Amole! Sesuai janji saya pada tulisan sebelumnya, kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan ke Tembagapura. Ini adalah distrik yang terletak di bagian tengah Papua. Yaitu di Kabupaten Mimika pada rangkaian pegunungan Sudirman, berada pada ketinggian lebih dari 2000 m di atas permukaan laut dan tidak jauh dari Puncak Carstensz, yaitu puncak tertinggi di Oceania. Tembagapura berjarak 15 menit penerbangan helikopter dari Bandara Internasional Mozes Kilangin di Timika. Apabila ditempuh dengan bus, maka perjalanan akan memakan waktu 2-3 jam. Saya beruntung bisa mencicipi keduanya; berangkat dengan helikopter dan pulang dengan bus. Tapi sayang bus yang saya tumpangi sudah dilapisi dengan baja anti peluru sebagai bentuk antisipasi atas tindakan teroris yang mengganggu. Dengan demikian kita tidak dapat melihat pemandangan yang sebenarnya sangat indah di sepanjang perjalanan dari Tembagapura ke Timika.
Airfast Chopper
Hari itu Jumat yang cerah di awal Januari 2014. Saya berkesempatan terbang ke Tembagapura dengan menggunakan fasilitas chopper PT Freeport Indonesia (PTFI) yang dioperasikan oleh PT Airfast Indonesia. Chopper ini berukuran kira-kira seperti sebuah bus, kapasitasnya 30 orang penumpang. Menurut kamus daring yang ada di gadget saya, chopper adalah istilah informal untuk helikopter. Saya tidak tahu persis apa perbedaan antara chopper dengan helikopter. Yang jelas di kalangan Freeport, alat transportasi berbaling-baling besar yang bisa terbang itu biasa disebut dengan chopper, dan ini adalah pengalaman pertama saya naik chopper dalam kehidupan ini.
Sensasi yang saya rasakan saat itu serupa dengan waktu naik pesawat terbang untuk pertama kalinya di masa kecil. Perbedaan saat lepas landas, kita tidak melaju kencang ke depan tetapi badan terasa langsung diangkat ke angkasa. Nyuuutttt.... Wow! zOOm zOOM. Truly amazing experience! *noraknorakbergembira*
Pegunungan di Kab. Mimika, Papua Pemandangan di jendela chopper tak henti-hentinya membuat decak kagum. Bukit-bukit yang berbaris tampak tertutup rapi oleh hutan hujan tropis yang berwarna hijau pekat dan belum terjamah. Di sela-sela perbukitan itu tak jarang mengalir sungai-sungai yang indah. Sepintas mirip dengan pemandangan perbukitan Raja Ampat yang sering saya lihat di internet, hanya saja di sini tidak ada lautnya. 15 menit berlalu dan chopper saya tiba di Helipad 66 Tembagapura. Angka 66 merujuk pada jarak lokasi tersebut ke pantai selatan Mimika yaitu sejauh 66 miles. Saat turun dari chopper, sensasi ‘nyeeusss’ udara dingin yang segar semilir menyambut saya. Di sekeliling tampaklah hamparan lembah perbukitan yang memanjakan indera penglihatan. Super! Berikut ini video yang sempat saya rekam di Helipad 66:
youtubeDi lembah hijau terpencil di tengah belantara Papua pada ketinggian seperti itu berdiri sebuah distrik yang maju. Namanya Tembagapura. Nama yang dianugerahkan oleh Presiden Soeharto di kala pembangunannya sekitar tahun 70-an. Distrik ini sangat kontras terutama bila dibandingkan dengan distrik atau kecamatan lain yang pernah saya lihat di tanah air kita. Tata kota Tembagapura sangat baik sehingga pantas disejajarkan dengan tata kota negara maju. Seperti Kuala Kencana, distrik Tembagapura pun dibangun dan dikelola sepenuhnya oleh PTFI untuk mendukung kegiatan tambang Grasberg yang berjarak 10 miles dari sini.
Sporthall Tembagapura Tembagapura memiliki serangkaian fasilitas yang lengkap dengan standar internasional, antara lain rumah sakit yang dikelola International SOS, supermarket (Hero), salon (Rudy Hadisuwarno), layanan perbankan (CIMB Niaga dan Mandiri), bar dan kafe, hobby shop, perpustakaan, kolam renang air hangat, lapang sepak bola, lapangan tennis, lapangan squash, sporthall, state-of-the-art gymnasium, hingga sekolah bertaraf internasional.
Gedung perkantoran dan workshop banyak dibangun, begitu juga dengan rusun atau yang lebih pantas kita sebut dengan apartemen, rumah, dan barak. Jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak dan ukurannya lebih besar dari yang saya lihat di Kuala Kencana. Ini karena penduduk/karyawan PTFI sebagian besar memang ditempatkan di Tembagapura.
Tembagapura Road Topografi perbukitan di Tembagapura cukup terjal maka jalanan di sini pun dibangun bergelombang dan berkelok-kelok. Suhu udara saat itu berkisar 13 derajat Celcius, cuaca berkabut sepanjang hari walaupun agak sunny di pagi hari. Tak jarang kita rasakan tetesan air (mist) yang berasal dari kabut/awan yang memang sudah tak jauh dari pandangan mata kita di tempat yang tinggi ini. Pepohonan tertanam rapi dan subur, bunga-bunga indah bermekaran di tepi jalan. Banyak pula air terjun terlihat di pinggir jalan dengan dihiasi awan-awan yang bergerak di sekitar Tembagapura. Apakah saya sedang berada di nirwana? :D
Menempuh kira-kira 30 menit perjalanan terjal penuh liku dengan melewati beberapa terowongan dari pusat kota Tembagapura, maka sampailah saya di sebuah stasiun tram. Mendengar kata tram, yang terbayang adalah moda transportasi kota di atas rel seperti yang ada di Hong Kong. Ternyata bayangan saya salah. Ini adalah tram berbentuk kotak persegi panjang yang digantung pada beberapa utas kabel. Ukurannya cukup luas sehingga dapat menampung 100 orang penumpang.
Lagi-lagi saya ternorak-norak penuh kegembiraan. Bagaimana tidak? Ini adalah kali pertama saya naik tram gantung, di ketinggian tiga ribu meter dpl pula. Tram ini mengantarkan kita dari ketinggian 2500-an m dpl menuju ke 3.574 m dpl. Di perjalanan tampak aktivitas concentrating mills yang beroperasi di antara lembah-lembah hijau yang berawan. Kemiringan kabel tram ini sangat curam. Saya tidak fobia ketinggian, tapi tetap saja rasanya agak merinding bergelayutan di tram setinggi itu. Beberapa kali angin berhembus kencang dan tram berayun-ayun menambah sensasi perjalanan menembus awan. Berikut ini video perjalanan saya dengan tram pada waktu itu:
youtube.
Lihat Travel Story Selengkapnya