Suatu siang sesaat sore menjelang. Enam pemuda sekawan nongkrong di Warung Burjo (mirip Warteg kalau di Jakarta, identik dengan pedagangnya dari Sunda) tak jauh dari Wilayah Krapyak, Yogyakarta.
Pesanan pun dihidangkan oleh si Aa' (panggilan mas/abang bagi orang Sunda). Ada yang pesen nasi telur, mie rebus serta magelangan (kalau di Pekanbaru disebut Minas "Mie Nasi Goreng").
Selang beberapa menit kemudian, minuman pun datang, es teh, es jeruk, es good day-pun ikut menemani makanan mereka.
Sudah biasa ketika rekanan saling jumpa, saling bercerita perkara perjalanan menuju wisuda, soal asmara pun tak luput dari ocehan mereka (dari logat, bahasa dan tata krama terlihat bukan pemuda Jogja).
Sajian nikmat, hingga ada yang berkeringat saat menyantap makanan ala anak kos nan lezat telah habis dilahap.
Beberapa diantara pemuda mengocek kantong mengeluarkan sebuah bungkusan putih dan mancis (biasa dilakukan perokok, selepas makan).
Rokok pun disulutkan ke mulutnya (bak insan yang benar-benar menikmati ketenangan dunia) asap-pun dihembuskan tak berarah ke udara.
Ujung rokok dibakar dan dihisap yang menyisakan abu kemudian hendak dibuang di piring kosong tanpa rasa bersalah.
Tanpa kompromi si Aa' penjaga Warung Burjo mengambil piring kosong yang akan menjadi korban pembuangan sisa abu rokok si Pemuda.
Si Aa' pun berkata:
"Maaf Mas, ini piring tempat makan. Bukan asbak tempat abu rokok".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H