Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Belis, Antara Cinta dan Tradisi (Part 7)

13 Desember 2014   04:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:24 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

VII

Permohonan maaf keluarga Cosmas yang disampaikan melalui delegasi mereka diterima keluarga Anna tanpa syarat apapun. Usulan ayah Cosmas, juga disampaikan melalui delegasi, untuk memberi waktu kepada Cosmas dan Anna merekatkan kembali hubungan mereka juga disetujui keluarga Anna. Namun tidak ditentukan batas waktunya.

Dua hari setelah pulang dari rumah sakit, Anna kembali mengajar. Kadang hingga sore, mengganti jam mengajar yang dia lewatkan selama sakit. Cosmas setia mengantar dan mejemputnya. Kadang menungguinya bila ada les sore.

Saat menunggu Anna selesai mengajar, di suatu sore, Cosmas mengantuk di kator guru. Koran Flores Post yang dia beli telah habis dilahapnya. Bosan, tidak ada kegiatan, tidak ada teman ngobrol.

Dia  membuka tas Anna, mencari tahu apakah ada buku yang menarik dibaca. Sebuah buku harian bersambul warna-warni menarik perhatiannya. Dia buka pelan-pelan lembar demi lembar. Tangannya berhenti pada pada lembar kelima dari belakang. Pada sebuah catatan yang diberi judul KEHADIRANMU YANG SILAU.

Di sana Anna menulis,

.....Cosmas, setan apa gerangan yang merasuki pikiranmu? Tak sedikitpun pernah terlintas dalam anganku cinta kita akan berakhir seperti ini. Saya akui kaulah laki-laki pertama yang pernah hadir dalam hidupku. Berjuta kali aku telah bertekad, kau jugalah laki-laki terakhir.

Sinar kehadiranmu amat mempesona tapi akhirnya membuat kesilauan batin yang tak terperikan. Kenangan kala bersamamu hadir kembali bak hantu yang menyeretku pada sebuah pilar nur yang menyilaukan.Tak terperikan. Kapankah penderitaan ini berakhir? Ingin aku berlari ke rumahmu. Bersujud memohon belas kasihmu. Karena kau bak raja yang menerangi hidup rakyatmu dengan kebaikan dan kebajikan. Tetapi saat rakyat terlena dalam hidup bahagia kau segera membuat mata mereka silau sehingga tak mampu menemukan jalan hidup yang lain.

Ingin kucabut cinta yang kau tanam di hati yang lemah ini. Membuangnya jauh-jauh. Tapi akarnya terlalu kuat. Mungkin hanya kematian yang bisa mencabutnya.

Andai bisa saya mengudang raja maut malam ini. Akan kupersembahkan segala sujud dan sembah padanya agar sudi membawaku pergi. Selamanya. Untunglah imanku masih bisa bersuara. Menuntunku walau tak selalu bisa kuikuti.

Kau memang pernah berkata tempus mutatur et nos mutamur in illid. Waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Hanya saja, kau berubah melampaui perputaran waktu.

Waktu telah merenggut cinta yang pernah kita jalin. Menggilasnya menjadi serpihan-serpihan rasa yang mengotori kejernihan hati dan pikiran. Membuat mata hatiku silau, tak mampu mengenalmu lagi. Sekaligus tak mampu melihat hari esok tanpamu.

Tapi takkan kubiarkan waktu melarutkan diriku dalam bayang-bayangmu. Kan kubersihkan sepihan-serpihan itu dan waktu akan mengajariku bagaimana hal itu terjadi. Walau kuakui hal itu sulit kulakukan. Kau telah membuatku menjadi wanita yang rapuh. Tak mampu berdiri tanpa kau papah. Kuakui aku telah membiarkan diriku selama ini terlalu kau manjakan hingga terlalu takut untuk kehilangan dirimu.

Cosmas tersentuh membaca kata-kata puitis itu. Mengingatkannya pada mimpi ibunya. Seakan ada ikatan batin antara Anna dengan Ibunya.  Dia membayangkan bagaimana perasaan kekasihnya waktu itu. Maafkan aku sayang, bisiknya dalam hati. Dia mencium buku itu tepat ketika Anna berdiri di tengah-tengah pintu. Cosmas tersipu malu.

“Tadi saya membaca catatanmu, sayang” Cosmas berterus terang

“Tidak apa-apa. Toh tidak ada rahasia di antara kita berdua. Kau tampak malu, sayang. Biasa saja” Anna membaca raut muka Cosmas.

Semua telah kembali seperti dulu. Namun ada satu hal yang tetap mengganjal di hati Anna. Dia belum paham mengapa Cosmas tiba-tiba mengasarinya waktu itu, bahkan berniat mengahiri hubungan mereka. Dia sulit percaya kekasihnya tega berbuat seperti itu. Jadi, Mengapa?

Anna terus bertanya, walau hanya dalam hati. Dia tidak berani menanyakan langsung kepada Cosmas. Takut merusak suasana baik yang sedang mereka nikmati.

Mereka berdua keluar dari kantor guru. Langit kemuning tampak dari halaman kantor. Seakan-akan memanggil hujan yang telah lama tak bertandang ke bumi Maumere. Burung-burung gereja bercericit di atap gedung sekolah Bercengkerama satu sama lain  dan bersiap masuk ke dalam sarang. Anna dan Cosmas bergerak meninggalkan kompleks sekolah.

***

Cosmas mengajak Anna makan malam bersama Firmus dan Butet di rumah makan Seafood dekat pelabuhan. Malam itu adalah malam terakhir Butet di Maumere.

Dia telah menjelajahi hampir semua tempat wisata dan tempat-tempat bersejarah di Kabupaten Sikka. Firmus mengambil alih tugas Cosmas. Butet sebenarnya keberatan. Tapi tidak tega memaksakan kehendaknya setelah Firmus menjelaskan alasan yang sebenarnya.

Rumah makan itu tidak seramai biasanya. Beberapa meja kosong. Hanya ada 1 meja lain yang berisi. Itupun hanya diisi seorang polisi pelabuhan.

Suasana makan malam itu agak kaku. Tidak terlalu banyak pembicaraan. Masing-masing sibuk menghabiskan makanan dan minuman di atas meja.

Butet memperhatikan Cosmas sungguh lain malam itu. Dia lebih banyak diam dan tampak kaku. Benar-benar beda dengan kesan yang dirasakan Butet saat bersamanya selama  beberapa hari. Dia menduga penyebabnya adalah Anna.

“Jadi kapan kalian menikah?tanya Butet menyembunyikan kekikukannya berhadapan dengan Anna.

“Belum tau, Kak”

“Tidak usah panggil Kakaklah. Saya masih muda kok” kata Butet

Anna tidak membalas. Dia memindahkan sepotong daging ikan dari piringnya ke piring Cosmas menggunakan garpu.

“Saya tidak bisa habiskan ini, sayang”

Cosmas menganguk.

Butet melirik sekilas potongan ikkan yang dipindahkan Anna ke piring Cosmas. Hanya sepotong kecil. Dia yakin Anna sengaja membuatnya cemburu. Apakah aku cemburu? tanyanya dalam hati. Tidak! Saya belum jatuh cinta padanya. Butet membohongi dirinya sendiri.

Ada bingkisan kecil di dalam tas Butet. Kenang-kenangan untuk Cosmas. Dia bingung cara menyampaikannya. Kehadiran Anna sungguh membuyarkan semua rencana yang dia siapkan. Bingkisan itu tetap di dalam tasnya hingga Firmus mengantarnya pulang ke hotel.

Anna dan Cosmas tidak buru-buru pulang. Masih ingin menikmati suasana pantai malam hari. Lampu kapal di kejauhan berkedip-kedip. Sesekali hilang. Muncul lagi. Mereka berdua masuk ke pelabuhan.  Duduk di atas motor menonton pemancing malam di bibir patai dalam cahaya remang-remang.

Anna memberanikan diri mengeluarkan ganjalan kecil dalam hatinya.

“Sayang, bisa saya bertanya sesuatu?”

Cosmas mengira Anna mau mengerjainya dengan teka-teki jebakan.

“Ya bisa dong sayang. Yang penting jangan kau ikutsertakan jawabannya”

“Uuuuh. Aku serius”

“Ya, apa sayang?”

“Jangan marah ya. Aku tidak bermaksud apa-apa. Benar-benar ingin tahu saja. Kenapa kemarin itu kau berubah sekali. Kira-kira kenapa ya?  Ada masalah berat yang membelit pikiranmu waktu itu, yang tidak saya ketahui?”

Cosmas menarik nafas panjang.

“Waktu itu baru saya ketahui ternyata kau pencemburu yang tidak pernah kau tunjukkan sebelumnya. Di samping itu saya juga terlalu memikirkan belis perkawinan kita.”

“Aaah. Masa gara-gara itu saja kau minta kita putus?”

Anna belum puas dengan jawaban Cosmas.

“Yah, terpaksa begitu karena kita sedang bersiap untuk menikah, tiba-tiba saya tahu  calon istriku tidak seperti yang saya harapkan. Pekerjaan menuntutku untuk bergaul dengan banyak orang dari semua jenis kelamin, suku dan usia. Maka istriku haruslah seorang yang memiliki kepercayaan tinggi terhadapku”

“Jadi hanya gara-gara itu kau tega membatalkan acara Tung-Wa’a itu?”

“Tadi sudah saya katakan, di samping alasan itu saya juga sedang memikirkan belis yang mahal dalam adat istiadat kita”

“Itu kan tradisi sayang”

“Tidak ada tradisi yang terlalu suci sehingga tidak bisa dipikirkan dengan kritis”

Anna tidak mengerti. Pikirannya tak mampu menjangkau sejauh yang dipikirkan Cosmas. Tapi untuk pertama kali dia sadar bahwa kecemasan, kritik dan harapan tentang adat yang sering dilontarkan Cosmas selama ini merupakan hal serius baginya. Selama ini Cosmas menyampaikan pemikirannya tentang adat sambil lalu saja. Anna tidak pernah menanggapi dan memikirkannya dengan serius.

Mereka pulang ke rumah karna angin berhembus makin kencang. Para pemancing juga mulai membereskan alat-alat pancing mereka. Bersiap untuk pulang. Beberapa mobil truk memasuki pelabuhan. Kernek mobil yang paling depan berteriak-teriak. Menyuruh para pengendara sepeda motor menyingkir. Di atas truk itu timbunan pisang membentuk bukit yang memanjang. Pisang itu hendak dikirim ke Surabaya dengan kapal barang yang telah bersandar di pelabuhan. Pisang merupakan produk pertanian yang bisa diandalkan masyarakat Maumere karna pisang tahan terhadap segala musim. Di musim kemarau berkepanjangan seperti sekarang ini, pisang tetap berproduksi seperti biasa.

Anna mengeluarkan kertas-kertas ujian murid-muridnya dari tas. Cosmas menyeruput teh hangat. Jangkrik-jangkrik mulai bernyanyi di luar. Kelompok tokek mengimbanginya dengan simponi khas mereka. Suara anjing berkelahi di halaman rumah menambah ramai suara-suara itu.

Cosmas mengambil kertas-kertas itu satu per satu. Dia memeriksa dengan teliti. Memberi tanda benar atau salah pada tiap baris. Anna bertugas menghitung jumlah tanda benar. Memberi nilai dan mencatatnya di buku panjang tipis berwarna biru tua.

Orang tua Anna menonton di ruang tengah. Membiarkan anak dan calon menantu mereka bekerja di kamar. Suara-suara tokek makin lama makin parau dan sayup. Jangkrik terus mengerik dengan nyaring.

“Loh, yang ini kok kau beri tanda salah, sayang?” tiba-tiba Anna mengganggu konsentrasi Cosmas. Dia menunjuk baris ketiga dengan pulpen pada sebuah kertas yang dia pegang. Cosmas menelitinya kembali.

“Ini memang salah kok. Dia tulis remint, seharusnya kan reminded” Cosmas menerangkan.

“Itu kan hanya salah tulis saja”

“Itu tetap kesalahan”

“Ah, kau seperti tidak penah saja sekolah” Anna mengejek

“Tidak peduli. Yang salah tetap salah”

“Untunglah kau bukan guru, bisa-bisa murid-muridmu dapat nilai nol semua” Anna terus menerus berusaha membuat Cosmas merasa terganggu. Cosmas mengerti maksud Anna. Dia pelototi mata Anna, berpura-pura marah. Anna membalas memelototi mata Cosmas. Kemudian mereka meledak dalam tawa dan kembali saling mengejek. Bermain-main seperti anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun