Minggu-minggu terakhir ini sebagian besar perhatian penonton dan pembaca berita di tanah air terarah ke Bandung karena kota yang pernah dijuluki Paris Van Java tersebut sedang berbenah, mempercantik diri untuk menyambut para kepala negara dan delegasi peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) yang tahun ini genap berusia 60 tahun. Jakarta juga ikut bersolek dan berbenah tapi tak sesibuk kota Bandung yang mesti berkejaran dengan waktu menuntaskan proyek pembangunan kota bergaya Eropa untuk membuat para tamu negara yang akan menghadiri acara akbar tersebut terkesan dan bernostalgia, mengenang peristiwa serupa di tahun 1955.
Hiruk pikuk perayaan 60 tahun KAA berhasil mengalihkan perhatian publik dari isu-isu hangat dan perdebatan sengit yang menghiasi kanal-kanal berita dalam bulan-bulan terakhir ini. Sebut saja pelantikan Wakapolri baru yang berlangsung sepi dan mengundang tanya dari sejumlah pihak, tidak sempat membuat kegaduhan di media sosial. Jakarta sebagai pusat politik dan kekuasaan yang kerap meniupkan berita pertikaian dan perbantahan beraroma politik, kali ini mengumbar senyum dan tepuk tangan saat Presiden Jokowi membacakan pidato pembukaan di hadapan para kepala negara dan delegasi peserta konferensi. Pujian dengan wajah sumringgah berhamburan dari para politisi Jakarta.
Sebagai pengguna aktif berbagai media sosial, saya benar-benar merasakan keriaan dan semangat positif yang terpancar dari KAA ini. Beberapa hari terakhir, di layar smartphone saya tak satupun muncul meme atau gambar-gambar satiris yang biasa dikirimkan teman-teman sebagai bentuk kritik atau ejekan atas berbagai peristiwa sosial politik di tanah air. Para netizen (pengguna internet) sibuk berbagai gambar wajah terkini dari kota Bandung dengan gedung-gedung tinggi bergaya Eropa klasik yang telah dipermak ulang, jalur pejalan kaki yang ditepinya berjejer bola batu, lukisan Soekarno dan para penggagas KAA hasil karya para seniman jalanan.
Netizen Jakarta berbagi gambar tentang penutupan jalan di beberapa titik karena tamu-tamu negara hendak melintas. Sebagian netizen agak menggerutu karena terpaksa menempuh jalur yang lebih panjang untuk bisa sampai di tempat kerja. Tapi lebih banyak yang antusias dan tetap mengumbar senyum. Mereka, misalnya, menggunakan kreta api kemudian berjalan kaki dari stasiun ke kantor di sekitar Sudirman.
Saat menyaksikan barisan ubun-ubun dan berbagai spanduk upcapan selamat datang di sepanjang jalan menuju Bandara Halim Perdakusuma, tiba-tiba pernyataan kritis dilontarkan seorang teman di grup Whatsapp: apakah semua kemeriahan ini hanya eforia sesaat atau sekedar nostalgia sejarah belaka? Adakah mamfaat dan makna lebih dalam yang dapat kita petik?
Pertanyaan itu sontak memantik diskusi seru. Seorang teman lain memberi informasi yang dia dapat dari sebuah majalah nasional bahwa perhelatan akbar tersebut menelan biaya Rp. 200 Miliar. “Tak mungkin pemerintah mau mengeluarkan dana sebesar itu kalau tidak ada makna dan keuntungan yang hendak digapai” katanya.
Sesungguhnya, tak perlu analisis ngejlimet untuk melihat keuntungan dari perayaan KAA ke-60. Bagi kota Bandung, cukup jelas, perayaan tersebut akan membuatnya semakin terkenal sebagai sebuah kota wisata internasional yang kaya akan nilai-nilai sejarah. Beragam julukan kini disematkan kepada kota Bandung: Kota Cerdas, kota ramah HAM, kota ramah lingkungan, kota bersejarah dan berbagai atribut lain. Bukti yang lebih konkrit: Ridwal Kamil, Walikota Bandung terpilih sebagai Chairman Asia Africa Smart City Alliance. Kesempatan ini sangat bagus bagi Indonesia Travel untuk meningkatkan geliat pariwisata ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Bagi Jakarta, sebagai pusat politik dan kekuasaan sekaligus sebagai representasi Negara Indonesia, perayaan akbar ini tentulah membawa dampak signifikan menaikkan citra positif di dunia Internasional. Selain itu, kini terbuka lebar peluang kerjasama yang lebih intens dan lebih menguntungkan di bidang perdagangan dan industri khususnya dengan negara-negara Afrika yang selama ini hanya didominasi oleh China dan India. Maka tidaklah sia-sia Bandung bersolek dan senyum Jakarta bukanlah senyum hambar tanpa arti. Semoga.
[caption id="attachment_362423" align="aligncenter" width="620" caption="Jln. Asia Afrika, Bandung (Dok Pribadi)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H