MH lalu mengakui kalau lingkungan di sekelilingnya masih tak begitu berjarak dengan dunia narkoba, sehingga usahanya untuk bersih bisa dibilang rentan. "Kau tahu sendirilah," katanya.
Meskipun teman-teman MH yang pencandu selalu menghargai dirinya dengan tidak menyinggung-nyinggung perihal narkoba saat berada di dekatnya, MH nyatanya kembali terjerumus ke jurang narkoba, setengah jam setelah dia melihat berita yang sesungguhnya tak dicarinya.Â
Kalau saja bisa menggugat, dia berseloroh akan membawa unek-uneknya terhadap media itu ke hadapan hakim.
"Berhenti ngerokok aja susah, ini proses berhenti make'. Udah jalan lima bulan---hampir setengah tahun padahal," ujar MH dengan perasaan riang yang berbeda, seolah-olah efek metamfetamina memblokir rasa kecewanya, seolah-olah dia masih dalam keadaan 'tinggi', mengindikasikan bahwa dia terus mengonsumsi barang itu. "Engga, ah, sekarang aku gak lagi make'. Mau coba berhenti lagi," sangkalnya.
***
Melihat apa yang menimpa MH, tidak salah jika kita mengelus dada. Ternyata ada yang lebih keji daripada bandar sabu itu sendiri, yakni media pemberitaan yang lalai. Saya tak bisa membayangkan, lembaga yang seharusnya ikut membantu mencerdaskan bangsa itu, tapi dalam kasus MH, justru menjelma menjadi lembaga sales para bandar narkoba.
Sudah sepatutnya dewan pers, atau siapalah, mulai serius memperhatikan permasalahan ini. Mereka bisa memulainya dengan merancang aturan untuk melarang tegas peredaran foto narkoba secara vulgar kepada media massa. Media mestinya tidak lagi menayangkan foto maupun ilustrasi yang berkaitan dengan barang bukti narkoba, sekalipun mereka berdalih hanya ingin menebalkan maksud berita kepada pembaca tentang bagaimana wujud narkoba. Foto barang bukti kasus narkoba rasa-rasanya cukup sebatas uang, timbangan, ponsel, atau senjata kalau ada.
Atau, untuk berita yang tidak ada kaitannya dengan peredaran narkoba namun masih relevan terhadap narkoba, seperti peristiwa di Samarinda itu, media bisa memakai ilustrasi lukisan saja. Asalkan jangan menampilkan foto objek.
Lagian, kalau dipikir-pikir, siapa sih, yang belum tahu bagaimana bentuk narkoba sampai-sampai perlu ditunjukkan segala fotonya? Kalaupun masih ada yang belum tahu, mereka juga tidak perlu tahu, bukan? Kalau mereka butuh foto itu sebagai bahan pengetahuan, ya mereka tinggal cari ke Wikipedia atau jurnal-jurnal terkait.Â
Masalahnya sekarang kita sedang berada di tempat umum seperti di media sosial. Maka penyebaran foto narkoba seharusnya jangan kemaruk.
Kalau ditagih riset apa yang menyatakan bahwa sebuah foto bisa memengaruhi seseorang, rasanya itu terlalu teknis. Tidak perlu mencari naskah akademik atau pernyataan pakar untuk menguatkan wacana pelarangan penggunaan foto narkoba secara vulgar. Karena kalau dipikir-pikir, dengan melihat sesuatu yang wah saja kadang-kadang seseorang bisa 'ngiler', apalagi kita bicara zat adiktif. Ada "candu" di sini yang dipertaruhkan.