Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Angka-Angka

18 Maret 2015   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Deretan angka dalam tabel umumnya tak menarik untuk disimak apalagi oleh orang yang sama sekali tak berkepentingan dengan tabel tersebut. Di lembaga-lembaga pendidikan, masalah angka-angka juga hanya menarik bagi segelintir pelajar. Angka-angka selalu kaku dan sering menuntut pemikiran serius, tidak bisa dipahami dengan santai sebagaimana kita memahami kalimat-kalimat surat cinta atau sebuah cerpen. Namun banyak politisi dan birokrat sangat terarik dengan angka-angka bersama dengan rincian-rincian yang rumit dalam tabel (anggaran). Bukan karena hobi, minat atau kompetensi, tapi karena angka-angka dalam tabel tersebut berhubungan langsung dengan prospek pemasukan ke “kas pribadi” dari anggaran yang mengucur tiap tahun.

Sangat wajar, selama puluhan tahun, masalah angka-angka dalam tabel anggaran pemerintah jauh dari perhatian masyarakat. Hanya menarik bari para politisi dan birokrat serta para kroninya yang punya kepentingan. Di sebuah kota super sibuk dan super padat seperti Jakarta, misalnya, masyarakat sudah terlalu letih dan sumpek dengan kemacetan, persaingan berebut rejeki dan beragam persoalan dalam kehidupan metropolitan. Maka tak ada menariknya sama sekali mengalokasikan waktu dan energi untuk menyimak, apalagi ikut memikirkan anggaran pemerintahan. Karena itulah selama puluhan tahun para politisi dan birokrat busuk leluasa “menggoreng” anggaran DKI dan menjadikannya tambang emas pribadi atawa kelompok.

Sekarang jutaan mata tertuju pada angka-angka dalam anggaran DKI Jakarta. Bukan hanya mata warga Jakarta, tapi juga warga dari daerah lain. Ketika menyimak angka-angka dalam tabel anggaran DKI hasil investigasi sebuah majalah nasional, sekonyong-konyong saya tersadar betapa hebatnya Ahok. Dia telah menyihir saya untuk ikut menyimak bahkan memikirkan apa yang selama ini sangat tidak menarik perhatian. Saya makin terkesima ketika mendapat broadcast pesan via BBM tentang kisruh anggaran DKI dari seorang anggota keluarga di kampung halaman, yang belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di Jakarta. Menurut saya, inilah salah satu sumbangan besar dari Ahok bagi bangsa ini. Dalam arti tertentu, dia telah berhasil mendidik rakyat yang abai dan masa bodoh, menjadi penduli dan kritis.

Angka-Angka dalam Komunikasi Politik

Dalam sebuah diskusi informal, sambil berseloroh seorang teman yang memiliki usaha percetakan mengaku bahwa dirinya secara ekonomis kecewa dengan sikap dan tindak tanduk Ahok. Katanya, penundaan realisasi anggaran DKI membuat omzetnya menurun drastis sebab selama ini pelanggan utamanya adalah instansi-intansi Pemda DKI. “Tapi saya selalu mencoba berpikir idealis dan akhirnya sadar Ahok melakukan yang benar” terangnya lagi. Kami tersenyum dan mulai menarik kesimpulan tentang dua jenis kebenaran dalam komunikasi politik. Kebenaran ekonomis dan kebenaran idealis.

Dua jenis kebenaran tersebut merupakan bentuk penyederhanaan versi kami sendiri dalam membedah  dua pandangan para pengamat politik tentang gaya komunikasi politik Ahok yang tak kenal kata kompromi dan tanpa tedeng aling-aling. Pandangan pertama cenderung menyalahkan atau mengkritik gaya komunikasi seperti itu. Pandangan ini dilontarkan oleh, salah satunya, Hanta Yudha dalam acara talk show dan wawancara di stasiun televisi. Dalam politik, kata Hanta, diperlukan kecakapan membangun komunikasi dan kompromi politik agar tidak terjadi kebuntuan seperti dalam proses pengesahan anggaran DKI. Kecakapan itulah menurunya yang tidak dimiliki Ahok sehingga rakyat Jakarta mesti menanggung akibatnya karena akhirnya layanan publik tehambat oleh macetnya anggaran. Dapat disimpulan tindakan seperti itu sangat merugikan secara ekonomis. Kebenaran idealis, salah satunya diwakili oleh Hamdi Muluk, melihat gaya komunikasi Ahok justru dapat dibenarkan karena lebih mengedepankan kepentingan publik, kebenaran dan kejujuran daripada etiket, sopan santun dan basa-basi politik.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menilai mana pandangan yang benar. Hanya saja, perlu kita catat bahwa politik Indonesia tidak bisa dilihat secara simplistis. Di negeri ini komunikasi, kompromi dan kerja sama politik sebagian besar dibangun berdasarkan hitungan angka-angka (untung rugi) yang sangat rumit, bukan berdasarkan perhitungan tentang yang paling benar dan terbaik bagi rakyat. Memang bisa diperdebatkan bahwa kompromi bisa juga dalam bentuk pembagian kekuasan, pemberian dukungan atau dalam bentuk lain. Tapi apapun bentuknya, pasti akan mengarah pada angka-angka. Kekuasan dan dukungan politik pada akhirnya akan dikapitalisasi menjadi angka-angka, baik dalam wujud Rupiah, Dollar atau wujud lainnya. Ahok tampaknya sangat menyadari kenyataan itu sehingga menembuh sebuah cara radikal, bukan karena tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Maka sungguh tepat dia tidak terlibat dalam kompromi politik, agar tidak terlibat dalam permainan angka-angka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun