Mohon tunggu...
Rio Seto Yudoyono
Rio Seto Yudoyono Mohon Tunggu... -

Idenya sering aneh terkesan ngawur dan melawan arus. Visioner bukan, peramal jauh; tulisannya terkadang menyimpang dari pakem, senangnya "menganggu" orang ikut 'mikir, mencari jawaban atas tantangan yang dihadapi sekarang dan masa datang...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merah-Putih-Kuning-Hitam (Tanya)

27 November 2009   12:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:10 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bingung mau menempatkan posting, di [SosBud] atau di [Filsafat]. Akhirnya diputuskan di sini sajalah. Awalnya penasaran, mencari jawaban pengamatan atas begitu banyak kampung atau desa di Jawa Barat, yang diberi bernama sama menurut warna yang itu-itu juga. Pernah dengar Cibeureum (air merah), Cibodas (air putih), Cikoneng (air kuning), Cihideung (air hitam)? Ada banyak nama desa seperti ini, kok bisa? 'Kan warna itu pelangi dan mengapa juga warna, masih banyak nama lain yang bagus-bagus, Kahuripan, contohnya. Oh, mungkin karena warna itu universal ya, semua orang faham. Merah berarti berani, ambisi, semangat, atau kalau disederhanakan keinginan atau nafsu dalam diri manusia untuk memperoleh kedudukan, jabatan, atau kekuasaan. Maksudnya tahta, ya. Kalau putih? Suci, bersih, tulus, ihlas, kasih sayang, keinginan atau nafsu dalam diri manusia untuk saling mengasihi terhadap sesama (termasuk mencintai lawan jenis, pasti). Oh jadi itu, urusan cinta. Kalau kuning? Ah ini dia, yang banyak menggoda dan sering mencelakakan kita; warna kuning atau warna emas itu 'kan berkaitan dengan materi atau kekayaan? Iya, benar, harta. Pantas ada pepatah harta, tahta, wanita (cinta), dalam warna, kuning, merah, putih. Pantaslah warna dipakai warga desa sebagai simbol tujuan mengangkat diri untuk berhasil menjadi manusia mulia, entah melalui kemakmuran ekonomi, melalui kekuatan/keunggulan desa (teknologi?), atau melalui kerukunan warga, saling tolong dan saling bantu. Hebat sekali, tak salah warna dipilih sebagai nama. (Perlu dibuktikan kebenarannya melalui riset, ada?) Nah, kalau hitam? Banyak versi, ada yang menggunakan sebagai tanda berkabung, "gosong" (matang) tanda pandai dan bijak (oh, warna pakaian kebesaran semacam toga yang suka dikenakan profesor, hakim, dan pendeta itu, ya), dan simbol spiritual. Berpikir positif kita pilih yang terakhir. Kalau ketiga warna sebelumnya berurusan dengan kerja, maka yang satu ini urusannya doa. Persoalan menjadi menarik. Berpikir holistik gabungan semua nama desa itu bukankah juga simbol,  cermin bagi diri kita sendiri, bagaimana sebaiknya harus bersikap dan bertindak dalam menjalani kehidupan ini? Bekerja dengan sungguh-sungguh, mengejar dan mewujudkan impian (harta, tahta, cinta) tak boleh lelah, dengan tetap mengikuti dan menapaki jalan lurus yang diberkati YMK melalui kekuatan doa. Ora et labora, doa di depan tindakan di belakang. Wow, semua nafsu yang membekali diri kita menuju manusia paripurna, lengkap sudah. Action! Benarkah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun