desa. Di antaranya melalui regulasi yang mewajibkan pengisian anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan keterwakilan perempuan, serta melalui aturan pelaksanaan Musrenbangdes yang secara partisipatif wajib memperhatikan partisipasi perempuan desa minimal 30%, hal ini dapat dilihat pada pasal 27 dan pasal 36 Permendesa No. 21/2020, serta pasal 8, pasal 15, pasal 25 dan pasal 46 Permendagri no. 114/2014. Musrenbangdes, merupakan akronim dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, sebuah forum tahunan yang dihadirkan untuk merencanakan dan menyepakati Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dengan melibatkan seluruh stakeholder desa. Hasil Musrenbangdes berisi prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan di desa tersebut.
Sejak diimplementasikannya Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai bentuk keberlanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang kemudian dibumikan menjadi SDGs  Desa  oleh Kementerian Desa,  Pembangunan  Daerah Tertinggal,  dan Transmigrasi, Pemerintah terus berupaya mengarusutamakan inklusivitas dan kesetaraan gender sampai pada teritori terkecil di Indonesia, yaituData Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa 49,78% penduduk desa di Indonesia adalah perempuan, angka tersebut menunjukkan bahwa komposisi perempuan dan laki-laki desa dapat dikatakan hampir seimbang. Tak hanya itu, angka melek huruf perempuan desa hanya berada 3.5 poin di bawah skor laki-laki. Artinya, partisipasi dan representasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan adalah sesuatu yang mutlak, karena jika dilihat dari kualitas dan kuantitas mereka pun sebanding.
Kendati demikian, yang perlu menjadi perhatian adalah pemahaman yang keliru bahwa keterlibatan perempuan cukup dalam mobilisasi kehadiran yang bersifat kuantitatif. Upaya menghadirkan perempuan desa dalam proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan tentu tidak berhenti pada pemenuhan kuota keterisian  forum.  Namun juga berkenaan dengan bagaimana mereka hadir secara kualitatif, sumbangsih perempuan harus dapat mempengaruhi proses pembangunan, serta kebutuhan dan problem mereka turut terprioritaskan dan terakomodir secara adil. Jangan sampai ego mandatori pada akhirnya justru mengkerdilkan peran perempuan, di mana meski terlibat pada berbagai hubungan sosial, namun hak-hak mereka masih saja termarjinalkan.
Secara esensial terdapat tiga alasan mengapa kuota perempuan dalam Musrenbangdes menjadi cukup penting. Pertama, sebagai perwujudan prinsip kesetaraan peran laki-laki dan perempuan yang tinggal di desa tersebut, kedua, mengidentifikasi kepentingan-kepentingan perempuan dari pengalaman sosial dan biologisnya yang tidak dirasakan oleh gender lain. Ketiga, menunjukkan eksistensinya sebagai sebagai manusia sejajar yang mampu dan berdaya dalam meningkatkan kualitas pembangunan desa.
Pada akhirnya, efek positif keterlibatan perempuan dalam proses Musrenbangdes tidak hanya mendukung kesetaraan gender yang direpresentasikan oleh tujuan SDGs ke-5, namun lebih dari itu, mengingat ia lebih dekat dengan kebutuhan domestik serta pengurusan anak dan rumah tangga keluarga, vokal dan aspirasi perempuan penting untuk pembangunan desa secara berkelanjutan dan mendukung keberhasilan tujuan-tujuan SDGs lainnya. Kesetaraan membuat perempuan terlihat, diakui, dan menghapus stereotip patriarkis bahwa mereka bukan hanya bisa berpangku tangan sebagai penikmat hasil pembangunan, namun juga hadir sebagai tokoh utama perencana dan pelaku pembangunan desa. Perempuan tidak hanya menjadi objek, namun juga mampu menjadi subjek kebijakan.
"Perempuan berhak berada di semua tempat Dimana pengambilan Keputusan dilakukan. Seharusnya Perempuan tidak menjadi pengecualian". Ruth Bader Ginsburg Hakim Madya Mahkamah Agung AS.
- Rio Pongpadati -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H