Mohon tunggu...
Rio Nurkholis Syaifuddin
Rio Nurkholis Syaifuddin Mohon Tunggu... Seniman - Salam Bungah, Waras, lan Migunani

Selalu bahagia dan sedih beriringan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendahuluan Menjadi Manungsa Tanpa Ciri

14 Januari 2025   13:56 Diperbarui: 14 Januari 2025   13:56 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kajian tentang Kawruh Jiwa yang dilakukan oleh para peneliti, pemikir, dan pelajar Kawruh Jiwa menunjukkan perkembangan yang berarti. Setidaknya beberapa peneliti dan pemikir sudah mulai mensaintifikasi pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dalam konteks ilmu jiwa, mulai dari Psikologi Jawa karya Prof. Darmanto Jatman, Kepribadian Sehat menurut Konsep Suryomentaram karya Nanik Prihartati, Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram karya Ryan Sugiarto, Epistemologi Ki Ageng Suryomentaram: Tandesan Kawruh Bab Jiwa karya Sri Teddy Rusdy, dan Psikoterapi Jawa: Pendekatan Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram karya Abdul Kholik (Sugiarto, 2019).

Menurut Atmosutidjo (2019) Inti dari Kawruh Jiwa adalah belajar memahami identitas diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur, sebagai bekal untuk mampu memahami atau mengerti orang lain, serta alam lingkungannya, sehingga seseorang dapat hidup baik, damai, dan bahagia. Seperti halnya yang disampaikan Sugiarto (2019), dalam Kawruh Jiwa identitas bisa ditemukan dalam istilah catatan. Perolehan identitas ini menurut Ki Ageng Suryomentaram bersumber dari dua hal, yaitu terberi dan diusahakan. Catatan yang terberi adalah catatan-catatan yang sudah ada sejak manusia lahir diantaranya jenis kelamin dan suku bangsa. Sedangkan catatan yang diusahakan diantaranya, kekayaan, pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan lainnya.

Berkaitan dengan identitas, Atmosutidjo (2019) menjelaskan bahwa akhir-akhir ini tata pergaulan masyarakat sedang berada dalam keadaan yang sungguh memprihatinkan. Indonesia yang terkenal gemah ripah loh jinawi tata tentrem kartaraharja (subur, makmur, tertib, tentram, sejahtera, dan berkecukupan) terasa tidak berkecukupan untuk menopang hidup warganya karena telah terjadi proses "pemiskinan" yang luar biasa pada bagian segi kehidupan yang dampaknya sampai pada hilangnya "rasa bahagia" masyarakat. Kita menyaksikan bahwa orang menjadi lebih mudah bercakar-cakaran daripada berangkulan, lebih mudah curiga daripada saling percaya, lebih mudah mengambil daripada memberi, lebih mudah bertengkat daripada bersahabat, lebih mudah menerjang dan mendahului daripada memberi jalan.

Indonesia yang juga terdiri dari  masyrakat majemuk (plural society) juga memiliki potensi mengalami konflik identitas.  Plural society sendiri adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih kelompok sosial yang memili identitasnya sendiri (ras, suku, budaya, dan agama) yang hidup berdampingan, tapi terpisah secara unit politik yang sama (Furnivall dalam Lee, 2009). Lebih lanjut, Setiap kelompok dipegang oleh agamanya sendiri, budaya dan bahasanya sendiri, gagasan dan caranya sendiri. Kondisi tersebut akan mengakibatkan rawanya gesekan antar kelompok yang berbasis identitas. Hal ini juga turut didukung oleh pernyataan beberapa ahli bahwa perbedaan dalam budaya dapat membentuk dasar bagi ketidakpercayaan atau permusuhan psikologis yang mendalam (Connor, 1994; Horowitz, 2011; Huntington, 1993a, 1993b, 2014).

Selain itu menurut Efferet, Faber, dan Crocket (2015), Di banyak konteks yang berbeda, orang bertindak lebih prososial terhadap anggota kelompok mereka sendiri dibandingkan dengan mereka yang berada di luar kelompok mereka. Fenomena tersebut oleh Tajfel (1970; 1974; 1982), sebagai ingroup favoritism dimana individu cenderung memanifestasikan perasaan suka pada ingroup dan tidak suka pada outgroup. Dampak dari ingroup favoritism tersebut adalah munculnya prasangka terhadap outgroup. Akibatnya adalah terbentuknya pertimbangan relasi yang natural dan hierarkial di antara kelompok-kelompok sosial (Abrams & Hogg, 2010). Dengan kata lain, setiap kelompok merasa lebih benar dan lebih tinggi dibanding kelompok lain.

