Mohon tunggu...
nana
nana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

love reading and writing

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perjalanan 20 Tahun Mahkamah Konstitusi: Bagaiamana Pengawasan Hukum Indonesia di Era Digital?

21 Juli 2023   06:58 Diperbarui: 21 Juli 2023   06:59 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://unsplash.com/photos/b0pNcKAPDSg

Pada pertengahan Juli lalu, media dihebohkan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sebenarnya merupakan sebuah perubahan yang memiliki pengaruh signifikan dalam bidang kesehatan, karena fokus utamanya yang mengatur bagaimana pemerintah harus meningkatkan pemenuhan pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Adapun rancangan undang-undang ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia kedepannya.

Meskipun telah resmi disahkan, ternyata undang-undang tersebut tetap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bahkan salah satu pihak yang sangat menentang undang-undang ini datang dari para pekerja kesehatan itu sendiri. Mereka berpandangan bahwa terdapat beberapa poin dalam peraturan tersebut yang berpotensi merugikan pekerja kesehatan dan masyarakat. Atas dasar ini, beberapa pakar hukum yang menilai situasi, menganggap bahwa pengesahan tersebut bisa saja menjadi tidak konstitusional karena menimbulkan perbedaan pendapat dan kritik dari masyarakat, sehingga memerlukan tinjauan lanjutan dari Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, pakar hukum menyarankan pihak yang merasa dirugikan oleh undang-undang ini agar mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji konstitusionalitasnya (Oetomo, 2023).

Dibentuk pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau biasa disebut MKRI telah berpengalaman dalam menangani berbagai kasus, termasuk seperti kasus Undang-Undang Kesehatan tersebut. Dengan menjadi lembaga peradilan yang bertugas mengawasi dan menjaga kesesuaian undang-undang dengan konstitusi, secara sederhana MKRI akan berwenang menguji undang-undang apakah sesuai dengan konstitusi, dengan mendengarkan kedua belah pihak serta mempertimbangkan bukti yang diajukan. Dengan adanya peranan tersebut, semoga perselisihan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law dapat ditemukan jalan tengahnya agar tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan.

Memasuki Umur Kepala Dua di Era Digital. Lalu Bagaimana Tantangan Mahkamah Konstitusi Kedepannya?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi untuk mengawasi dan menjaga agar undang-undang tetap sesuai dengan konstitusi atau aturan dasar negara Indonesia, sehingga lembaga ini memiliki wewenang untuk menguji undang-undang. Selain itu, Mahkamah Konstitusi di Indonesia juga bertugas menyelesaikan permasalahan atau sengketa pemilihan umum, memegang peran penting dalam perlindungan HAM (Adhani, 2021), serta menjadi lembaga yang menafsirkan konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, lembaga ini telah menjadi salah satu pilar penting dalam lingkungan hukum Indonesia, yang menjalankan tugasnya untuk melindungi hak-hak konstitusional dan menjaga keadilan dalam masyarakat.

Telah berdiri selama hampir 20 tahun, Mahkamah Konstitusi tentunya telah menghadapi berbagai jenis persoalan perundang-undangan dan terus mencoba memberikan kinerja terbaiknya untuk semua pihak. Dalam kurung waktu itu juga, Mahkamah Konstitusi ikut melewati perkembangan zaman yang kini telah memasuki era digital, dimana mayoritas masyarakat telah memanfaatkan berbagai kemudahan teknologi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi juga berusaha untuk menyelaraskan sistem kerja mereka sesuai dengan berbagai perkembangan yang ada. Namun di sisi lain, digitalisasi ini pula yang memberikan tantangan baru bagi lembaga-lembaga hukum di Indonesia, termasuk bagi Mahkamah Konstitusi.

Dikenal memiliki banyak dampak positif, digitalisasi juga memiliki berbagai sisi negatif yang dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu contohnya adalah penggunaan media sosial yang tidak memiliki batasan atau aturan tertentu. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya aturan khusus yang mengatur keamanan data pengguna, privasi, dan hak cipta di media sosial, sehingga berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab (Lestari dkk, 2023).

Masalah-masalah ini justru menjadi tantangan hukum baru yang memerlukan pemecahan efektif. Menurut Pratana (2022), pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan berbagai masalah kompleks lainnya. Masalah-masalah ini menuntut proses peradilan dan kompetensi hakim di Mahkamah Konstitusi untuk dapat bersikap dinamis, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sekaligus independen agar dapat diandalkan oleh masyarakat dalam mendapatkan keadilan, serta menciptakan solusi yang progresif.

Masalah lainnya, digitalisasi ini juga yang mempengaruhi percepatan masuknya globalisasi ke Indonesia. Globalisasi yang memudahkan masyarakat berinteraksi dengan bangsa lain, dapat menyebabkan munculnya kompleksitas kasus hukum yang melibatkan pihak internasional. Selain itu, pengaruh budaya dan ideologi yang dibawa oleh globalisasi juga dapat mengancam eksistensi supremasi hukum di Indonesia. Perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dapat menyebabkan perbedaan pandangan hingga konflik. Hal ini tentu akan menyulitkan proses penegakan hukum di Indonesia.

Tidak Ada Pihak yang Harus Berdiri Sendiri, Semuanya Harus Saling Merangkul Satu Sama Lain

Sebagai negara hukum dan demokrasi, Indonesia harus tetap bisa mempertahankan landasan hukumnya di tengah kuatnya pengaruh globalisasi, yang semakin bebas masuk ke Indonesia di era digital ini. Namun Mahkamah Konstitusi tidak dapat berdiri sendiri mewujudkan harapan dan menghadapi semua masalah kompleks sekaligus. Untuk itu, diperlukan kerja sama berbagai pihak untuk mendukung hukum di Indonesia tetap berjalan sebagaimana mestinya. Adapun berbagai pihak yang dimaksud adalah, pemerintah, para pembuat dan pengatur hukum lainnya, serta berbagai lapisan masyarakat, yang diharapkan untuk dapat ikut andil ambil bagian sebagai bentuk partisipasi aktif dalam proses penegakan hukum.

Salah satu contohnya adalah seperti yang dijelaskan di awal mengenai pro dan kontra pengesahan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law. Jika ada pihak yang tidak setuju atau merasa dirugikan dengan sebuah peraturan perundang-undangan, mereka dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, pengajuan tersebut juga tidak bisa dilakukan dengan sembarangan karena memerlukan bukti konkret. Bukti tersebut akan digunakan untuk mengetahui apakah pihak yang mengajukan benar-benar dirugikan oleh undang-undang tersebut atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun