat dipertanggung-jawabkan, dan dapat di share ke ruang publik.

Apakah Terus menjalankan kebijakan UN, mengkaji ulang kebijakan UN, mengurangi kecurangan-kecurangan dalam praktik UN, atau menghapuskan kebijakan UN. Prinsipnya adalah pilihan-pilihan yang dapat diambil oleh pemerintah harus dilakukan dengan memiliki landasan visi yang logis secara substansial, berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan bangsa, serta dapat dipahami oleh seluruh stakeholders pendidikan.

Hanya sayang, jika kebijakan UN terus dipertahankan, maka ’sim salabim…’akan hadirlah potret generasi bangsa berikut.

Tahun 2004: Mashudi (19), siswa kelas IPS warga desa Sendy Sikucing, Rowosari, Kendal. Siswa sebuah SMA swasta di Weleri, Kab. Kendal, Jawa Tengah mencoba bunuh diri, setelah dirinya tahu tidak lulus UN (Kompas, Senin 14 Juni 2004). Generasi depresi, stres, dan bunuh diri menjadi fenomena ’gunung es’ yang mesti dicermati secara serius.

Tahun 2007: 117 siswa SMA Taman Siswa harus menerima kenyataan pahit setelah dinyatakan gagal. Menurut pengakuan siswa yang tidak lulus, umumnya mereka dinyatakan gagal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diujikan pada hari pertama. Diduga mendapatkan bocoran jawaban yang menyesatkan.

Bukankah ini menciptakan Generasi tidak pede, tidak kenal potensi diri, dan tidak jujur adalah kegagalan besar proses pemberdayaan diri siswa yang terjadi akibat dari pelaksanaan UN.

Masih pada Tahun yang sama (2007) Deden Nugraha (21), siswa cerdas yang tak lulus ujian sampai tiga kali kesempatan merupakan fenomena ‘ajaib’ yang cukup menarik untuk disimak. Semasa sekolah di Madrasah Aliyah, Deden selalu masuk ranking 2 besar di sekolahnya, bahkan pada akhir semester II kelas 3, Deden berhasil menjadi juara kelas. Nilai di Rapornya menunjukkan nilai 9 (2 buah), nilai 8 (8 buah), dan nilai 7 (3 buah). Selain prestasi di kelas, dia juga merupakan pemegang titel juara II murottal dan menjadi salah satu alumnus pelatihan jurnalistik Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). Kegagalannya dalam mengikuti UN tidak membuatnya frustrasi, malah kegagalan tersebut berhasil dikonversi olehnya melalui karya hebatnya menjadi penyiar andalan di MQ Televisi Bandung dan Radio Lita FM Cimahi. Deden pun pernah menyatakan satu hal penting tentang rasa keprihatinannya terkait fenomena UN, “Saya prihatin, banyak teman saya yang memiliki tanda lulus tapi tak bisa berbuat apa-apa.”

Tidak ketinggalan juga UN pada tahun 2010 lalu, penuh dengan kecurangan. Akhirnya Masyarakat pun angkat bicara "Kebijakan UN secara dasar, prinsip, filosofi dan genetikanya sudah bermasalah," kata anggota Aliansi Pelajar & Masyarakat Tolak UN, Muhamad Isnur saat jumpa pers pada hari Kamis (25/3/2010).di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta Pusat.

Nah, ditahun ini (2012) panitia Ujian Nasional (UN) 2012 sekolah-sekolah yang terdapat di beberapa daerah diketahui melanggar peraturan yang dibuat pemerintah untuk mencegah kecurangan yang kerap terjadi setiap tahunnya. Peluang manipulasi nilai oleh pihak sekolah pun terbuka lebar.

Setidaknya Posko pengaduan Ujian Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebagaimana yang diberitakan dalam Trans 7 (19/04/2012) menerima 837 Kasus Kecurangan Warnai pada UN tahun ini. Dari jumlah tersebut issu kecurangan mendominasi 213 pengaduan, diikuti dengan kebocoran kunci jawaban lebih dari 65 pengaduan serta pengaduan adanya jual beli soal oleh pihak sekolah pun ikut marak dibeberapa sekolah di tanah air ini.

"Di Muna, Sulawesi Tenggara, ada guru yang bersaksi saat ia menjadi pengawas di suatu sekolah bahwa ia diperintahkan panitia UN sekolah tersebut menyerahkan amplop lembar jawaban UN (LJUN) tanpa dilem terlebih dahulu," terang Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti, melalui sambungan telepon, Jumat (20/4) siang dari Jakarta.

Padahal, menurutnya, poin 2 huruf h tata tertib pengawas ruang UN jelas menuliskan amplop LJUN harus berada di tangan Panitia UN dalam keadaan dilem rapat.

Modus yang berbeda terjadi di Jawa Timur dan DKI Jakarta. Retno menjelaskan Panitia UN beberapa sekolah meminta pengawas tidak membagikan tipe soal secara acak sehingga siswa jelas mendapatkan soal tipe apa.

Perintah ini tidak lazim karena dari informasi yang didapat salah seorang siswa SMA 166 Ragunan, setiap siswa semestinya mendapatkan tipe soal yang acak selama empat hari agar peserta UN tidak mengetahui tipe soal apa yang akan dia kerjakan hari itu.

"Kami setiap hari tidak tahu bakal mendapatkan soal tipe apa, diacak oleh pengawasnya," ujarnya pada Selasa (17/4) siang lalu pasca pelaksanaan UN Bahasa Inggris.

Tindakan-tindakan ini jelas dipertanyakan Retno. "Mengapa Panitia UN menyuruh semacam itu, padahal sudah ada aturan-aturannya," ujar Retno.

Namun, kesaksian guru tersebut tidak menyebutkan peran serta Dinas Pendidikan Provinsi setempat. Berbeda dengan kesaksian seorang guru di Bekasi yang mengatakan Dinas Pendidikan mereka meminta agar murid-murid diluluskan UN dengan berbagai cara (Media Indonesia, Jumat 20 April).

Meski begitu, atas dasar temuan-temuan tak lazim ini, ia menilai kecurangan sistematis masih terjadi dan indikasi manipulasi nilai kembali terbuka lebar dalam pelaksanaan UN tahun ini.

"Bagaimanapun panitia UN ini kan terdiri dari kepala sekolah serta beberapa guru di sekolah tersebut," katanya.

Dalam konferensi pers FSGI pada Kamis (19/4) lalu mengenai temuan-temuan selama UN, Retno sempat mengatakan bahwa teknis pelaksanaan UN boleh terus dimodifikasi, tetapi kecurangan tetap terjadi dengan cara-cara yang juga berkembang semakin sistematis dan rapi sehingga sulit dibuktikan.

Ia menilai kontinuitas kecurangan ini bukanlah permasalahan teknis pelaksanaan, tapi permasalahan substansi UN itu sendiri.

"Negara terus-menerus bicara teknis, tapi kenyataannya ini tidak menyetop pelanggaran-pelanggaran. Ini permasalahan substansi. UN tidak bisa mengukur kualitas pendidikan," pungkasnya.

Apakah dengan UN siswa kita menjadi lebih jujur pada kemampuan dirinya sendiri? Apakah dengan UN siswa kita menjadi lebih termotivasi untuk mengeksplorasi potensi uniknya yang tak terbandingkan dengan individu lain? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab segera dari perlu tidaknya UN dilaksanakan.

Jika UN tak mampu menjawab pertanyaan itu semua, lantas kita pun menjadi bertanya, akan dibawa kemanakah arah pendidikan bangsa kita ini?

Jangan Sampai UN akan menciptakan "Generasi Sim Salabim" Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun