Mohon tunggu...
Rio Permata
Rio Permata Mohon Tunggu... -

"Summum Ius Summa Iniuria" Keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi. Mari berwacana dan beropini..\r\nhttps://twitter.com/Rioslav

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Minimnya Lahan Bermain Anak, Hilang Bersamaan dengan Permainan Tradisional

11 Desember 2013   06:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:04 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita pernah merasakan bermain di tempat yang lapang bersama anak anak sebaya kita, mungkin masa kecil kita termasuk beruntung pasalnya sekarang sudah sangat jarang bisa kita temui tempat yang luas atau area persawahan yang biasa digunakan oleh anak-anak kecil dan seumurannya untuk bermain. Karena faktor pertumbuhan perumahan di kota-kota di Indonesia yang begitu cepat. Tidak lain karena jumlah penduduk yang semakin bertambah sehingga kebutuhan akan daerah tempat tinggal yang otomatis akan semakin bertambah banyak juga. Yang di untungkan tentu pihak developer dan pemerintah daerah yang menerima pajak bumi dan bangunan dari limpahan penduduk yang sudah tak muat lagi di kota-kota besar.

Dampaknya sudah pasti dengan adanya perumahan baru diantaranya lahan kosong semakin sedikit, lahan sawah berkurang, daerah resapan air menjadi terbatas, berkembangnya daerah-daerah baru dan lain sebagainya. Yang lebih menyedihkannya lagi kebanyakan perumahan tak banyak menyediakan publik space atau ruang publik tempat berkumpul berinteraksi antar warga terutama untuk anak kecil bermain.

Lihat saja setiap sore setelah kebanyakan anak-anak pulang dari sekolah, berbagai perumahan ramai oleh anak-anak yang bermain bola, berkejaran, bersepeda atau kegiatan lainnya. Dan mereka bermain di tengah jalan atau didepan rumah mereka. Miris sebenarnya melihat anak-anak bermain disana sebab resiko cidera bisa lebih parah dibanding tahun 90 an waktu saya kecil. Ya karena yang mereka tempati untuk bermain bukan lagi tanah, tetapi aspal, paving ataupun beton yang melapisi tempat dan jalanan tempat tinggal mereka. Kalau ada lahan bermain atau publik space pun tentu tak cukup menampung banyaknya anak yang bermain yang ada di satu permahan tersebut.

Meski sudah begitu, terkadang masih ada juga masalah dari warga atau tetangga mereka yang meminta anak-anak laki-laki yang cenderung lebih suka bermain bola bersama teman-temannya yang sedang bermain untuk pindah tempat dengan alasan berisik, bola masuk ke halaman rumahnya, atau karena mengeluarkan suara berisik dari benturan bola plastik yang mereka tendang.

Meskipun sebenarnya mereka bisa saja menggunakan segala tempat yang terbatas untuk bermain misalnya jalan depan rumah, gang, jalan kampung atau rumah kosong dsb. Tetapi yang tidak kalah penting adalah bahwa lahan bermain haruslah aman dan bisa dikontrol, dengan situasi yang aman, anak bisa nyaman bermain sepanjang hari. Karena sulitnya menemukan lahan untuk digunakan bermain akan mendorong anak-anak untuk menghiraukan keselamatan demi bisa bermain meskipun di tempat-tempat yang berbahaya yang seharusnya tidak digunakan untuk tempat bermain oleh anak anak, misalnya di sungai, pinggir jalan raya, pinggiran rel kereta api, dan sebagainya. Perkembangan pemukiman secara tidak langsung melarang anak anak untuk bermain dengan aman tanpa takut tertabrak kendaraan, tenggelam di sungai dan semacamnya.

Sangat berbeda dengan ketika saya masih kecil ketika tahun 90 an, masih ada banyak pilihan tempat untuk bermain. Mulai dari ladang, sawah, kebun, tegalan sawah, pekarangan, halaman, lapangan, jalan kampung yang masih sangat luas untuk bermain lengkap hanya tinggal memilih dan dengan permainan tradisionalnya seperti gobak sodor, petak umpet, benthengan dan banyak lagi yang lainnya seperti yang kita lihat ketika menonton acara “Si Bloang” di salah satu stasiun TV swasta. Dan yang jelas waktu itu kebanyakan lahan bermain masih berupa tanah.

Contoh yang paling sederhana saja, dulu semua anak anak bermain dengan telanjang kaki sedangkan sekarang pakai sandal untuk melindungi kakinya agar tidak terluka.

Jika sudah seperti itu, usia anak-anak yang adalah masa perkembangan yang seharusnya bermain permainan tradisional yang penuh dengan nilai-nilai kerjasama dan membuat mereka menggerakkan fisik yang sangat baik untuk mereka lama-lama akan di tinggalkan, mereka akan lebih memilih untuk bermain game di dalam rumah ataupun di warnet. Mengingat semakin majunya perkembangan jaman dan teknologi. Mungkin juga itulah penyebab anak anak jaman sekarang jauh berbeda dengan jaman dulu.

Dampak buruknya jika anak-anak tersebut kurang sarana untuk bermain di lingkungannya mereka bisa menjadi autis, manja dan tidak peka terhadap teman dan lingkungan hidupnya, acuh terhadap situasi dan kondisi di sekitarnya atau menjadi anti social mengurung diri di dalam rumah tanpa sosialisasi dengan teman sebayanya, mereka cenderung akan lupa waktu, waktu untuk belajar bahkan waktu untuk makan, menghabiskan banyak uang, membolos, dan ada pula yang mencoba menerobos kewajiban, mencari uang agar bisa bermain game online kesayangan lebih lama di rental. Tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya seperti itu.

Berdasarkan hasil kajian UNICEF, Indonesia belum punya satu pun kota yang layak mendapat predikat Kota Ramah Anak. Sangat ironis memang, padahal negara Indonesia selalu mendengung ndengungkan bahwa indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan bunyi pada UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Hak hak anak sendiri diatur di pasal 4 Undang Undang No. 23 tahun 2002 yang disebutkan sebagai berikut “setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan hakrat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

Pemerintah melalui Undang-Undang dan Peraturan yang ada harus mampu bersikap tegas dalam melindungi hak-hak pada setiap anak. Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong terwujudnya Kota Layak Anak agar anak anak medapat tempat yang aman dan nyaman untuk bermain. Namun itu saja tentu tidak cukup. Perlu adanya komitmen dan kesadaran seluruh orang tua dan masyarakat untuk terus melindungi dan menyayangi anak-anak mereka, anak-anak Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun