Mohon tunggu...
Rio Seto Yudoyono
Rio Seto Yudoyono Mohon Tunggu... -

Idenya sering aneh terkesan ngawur dan melawan arus. Visioner bukan, peramal jauh; tulisannya terkadang menyimpang dari pakem, senangnya "menganggu" orang ikut 'mikir, mencari jawaban atas tantangan yang dihadapi sekarang dan masa datang...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Intermezzo

8 November 2009   15:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika rehat sejenak, intermezzo bahasa gayanya, saya menemukan sebuah posting "Sejenak menikmati opera handbody"  dari mas Endar. Di akhir opera, berkomentar "Apapun endingnya, saya sih lebih suka happy ending, semoga rakyat kecil macam saya tidak dilupakan. Dan jangan lupa untuk tetap mengembalikan jati diri bangsa yang telah lama hilang entah kemana." Oh, rupanya opera yang pop itu juga ditonton mas Endar, yang 'nyambung dan divisualisasikan dengan sempurna oleh mas Panji Koming di harian Kompas, Minggu kemarin,

Lihat, pas, cuoo..cok betul dengan adegan terakhir itu! Iya, entah hilang ke mana itu jati diri?  Materi berkuasa, sanggup mengikis rasa malu, menggerus harga diri, adat timur leluhur yang kita junjung tinggi turun temurun, akhirnya luntur juga! Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Masih ada tanda-tanda kehidupan, masih ada harapan, masih ada segelintir anak bangsa yang saleh, berpikir jernih, berhati lurus, termasuk Panji Koming, hanya sekedar mengingatkan, ini hanyalah sebuah opera yang bisa berakhir ke mana saja, neraka atau surga, bergantung maunya si empunya cerita. Karena itu saya hanya bisa menggelengkan kepala seraya tersenyum di dalam hati, lalu membalas posting tadi, " melelahkan & susah menikmati opera "oli" (versi saya), lebih lunyu dari sabun, vasilin atau handbodi, tak jelas kapan ending hepi, tak jelas stori, (karena) di belakang sutradara ada sutradara ada sutradara ketawa-ketiwi.. dst." Takut, ending tak hepi; sedih, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, berapa generasi akan bertahan seperti ini. Apa mau dikata, kalau opera dilakonkan tak sesuai skenario, sutradaranya sutradaranya sutradara habis mencaci, memaki, yang punya lakon kalau perlu, ganti. Itu yang kita tak tahu, ada teknologi dinding maya tinggi hingga sang super sutradara tak kasat mata. Tak perlu mengeluh, mari duduk manis dan nikmati saja opera untuk kita belajar dan bercermin diri menjadi yang terbaik... Begitu. No complain SIr, enjoy...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun