VIII
Selesai mengantar Anna ke sekolah, Cosmas mencungkil isi kelapa kering membuat kopra. Itulah satu-satunya selingan rutinitasnya yang mulai membawa hawa membosankan seraya menunggu panggilan dari kantor jika ada tamu yang berlibur di Flores.
Cosmas melemparkan tempurung kering ke dalam lubang besar di dekat batang pohon ketapang. Tangannya mengambil kelapa baru, mencungkil isinya dan tempurungnya dia lemparkan lagi ke tempat yang sama. Angin yang berembus pelan membelai kulitnya. Dia membuka kaus oblongnya agar angin makin leluasa membelai kulitnya.
Hanya dalam waktu kurang satu jam, tumpukan tempurung itu telah membentuk sebuah gunung kecil. Seekor burung gereja hinggap di atasnya. Kepalanya dijulurkan ke bawah. Mencari-cari sisa kelapa di dalam tempurung. Cosmas melemparkan tempurung ke lubang. Burung itu secara refleks melompat, terbang ke dahan pohon terdekat.
Cosmas bersandar di batang pohon ketapang. Mengaso sebentar. Sekonyong-konyong pikirannya teringat pada Butet. Sudah 2 minggu dia meninggalkan Maumere. Cosmas penasaran apakah Butet sudah bertemu keluarganya, sudah bisa menenangkan diri? Atau masih merasa sakit hati?.
Cosmas teringat diskusi-diskusi mereka. Dia teringat nada suaranya sendiri yang berapi-api ketika berbicara tentang budayanya. Juga diskusi dengan Firmus yang berapi-api. Seketika hatinya jadi kecut. Tak satupun perubahan yang telah dia buat setelah diskusi-diskusi itu. Hanya sebentar dia berani menggertak, kemudian menyerah begitu saja.
Sejurus kemudian Cosmas menyadari betapa sulitnya mengubah sebuah tradisi. Menuntut perngorbanan besar.Dia teringat wajah pucat ibunya ketika terbaring di rumah sakit. Kata-katanya yang memelas dan juga cerita tentang mimpi ibunya. Bulu kuduk Cosmas merinding.
Dia memenjamkan mata, mencoba mengusir wajah ibunya yang pucat. Dia berusaha mengosongkan pikirannya. Tapi wajah Anna yang pucat dan gerakannya yang lemah hadir menggantikan bayangan ibunya. Semua itu menggodanya untuk melupakan ide-idenya.
Dia mengangkat kepalanya. Menatap ke atas. Mengamati daun-daun kering melayang-layang di udara. Terombang-ambing bak liukan tangan penari mungil sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Segera saja daun-daun kuning dan merah tua menghiasi pekarangan rumahnya. Padahal baru satu jam yang lalu dia menyapu bersih pekarangan itu. Dia tidak menyisakan selembar daunpun terletak di atas tanah.
Dia memelototi hujan daun di hadapannya. Hanya berselang satu jam, tanah di sekitar rumahnya telah tertutupi dedaunan. Dia terpaku menatap ke atas lagi. Mengamati cabang dan ranting pohon Ansono dan Ketapang asal duan-daun terbang itu. Dia heran, tidak tampak sedikitpun perubahan pada jumlah daun yang masih melekat di ranting dan dahan. Baginya itulah bukti bahwa manusia tidak selalu bisa memahami dan mengatur alam. Alam memiliki sistem dan ritme kerjanya sendiri.
Kesadaran itu sekaligus juga melahirkan pertanyaan lain dalam hatinya. Apakah budaya, tradisi dan adat memiliki logika dan ritme kerjanya sendiri yang tidak bisa dimengerti dan diatur oleh manusia begitu saja? Jika ya, untuk apa terlalu pusing memikirkan dan berusaha mengubahnya. Dia berpikir dan berpikir lagi.
Dia teringat teori kebudayaan yang pernah dipelajarinya di bangku kuliah di fakultas Filsafat. Budaya adalah hasil ciptaan manusia. Jika teori itu benar, katanya dalam hati, maka budaya juga bisa diubah oleh manusia jika sudah tidak sesuai lagi. Pertanyaan lain muncul lagi. Mengapa selama ini tak ada orang yang memulainya?.
Cosmas belum sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara tuntas, ibunya berteriak-teriak dari dapur. Memanggilanya untuk makan. Cosmas meninggalkan pekerjaannya.
Seekor kucing berlari pontang-panting dari dapur. Ibu Cosmas mengejarnya sambil memegang sapu. Kucing itu memanjat pohon kelapa. Ibu Cosmas berdiri kesal sambil mengacung-acungkan gagang sapu.
“Awas kau, sekali lagi kulihat kau di dapur, kau akan mati”
Kucing itu duduk di sela-sela buah-buah kelapa yang masih muda. Menikmati sepotong ikan goreng yang baru dicurinya. Dia tidak mempedulikan ancaman Ibu Cosmas.
“Kucing jahat, terkutuk”
Ibu Cosmas kembali ke dapur seraya mengumpat. Dia mengembalikan sapu ke balik daun pintu.
“Cos, setelah makan kau ke koperasi ya”
“Ya, Ma”
Cosmas mengisi piringnya dengan nasi berbintik-bintik kuning. Mereka menyebutnya nasi jagung. Masyarakat maumere lebih senang makan nasi dicampur dengan jagung yang ditumpuk halus. Cosmas melumurinya dengan kuah ikan, masakan khas maumere berbahan ikan laut, garam, asam, cabe, daun kemangi dan serei. Mereka menyebutnya kuah asam.
“Jangan lupa bawa buku anggota. Ada uang di dompetmu?”
“Berapa?”
“ Cicilan bunganya 175 ribu per bulan. Cicilan pokok hutang 500 ribu”
Cosmas meletakkan piring di atas meja. Mencabut dompet dari saku belakang celana. Dia menghitung uang dalam dompetnya.
“Ada. Pake ini saja dulu”
Cosmas melanjutkan serapan pagi menjelang siang. Dia menyisihkan beberapa potong ikan untuk ayahnya.
***
Di loket penyetoran uang tiga petugas sedang sibuk melayani tamu. Cosmas tersenyum ramah saat menyodorkan buku anggota milik ibunya beserta uang cicilan dan bunga hutang. Petugas yang melayaninya memeriksa buku kemudian menghitung uang yang diberikan Cosmas. Dia mengambil pulpen, mengisi nota tanda terima kemudian diserahkan kepada Cosmas.
“Silahkan tunggu di sana, Kakak. Nanti akan kami panggil kalau bukunya sudah selesai diisi” katanya dengan ramah seraya menunjuk kursi-kursi panjang yang berjejer dekat pintu masuk.
Cosmas berputar, berjalan ke arah yang ditunjuk. Baling-baling kipas angin yang tergantung di langit-langit berputar kencang, menderu seperti suara helikopter. Ruang tunggu itu cukup ramai dan riuh oleh suara ibu-ibu yang asik berbincang. Sekonyong-konyong Cosma sadar, dia satu-satunya pemuda di ruang tunggu itu. Dia teringat dengan cerita temannya beberapa bulan lalu tentang cicilan ibunya yang menunggak hingga setengah tahun karena dia malu pergi ke koperasi untuk menyetorkan cicilan dan bunga utang.
“Kan, urusan koperasi urusan ibu-ibu dan bapak-bapak. Saya malu pergi ke sana, apalagi untuk membayar utang” kata temannya itu tanpa perasaan bersalah.
“Ibumu ke mana memangnya?” tanyak Cosmas waktu itu.
“Sudah setengah tahun pergi bersama ayah ke Jakarta dibawa Kakak yang paling tua. Tiap bulan mereka mengirimkan cicilan utang dan bunganya untuk saya setorkan ke koperasi. Tapi, itu tadi, saya malu ke koperasi”
Beberapa ibu-ibu sempat melirik ke Cosmas. Tapi dia pura-pura tidak memperhatikan mereka. Dia berpura-pura membaca selebaran-selebaran yang tertempel di dinding berisi laporan perkembangan koperasi.
Satu per satu orang di ruangan itu beranjak ke loket pengambilan buku anggota saat nama mereka dipanggil. Tempat duduk yang mereka tinggalkan segera diisi pengunjung yang baru datang dan menunggu panggilan.
Seingat Cosmas, sejak dia kecil orang tuanya tidak pernah meminjam uang dari manapun. Mereka tegolong keluar yang berkecukupan. Kenapa dulu ketika saya hendak kuliah S2 orang tuaku tidak berpikir untuk meminjam uang? Pertanyaan itu hadir kembali dalam benaknya dan hatinya miris ketika menyadari uang yang dipinjam ibunya sekarang hanya untuk keperluan pesta pernikahan.
Ketika nama ibunya dipanggil, Cosmas memutar tubuhnya, bergerak ke arah loket pengambilan buku anggota. Dia memperhatikan angka-angka yang tertulis di dalam buku itu, kemudian melangkah ke arah sepeda motornya, bergegas menjemput Anna dari sekolah.
***
Panas terik matahari membuat Anna berkali-kali mengelus kulit tangannya sambil memelototi dengan tidak sabar lampu merah di pinggir jalan. Hatinya lega saat lampu merah berubah menjadi kuning dan beberapa detik kemudian berubah jadi hijau. Dia membetulkan posisi duduknya, menyandarkan badannya ke punggung Cosmas dan melingkarkan tangan kanan ke pinggangangnya.
“Kita ke kota sebentar di toko roti ya, Bang”
“Untuk apa?”
“Membeli oleh-oleh. Nanti sore kita ke rumah sakit menjenguk temanku”
“Loh, nanti kan kamu mengajar sore?”
“Nggak Bang. Hari ini tidak ada les sore”
Cosmas menurut. Memutar motornya ke kompleks pertokoan.
Seorang penjajah koran menghampiri Kosmas dan Anna ketika mereka melangkah dari tempat parkir ke pintu masuk sebuah toko roti.
“Kaka, beli koran. Hanya 1000”
Anna memberi isyarat penolakan tapi Cosmas merogoh kantongnya, mengeluarkan uang 5 ribuan. Wajah penjual koran itu tampak berseri. Dia menyodorkan 2 eksemplar koran kepada Cosmas untuk dipilih. Flores star dan Kupang Post. Cosmas mengambil keduanya. Memberikan uang pada penjual koran.
“Ambil saja kembaliannya” katanya
“Trimakasih, Kaka”
Cosmas membaca sekilas berita-berita utama sambil berjalan. Anna memegang lengan kiri Cosmas ketika memasuki toko. Matanya mulai memilih-milih roti. Dia menurunkan tas yang menggantung di lengan kirinya dan memberikannya kepada Cosmas.
“Yang ini bagus, nggak, Bang?” Anna menunjuk sebaris roti dalam etalase.
Cosmas tidak menggubris. Perhatiannya terpusat pada berita koran di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang tas Anna.
Anna berpindah ke etalase lain. Memperhatikan satu per satu roti di dalamanya. Kemudian dia berbalik saat menyadari Cosmas tak mengikutinya. Dia menarik tanggannya.
“Bang, sini dong. Serius amat sih. Kan nanti bisa dibaca di rumah” Anna menggerutu manja.
“Ya ya. Kenapa, sayang?”
“Kita beli roti yang mana?”
“Kaulah yang pilih, Sayang. Manalah aku tau jenis-jenis roti”
“Kasi saran, kek”
Anna memanjangkan muncungnya saat memilih-milih roti. Cosmas diam di sampingnya. Anna akhirnya memilih 2 kotak bika Ambon. Seorang penjaga toko mengeluarkannya dari etalase dan membungkusnya.
Mereka keluar dari toko sambil bergandengan tangan. Anna menenteng sebuah plastik putih. Cosmas memegang koran dan tas Anna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H