Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris adalah corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Dan dari bahasa Belanda itulah lahir dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata korupsi. Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri dan sebagainya). Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Korupsi adalah perbuatan busuk yang daya rusaknya sangat besar dan berdampak antara lain terhadap perekonomian nasional, meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan sosial, merusak akal budi dan budaya masyarakat, mendistorsi hukum dan merusak kualitas pelayanan publik. Semakin tinggi korupsi di negara tersebut, semakin aman negara tersebut tidak sejahtera/maju dan pelayanan publiknya terancam. Sebaliknya, negara yang tingkat korupsinya sangat rendah berarti negara tersebut sejahtera/maju, memiliki kehidupan sosial dan pelayanan publik yang baik. Jadi korupsi bukan budaya, tapi bisa membudaya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dengan mengkoordinasikan, memantau, mengendalikan, menyelidiki, menyelidiki, mengadili dan di pengadilan dengan peran serta masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menetapkan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang ditekankan, yaitu "pencegahan", "pemberantasan" dalam arti anti korupsi dan "partisipasi masyarakat".
Pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu pencegahan dan pemberantasan korupsi pada prinsipnya sudah menjadi kewajiban bangsa Indonesia. Komitmen tersebut tercermin dalam pemberantasan korupsi melalui implementasi UU Tipikor dan pembentukan lembaga yang khusus dibentuk untuk mencegah dan memberantas korupsi, Komisi Pencegahan Korupsi atau KPK. Sejak lama upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan berbagai cara. Sanksi terhadap korupsi sudah diperkuat, tapi kita masih membaca atau mendengar berita tentang korupsi. Sungguh ironi.
Hari-hari ini kita menyaksikan berita kejahatan korupsi dan perilaku korup di mana-mana. Hal tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, pada semua tingkatan dan pada semua lapisan masyarakat dengan jenis, bentuk dan kompleksitas yang berbeda-beda. Perilaku korupsi merasuki setiap elemen bangsa. Meskipun kita semua tahu bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak bermoral.
Asal usul masalah korupsi adalah hilangnya nilai-nilai antikorupsi (jujur, cermat, mandiri, disiplin, tanggung jawab, pekerja keras, sederhana, berani, adil) dalam diri individu. Ketika hari ini kita melihat kasus-kasus korupsi yang semakin meningkat, menyebar dan beragam, serta saling curiga, saling menyalahkan, kehilangan tanggung jawab, mencari jalan pintas, arogan, inkonsistensi dan bentuk-bentuk perilaku yang tidak pantas lainnya. Hal ini semakin mencekik, kita sadar budaya antikorupsi kita semakin menghilang.
Karena korupsi yang "masif" dan daya rusaknya, sudah sepantasnya seluruh lapisan bangsa memerangi korupsi dan mencegahnya menjadi budaya di Indonesia. Itu berarti korupsi bukanlah norma. Korupsi dapat dilihat sebagai perbuatan yang wajar manakala masyarakat memiliki sikap permisif terhadap korupsi dan tidak mengembangkan sikap anti korupsi. Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilakukan bersama oleh seluruh rakyat Indonesia.
Peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan tiga cara. Dalam strategi preventif, masyarakat berperan aktif dalam pencegahan korupsi, misalnya dengan tegas menolak permintaan pemerasan dan membiasakan membayar sesuai aturan. Dalam strategi detektif, masyarakat diharapkan aktif memantau agar aktivitas korupsi dapat diketahui sedini mungkin. Berikutnya adalah strategi advokasi, dimana masyarakat secara aktif melaporkan kasus korupsi kepada penegak hukum dan memantau penanganan kasus korupsi.
Di sisi lain, masyarakat kita memiliki kelemahan perilaku yang diwariskan akibat penjajahan. Kelemahan ini sudah lama kita ketahui. Overdrive mental, kegagalan untuk memenuhi waktu, meremehkan kualitas, kurang percaya diri dan banyak lagi. Selain itu, dunia pendidikan yang diharapkan dapat memperkuat budaya antikorupsi dirasa semakin tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya. Proses pelatihan tampaknya lebih fokus pada penguasaan pengetahuan daripada menanamkan perilaku yang baik. Meskipun berbagai kegiatan serupa dilakukan di sekolah, namun dilakukan seolah-olah terpisah dari pembelajaran pada umumnya. Oleh karena itu, sudah saatnya sekolah kembali menjadi lokomotif penguatan budaya antikorupsi dalam jangka panjang. Kami mulai menyelenggarakan sesi pelatihan antikorupsi yang dipimpin oleh unit pelatihan.
Pelatihan antikorupsi ini sangat penting untuk perkembangan psikologis para siswa. Model pendidikan yang sistematis dapat meningkatkan kesadaran siswa tentang isu-isu terkait korupsi di masa lalu, termasuk sanksi terkait korupsi. Dengan demikian lahirlah generasi yang mengetahui dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan hukuman bagi yang melakukan korupsi. Oleh karena itu masyarakat mengamati setiap korupsi yang terjadi dan secara bersama-sama memberikan sanksi moral kepada para koruptor.
Pendidikan antikorupsi merupakan kegiatan pengendalian dan pemberantasan korupsi sebagai upaya menyeluruh untuk mendorong generasi mendatang mengembangkan sikap yang tegas menentang segala bentuk korupsi. Mentalitas antikorupsi ini akan terwujud manakala kita secara sadar meningkatkan kemampuan generasi mendatang untuk mengenali berbagai kelemahan sistem nilai warisannya dan memperbaharui sistem nilai warisan itu dengan situasi baru.