Pada dasarnya dalam kehidupan manusia, individu maupun kelompok memiliki identitas masing-masing. Identitas-identitas tersebut dibentuk melalui cara dan pengalaman seiring perjalanan hidup. Perbedaan identitas antara satu orang dengan orang lain itulah yang sering kali membuat orang akan bersaing untuk mengekalkan identitasnya. Saling berebut siapa yang paling pandai, siapa yang paling berkuasa, siapa yang paling kaya, siapa yang paling berpengetahuan, siapa yang paling benar, berebut untuk paling diakui, dan seterusnya. Begitulah identitas atau catatan bekerja untuk memuaskan identitasnya sendiri (Sugiarto, 2019).

Salah satu contoh dari konflik antar kelompok berbasis identitas yang sering terjadi di Indonesia adalah banyaknya berita tentang intoleransi dan rasisme. Bahkan menurut setara-institute.org (2018) hingga pertengahan tahun 2018, tepatnya 30 Juni 2018, SETARA Institute mencatat 109 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 136 tindakan yang tersebar di 20 provinsi oleh Masyarakat maupun Pengurus Negara. Beberapa pelanggaran dan tindakan yang terjadi adalah Perusakan Pura di Lumajang pada 18 Februari 2018 (CNNIndonesia, 2018), Penyerangan Gereja Santa Lidwina di Sleman pada 11 Februari 2018 (Kardi, 2018), dan Penyerangan Ulama di Lamongan pada 18 Februari 2018 (Sativa, 2018). Selain itu juga terdapat penyerangan yang terjadi terhadap mahasiswa di papua pada tahun 2019.

Di penghujung tahun 2018 kasus intoleran juga terjadi di Yogyakarta, yaitu pemotongan salib yang dipasang sebagai penanda makam jenazah yang dulu beragama Katolik di makam Purbayan, Kota Gede. SETARA Institute dalam keterangan persnya menyatakan kasus di Yogyakarta tersebut merupakan refleksi bahwa konservatisme agama sudah menjangkau lapisan sosial terbawah. Dalam hal tersebut simbolisme keagamaan tidak hanya berdampak pada pengerasan politik identitas tapi juga menjadi penyebab kecemasan, ketakutan, dan ancaman atas simbol-simbol identitas yang

Dari kasus-kasus yang terjadi di atas, ada kesan bahwa masyarakat sedang tidak mampu melihat pentingnya menyelamatkan "tujuan super-ordinat", suatu tujuan yang sangat berharga bagi diri pribadi seseorang, namun tidak dapat diraih tanpa kerjasama dengan orang lain (Atmosutidjo, 2019). Dalam teori Kawruh Jiwa Suryomentaram fenomena kasus intoleran dan lain sebagainya didorong oleh karep atau keinginan untuk menjatuhkan satu sama lainnya. Orang mengira dirinya benar, lalu menyalahkan yang lain. Orang mengira dirinya benar tanpa meneliti lebih dulu kebenaran orang lain. Yang lebih memprihatinkan lagi, orang mengira dirinya paling benar, yang benar adalah orang itu sendiri (Sugiarto, 2019).

Adapun menurut ajaran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram, dimensi atau ukuran tertinggi dari identitas manusia ditandai dengan tercapainya tingkat manungsa tanpa ciri. Menurut Pratisti dan Prihartanti (2012) Seseorang dapat menjadi rasa kramadangsa atau rasa manungsa tanpa ciri melalui proses yang panjang karena harus melalui beberapa dimensi atau ukuran. Ukuran keempat merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk mengembangkan hidup guyub, rukun, dan damai.

Bangkokan Komunitas Pelajar Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram adalah orang-orang yang telah memelajari dan menerapkan konsep-konsep pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, dengan menerapkan konsep-konsep Kawruh Jiwa, bangkokan mampu mengatasi konflik dengan naik ke tataran manungsa tanpa ciri dengan mendekonstruksi idenitas yang melekat pada diri bangkokan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun