Pemilihan Umum Presiden 2024 tinggal menunggu sekian bulan. Dua atau tiga kubu sudah menyetel dan mulai memoles-poles gacuknya pada kontestasi itu, kendati keduanya menahan diri memperkenalkan pendampingnya. Adapun "Keberlanjutan" dan "Perubahan" yang sampai saat ini menjadi yel-yel masing-masing kubu. Â
Tema "Keberlanjutan" digaungkan oleh Presiden Jokowi, yang sebelumnya menyatakan diri cawe-cawe pada pemilu kali ini. Banyak yang keberatan merespons niatan Jokowi itu, sampai-sampai Istana sendiri, melalui Sekretariat Presiden, mengumumkan klarifikasi.Â
"Konteksnya adalah, Pak Presiden ingin memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil," ujar Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, dalam klarifikasinya tentang cawe-cawe yang diutarakan Jokowi kala menjamu para pemimpin redaksi media nasional di Istana tempo lalu.Â
Tagline "keberlanjutan" yang dikampanyekan Jokowi, ditengarai untuk mengamankan proyek-proyek bombastisnya agar tidak mangkrak, atau, paling tidak, tidak dicari-cari kesalahannya oleh pemimpin yang akan datang. Jokowi memang kerap mengingatkan agar rakyat tidak salah memilih pemimpin, mengisyaratkan betapa pentingnya bagi dia pemimpin Indonesia mendatang.Â
Di beberapa kesempatan, kode dan singgungan semacam itu terus disampaikan Presiden, bahkan semakin intens, bervariasi, dan unik. Terakhir yang paling unik adalah pada acara Indonesia Emas 2045 di Djakarta Theater, Thamrin, Jakarta Pusat. Di acara itu Jokowi mengibaratkan memilih pemimpin bukan seperti di pom bensin. "Kalau meteran pom bensin, 'Pak dimulai dari nol ya'," celetuknya kepada hadirin.Â
Sampai saat ini, ada dua kubu yang diyakini akan meneruskan kerja-kerja Presiden Jokowi. Mereka adalah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.Â
Ganjar merupakan rekan Jokowi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Keduanya, seperti kata Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, adalah petugas partai. Frasa "Petugas Partai" sebenarnya dianggap peyorasi oleh banyak orang, tetapi Ganjar tampak biasa-biasa saja, atau berusaha merasa seolah-olah biasa.Â
Blok Ganjar itu didukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan beberapa partai non parlemen, salah satunya Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang dipimpin Harry Tanoe. Meskipun sejatinya PDIP bisa mencalonkan sendiri calon presidennya, mereka tetap membuka pintu kepada partai lain. "Sifat kami adalah kekeluargaan dan gotong royong," kata Megawati di sela pidatonya pada acara puncak Bulan Bung Karno, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan.Â
Ketika bicara gotong royong, rasanya agak aneh jika dua kutub ini dipaksa berdempet atau bergotong royong. PDIP-PPP, misalnya, yang satu adalah partai sekularis, sedang yang satunya lagi adalah partai agamais. PDIP memang memiliki historis bergandengan dengan PPP, tetapi itu adalah semata kalkulasi menang-kalah, alih-alih gotong royong. Â
Jika menyelami gelutan di lapangan, PDIP adalah partai yang pro terhadap pemisahan agama dalam lingkungan umum, menganggap agama adalah urusan batin individu dengan Tuhannya masing-masing, sehingga kebijakan pemerintah tidak perlu lagi mengurusi urusan akhirat. Istilah gampangnya, sebuah kebijakan umum tidak bertentangan dengan agama, tetapi juga tidak melarang apa yang dilarang agama. Ajaran ini disebut sekularisme. Polos sekali kita jika menganggap semuanya di bawah naungan Pancasila, bahwa semua adalah satu juntrungan. Pancasila bagi mereka juga bermacam interpretasi. PDIP menganggapnya sebagai ekasila.Â
Selain itu, PDIP semestinya juga tidak membuka pintu lebar-lebar kepada sembarang partai, apalagi partai yang kental aura kapitalisnya. Tetapi, apa tak dikata, Perindo sudah teken kerja sama dengan PDIP.Â