Mohon tunggu...
RIO SATYA HAPPRABU
RIO SATYA HAPPRABU Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan

dalam rangka membuat essai

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketidakstabilan Ekonomi Menciptakan Pelecehan Hak Asasi Manusia Terhadap Etnis Tionghoa

21 Desember 2024   22:21 Diperbarui: 22 Desember 2024   09:40 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Soekarno mengatakan dalam pidato terakhirnya pada 17 Agustus 1966, "Jangan sekali-sekali melupakan sejarah", mengingatkan kita betapa pentingnya memahami konteks sejarah saat menghadapi masalah di masa depan. Untuk menghadapi kesalahan masa lalu, terutama terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap orang Tionghoa, merupakan bagian integral dari narasi bangsa yang harus dipahami untuk mencegah terulangnya kesalahan masa lalu. Diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh orang Tionghoa di Indonesia, mulai dari era Orde Lama hingga kerusuhan Mei 1998. Menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan, yang tidak hanya mempengaruhi komunitas tersebut tetapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi negara secara keseluruhan. Hal ini diperparah oleh krisis moneter pada tahun 1998 yang memicu sentimen dari orang Indonesia terhadap Tionghoa, termasuk penjarahan toko dan pelecehan terhadap wanita Tionghoa.

Ketidakstabilan ekonomi dan krisis moneter bermula pada tahun 1998.  Krisis ini diwarnai dengan pengambilan uang besar-besaran dari bank, salah satunya adalah Bank Central Asia (BCA). Menurut data Bank Indonesia, krisis ini juga menyebabkan inflasi Indonesia meningkat 77% dan ekonomi terkontraksi 13,7% lebih. Nilai tukar rupiah jatuh dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Setelah peristiwa tersebut, orang Tionghoa dilecehkan karena melanggar Hak Asasi Manusia, salah satunya karena mereka tidak ingin melakukan investasi di Indonesia. Pada dasarnya, orang Tionghoa telah banyak berkontribusi pada sistem ekonomi, termasuk Sistem Ekonomi Ali-Baba. Dengan demikian, kita dapat mengantisipasi penurunan ekonomi sebagai akibat dari pelecehan orang Tionghoa. Menindaklanjuti hal tersebut apakah yang akan terjadi jika kita melecehkan orang Etnis Tionghoa terhadap kestabilan ekonomi yang akan terjadi di masa sekarang?.

Menurut data dari laporan BI, etnis Tionghoa menjadi target utama dalam kerusuhan 1998, yang menyebabkan kerusakan besar pada properti mereka, termasuk rumah, toko, dan gedung bisnis.  Peter K mengatakan bahwa selama survei, Tim Usakti mencatat sekitar 700 gedung luluh lantak, termasuk 218 toko, 165 ruko, 155 bank, 91 perkantoran, 32 pusat pertokoan, 2 menara apartemen di Pluit, 21 rumah, dan beberapa gudang dan hotel (Peter K, 2015:9 ). Selain itu, pelecehan seksual terhadap wanita Tionghoa dicatat oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Akibatnya, orang Tionghoa menguasai sebesar 70% ekonomi Indonesia (Airlangga, 2016), yang mencakup berbagai bidang, seperti perdagangan, perbankan, dan industri. Oleh karena itu sebagian besar ekonomi orang Indonesia dikuasai oleh orang Tionghoa sebesar 70% (Airlangga, 2016) dari perekonomian nasional Indonesia,mencakup berbagai sektor, termasuk perdagangan, perbankan, dan industri. Hasil sensus tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya 1%, atau sekitar 1.739.000 orang, mengaku sebagai Tionghoa. Namun, angka ini dianggap sebagai yang paling rendah karena banyak orang Tionghoa yang tidak menunjukkan identitas mereka dalam sensus yang dilaporkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik, 2000).

Selama Orde Lama, orang Tionghoa di Indonesia telah menghadapi kebijakan diskriminatif. Beberapa contohnya termasuk Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959, yang membatasi kebebasan mereka untuk menanam modal dan investasi di Indonesia, dan kebijakan lain, seperti Inpres No. 14 Tahun 1967, yang menghambat pertumbuhan ekonomi komunitas Tionghoa. Upaya untuk mengelola sistem ekonomi Ali-Baba dibuat untuk menangani kondisi yang sulit pasca-kemerdekaan. Sistem ini memungkinkan orang Tionghoa bekerja dengan orang pribumi (Indonesia) untuk meningkatkan bisnis lokal dan bersaing dengan pengusaha asing. Namun, usaha ini gagal karena banyak pengusaha pribumi yang beralih ke para pengusaha Tionghoa. Pengusaha lokal merasa terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya ekonomi sebagai akibatnya.  Timbulnya sentimen dari pribumi yang merasa bahwa non-pribumi yang memiliki kekayaan dan berkuasa, sehingga memperburuk kondisi antar etnis.

Selain itu, terkait dengan kestabilan ekonomi China (Tionghoa) dalam hal penanaman modal untuk investasi, terdapat kesepakatan kerja sama bisnis senilai kurang lebih Rp200 triliun, dan masih ada kesepakatan potensial senilai Rp455 triliun dengan Tiongkok dalam berbagai bidang, seperti infrastruktur, energi, manufaktur, dan pariwisata. Walaupun China (Tionghoa) menguasai sebagian besar perekonomian Indonesia, mereka tidak berpartisipasi secara aktif dalam menangani krisis moneter 1998 karena kebijakan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1959 yang membatasi mereka dalam menanam modal. Meskipun UUD NRI 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil, etnis Tionghoa seringkali menghadapi kesulitan dalam urusan hukum dan penegakan hukum tidak selalu efektif terhadap pelanggaran HAM yang mereka alami. Akibatnya, perlindungan hukum diperlukan untuk meningkatkan stabilitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan. 

Oleh karena itu, diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia menunjukkan bahwa sejarah panjang pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kebijakan diskriminatif telah memengaruhi komunitas ini. Ketegangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun menjadi puncaknya dengan kerusuhan Mei 1998, yang menyebabkan trauma yang parah dan berdampak pada ekonomi mereka. Meskipun orang Tionghoa menyumbang sekitar 70% dari ekonomi negara (Airlangga, 2016), mereka enggan berinvestasi karena persepsi buruk. Sejak Orde Lama hingga Kerusuhan 1998, kebijakan diskriminatif memperburuk keadaan sosial dan ekonomi dan menyebabkan ketidakstabilan yang berlangsung lama. Akibatnya, pengakuan dan perlindungan hak-hak etnis Tionghoa sangat penting untuk membangun kembali kepercayaan dan stabilitas ekonomi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun