Mohon tunggu...
Rio walmansius Marpaung
Rio walmansius Marpaung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa ilmu politik universitas Kristen Indonesia

Entrepreneurship.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akankah Prabowo Mematikan Otonomi Daerah?

14 Januari 2025   13:50 Diperbarui: 14 Januari 2025   14:28 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Otonomi daerah di Indonesia merupakan hasil dari semangat reformasi yang bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah agar mampu mengelola urusan pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan lokal. Reformasi ini lahir dari kesadaran bahwa pendekatan desentralisasi memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih dekat dengan masyarakat, meningkatkan partisipasi publik, dan memastikan pengelolaan sumber daya yang lebih efektif. Namun, dalam implementasinya, otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, seperti ketimpangan kapasitas antar daerah, potensi korupsi di tingkat lokal, hingga kesenjangan pembangunan yang mencolok antar wilayah. Meski begitu, mekanisme pemilihan langsung kepala daerah oleh rakyat dianggap sebagai elemen kunci untuk memperkuat legitimasi dan akuntabilitas pemimpin daerah.

Di tengah semangat desentralisasi, isu yang diangkat oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengenai perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi melalui DPRD memicu perdebatan sengit. Usulan ini dinilai dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi lokal, membuka peluang politik transaksional, dan mengancam semangat otonomi daerah. Di satu sisi, argumentasi yang diajukan oleh pendukung kebijakan ini adalah untuk menekan biaya politik yang tinggi dalam pemilihan langsung. Namun, di sisi lain, kekhawatiran muncul bahwa langkah ini akan memusatkan kendali politik di tangan elite tertentu, melemahkan daya tawar rakyat, dan menciptakan pola pemerintahan yang lebih sentralistik.

Gejala resentralisasi ini tidak hanya terjadi di ranah politik, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan teknokratis di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Salah satu contohnya adalah keputusan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, yang mengusulkan pengelolaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) sepenuhnya oleh pemerintah pusat untuk mengejar target swasembada pangan pada tahun 2027. Kebijakan ini memang bertujuan baik, yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan konsistensi dalam bimbingan kepada petani, tetapi sekaligus mengurangi peran daerah dalam mendukung sektor pertanian lokal. Demikian pula, langkah yang diambil oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memindahkan periset daerah ke homebase pusat menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya kapasitas inovasi di tingkat daerah.

Di bidang politik, ancaman terhadap otonomi daerah semakin nyata ketika potensi dikotomi antara kepala daerah dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan non-KIM muncul dalam Pilkada Serentak 2024. Kepala daerah yang memiliki afiliasi politik tertentu dipandang lebih cenderung mengutamakan kepentingan pusat daripada kebutuhan lokal. Situasi ini mengingatkan pada pengalaman Sumatera Barat, yang diduga dianaktirikan dalam pembangunan nasional karena rendahnya dukungan suara terhadap Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Tidak adanya proyek strategis nasional di provinsi tersebut menjadi cermin bagaimana politik dapat memengaruhi pembangunan daerah, menciptakan ketimpangan yang berakar pada faktor afiliasi politik.

Selain itu, langkah-langkah resentralisasi juga terlihat dalam penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba, yang menarik kewenangan perizinan dari pemerintah daerah ke pusat. Djohermansyah Djohan, seorang pakar otonomi daerah, mencatat bahwa peraturan ini semakin membatasi fleksibilitas anggaran daerah, yang sebelumnya diatur melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Ketergantungan daerah terhadap pusat dalam hal anggaran menjadi lebih tinggi, membuat pemerintah daerah kehilangan kemampuan untuk menentukan prioritas pembangunan sesuai kebutuhan lokal. Hal ini, menurut Djohermansyah, merupakan indikasi melemahnya semangat otonomi daerah yang seharusnya menjadi dasar pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Kritik terhadap kebijakan-kebijakan resentralisasi ini banyak disampaikan oleh pakar dan pengamat otonomi daerah. Direktur Eksekutif KPPOD, Herman Suparman, menilai bahwa undang-undang sektoral yang mempreteli kewenangan pemerintah daerah merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Ia juga menyoroti pentingnya hubungan yang lebih harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, yang selama ini justru dirusak oleh kepentingan politik tertentu. Revisi terhadap Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU Pemda) menjadi salah satu solusi utama yang diajukan. Revisi ini perlu memperjelas pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, mendorong pendekatan asimetris, serta mengakui keberagaman karakteristik daerah di Indonesia.

Selain revisi regulasi, pemerintah pusat juga didorong untuk mengadopsi pendekatan pembangunan yang menghargai karakteristik unik tiap daerah. Daerah dengan kapasitas fiskal besar atau wilayah kepulauan, misalnya, seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan daerah daratan dengan kapasitas fiskal rendah. Dengan demikian, kebijakan "one size fits all" yang selama ini diterapkan dapat dihindari. Keberagaman yang menjadi kekuatan Indonesia seharusnya tercermin dalam desain kebijakan pembangunan yang inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan daerah.

Jika kecenderungan resentralisasi ini tidak segera diatasi, dampaknya akan sangat serius bagi masa depan otonomi daerah di Indonesia. Kepala daerah yang lebih loyal kepada pusat dibandingkan rakyatnya akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat, dan ini dapat melemahkan daya saing daerah secara keseluruhan. Selain itu, langkah-langkah sentralisasi di sektor pangan, riset, dan politik lokal dapat mengurangi inovasi serta kemampuan daerah untuk mandiri. Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga semangat desentralisasi. Pemerintah pusat perlu mengedepankan pendekatan inklusif dan konsultatif dalam menyusun kebijakan yang berdampak pada daerah. Dengan demikian, otonomi daerah tetap menjadi pilar utama dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun