"Bapak sudah meninggal tahun lalu bang", jawab Ibu
Sontak saya kaget mendengar jawaban Ibu, semoga Bapak diberikan ketenangan dan amal ibadahnya Allah lipat gandakan.
Sebuah pembelajaran saya dapat dari sang Bapak, yang waktu itu saya sempat bertanya kenapa harga air akarnya begitu murah. Ketika itu beliau menjual 2500 rupiah satu porsinya.
Kok bisa murah?
Bapak tidak mempermasalahkan murahnya harga satu porsinya, beliau mengadopsi strategi berdagang China.
"Kalau harga murah yang beli ramai kan nanti pendapatannya juga banyak", ungkap almarhum waktu itu.
"Nah, seperti yang Bapak bilang tadi, contoh ya. Harga jual sekarang kan Rp. 2500/gelas kalau laris sehari 50 gelas jadinya pendapatan Bapak bisa Rp. 125.000. Kalau Bapak jual dengan harga tinggi anggap saja Rp. 4.000/gelas, anggap saja sehari laku 20 gelas, pendapatan Bapak Rp. 80.000. Nah gitu sih dek strateginya", tambah Bapak.
Meski raga Almarhum tak lagi ada, tapi air akar di pinggir trotoar masih dapat dinikmati siapa saja, dilanjutkan istri tercinta.
Terimakasih atas karya Bapak, menjajakan air akar yang nikmat pelepas dahaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H