Manusia adalah mahkluk dinamis yang terus mengada dan menjadi dalam pusaran sejarah (waktu). Eksistensi manusia sebagai being mutlak dalam kategori sejarahnya. Keberadaan aku tidak dapat terlepas dari konsepsi linear tentang waktu bahwa adanya manusia itu: eksis di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Waktu kemudian dipahami sebagai deretan peristiwa yang tidak akan pernah berakhir atau sesuatu yang bersifat material belaka seperti angka-angka yang tertulis dalam kalender. Berdiri sebagai Heideggerian, waktu adalah horizon menghadirkan diri dan melaksanakan tugas sebagai manusia di dunia keseharian. Keberadaan waktu menjadi ultim sebab di dalam waktu manusia menyatakan kehadirannya baik secara in potentia maupun in actu. Sehingga bahwa waktu adalah sesuatu pada proses menjadi tetapi bukan proses menjadi itu sendiri. Senada dengan ini, disepakati bahwa waktu itu adalah numerus motus secundum prius et posterius. Dalam hal ini, waktu menjadi ukuran dari proses menjadinya manusia.
Dinamika historisitas manusia secara in actu adalah pada masa lalu dan masa sekarang, dan in potentia untuk masa depan. Relasi ketiga dimensi waktu tersebut membentuk sejarah bagi manusia: masa lampau menjadi pijakan bagi manusia untuk menghayati hidup secara aktual, yakni waktu sekarang. Masa lalu pun mempengaruhi manusia untuk merancang masa depan. Dalam pengertian bahwa masa lalu dan masa depan bersatu dalam histori manusia konkret yang hidup pada masa sekarang. Artinya waktu itu bersifat continuous.
 Sekalipun demikian, masih ada distingsi konsepsi perihal pertautan antara waktu: lalu, kini, dan yang akan datang. Memang disepakati bahwa masa lalu itu riil dan in actu, telah terjadi, manusia bisa mendiskripsikan tentang masa lalu tersebut: segala hal yang terjadi. Pengalaman aposteriori yang lalu menjadi sejarah untuk yang sekarang. Tetapi, pertanyaannya bagaimana yang akan datang (masa depan) dapat menjadi sejarah bagi manusia? Sedangkan masa depan itu sendiri masih abu-abu, belum pasti. Lebih tegasnya, waktu masa depan adalah ketidakpastian dalam sejarah manusia. Sehingga bagaimana mungkin menjelaskan dan mendiskripsikan sesuatu yang belum pasti-belum tahu-belum riil?
 Terhadap fenomena ini, membahas atau mendiskusikan tentang waktu masa depan sebagai Ada-Yang-Belum diperlukan pendekatan metafisis. Setiap orang harus keluar dari zona fisis-realistis dan masuk dalam dinamika metafisis. Penemuan sejarah masa depan ditempuh dalam jalur metafisis. Oleh sebab itu, penulis dalam tulisan ini hendak mengajak untuk masuk dalam realitas metafisis untuk menemukan sejarah masa depan sebagai Ada-Yang-Belum.
Waktu "Masa Depan" adalah Ada-Yang-Belum
Tesis pertama yang mendasar bahwa masa depan merupakan sebuah proyeksi dan harapan. Masa depan selalu mengisyaratkan bahwa hidup manusia belum sempurna, melainkan terus mengalami perkembangan. Waktu masa depan dialami manusia sebagai sebuah janji dan sebuah tugas. Masa depan mengundang manusia untuk memberi jawaban sekaligus memiliki harapan baru. Sekalipun cerita sejarah masa depan itu belum terealisir, tetapi bahwa ada harapan akan yang baru (tidak bisa dipastikan baik atau buruk). Harapan itu ada hanya belum. Harapan yang belum itu menjadi standar bagi manusia untuk euforianya masa kini. Dalam artian bahwa waktu masa depan diresapi sekarang sebagai ada-belum yang mengajak.
 Karakteristik sejarah waktu masa depan adalah in potentia bagi manusia. Pergerakan masa depan adalah sebagai ens in potentia (Ada-Yang-Potensial). Oleh sebab itu, Aristoteles menggariskan secara koresponden tentang waktu bahwa benar yang riil adalah waktu sekarang, tetapi pikiran kita sadar akan waktu lampau, dan mampu mengantisipasi waktu yang akan datang. Demikian waktu itu bersifat subjektif, sebab tanpa akal manusia tidak mungkin menerima konsep waktu.
Kedudukan waktu masa depan sebagai ada-yang belum mengafirmasi kondisi ontologis manusia sebagai makhluk yang belum jadi. Sehingga diperlukan suatu kesadaran dan ingatan yang terarah ke depan, sekaligus sebagai suatu 'ceterum censeo utopiam esse historice creandem' Penegasan bahwa dunia utopi perlu direalisir dalam sejarah masa sekarang. Strategi yang diperlukan adalah menciptakan dinamika heuristika ketakutan bahwa ketidakpastian masa depan diatasi dengan suatu sikap 'takut' yang antisipatif di masa kini. Ketakutan yang dimaksud bahwa ada-yang belum masih potensial, belum dipastikan akan baik atau buruk. Oleh sebab itu, histori masa kini menjadi standar akan masa depan sebagai ada-yang belum.
Ontologi dari Ada-Yang Belum
 Dalam kajian ontologis tentang ada-yang belum, penulis menggunakan pendekatan metafisis dari Ernst Bloch, seorang Marxis-Komunis, Filosof atheis dari Jerman dalam konsepnya yaitu Prinzip Hoffnung (Prinsip Harapan). Memulai kajian ini, penulis menggunakan analogi rasa lapar, bahwa ketika seseorang makin merasa lapar, justru makin seluruh perhatian dan kegiatannya diarahkan ke makanan, 'Yang-Belum' (das Noch-Nicht) itu. Artinya rasa lapar mendorong manusia untuk berusaha, dan usaha itu adalah garis depan dunia yang belum jadi.
 Ada-Yang Belum di sini bukan merupakan sesuatu yang kosong. Yang-Belum sekarang memang 'tidak' ada, tetapi 'Yang-Tidak' ada itu (das Nicht) dirasakan sebagai kekurangan. Maka 'Yang-Tidak' adalah 'Yang-Belum' dan itu berarti: ada masa depan yang masuk dalam fantasi saya. Dalam hal ini, Yang-Belum merupakan kategori yang penting. Yang-Belum menunjuk ke 'tendensi dalam proses material, sebagai asal-usul yang mengerjakan diri ke luar, yang condong ke manifestasi isinya. Konsep ontologis sederhananya: 'Yang-Belum ada' (in potentia) untuk 'menjadi ada' (in actu). Ada-Yang Belum di sini diterjemahkan dengan istilah latensi (dari kata Latin 'latere': bersembunyi). Latensi adalah realitas Yang-Belum, secara in actu belum, tetapi secara in potentia mungkin ada dan karena itu sebagai kemungkinan riil yang sudah tersembunyi di masa depan. Ada dinamika tendensi-latensi: kecondongan untuk mengarah pada ada-yang belum, yang tersembunyi.