Kalau anda pernah bertandang ke kantor pusat Partai Nasdem di Gondangdia (Jakarta Pusat), akan segera sadar bahwa pimpinan partai tersebut pengagum tokoh-tokoh besar nasional dan internasional. Ada 200 lebih patung tokoh dari seluruh dunia di gedung tersebut, tapi yang paling unik adalah patung Jokowi. Patung-patung lain dibuat setengah badan, sebagian hanya leher dan kepala. Patung Jokowi satu-satunya yang dibuat lengkap dari kaki hingga ujung rambut, ditempatkan di samping meja kerja ketua umum di lantai 20 Nasdem Tower. Ini menggambarkan kedekatan hubungan pimpinan partai tersebut dengan Presiden Jokowi yang sudah terjalin lama.
Dalam berbagai wawancara live di media kita juga bisa menangkap kedekatan hubungan Jokowi dan Surya Paloh. Surya kerap memberikan panggilan sayang “Adimas Jokowi”; Jokowi sering memanggil Surya “Abang”. Namun kedekatan ini sekarang sepertinya berada dalam titik terendah. Kedua tokoh besar politik tersebut dalam beberapa bulan terakhir kerap menghiasi pemberitaan yang menggambarkan keretakan hubungan mereka karena berselisih jalan dalam persiapan menuju Pilpres 2024. Puncaknya adalah penetapatan Jhonnny Gerrad Plate sebagai tersangka dalam dugaan mega korupsi BTS (Base Transceiver Station).
Dalam kegaduhan pengusutan dugaan mega skandal BTS, kita seperti menyaksikan para gajah politik Indonesia sedang berkelahi. Secara normatif, pengusutan skandal tersebut memang mesti kita lihat sebagai sebagai proses hukum. Tapi bagaimanapun, sangat sulit untuk tidak mengaitkannya dengan proses politik terutama setelah beberapa media menyebut nama-nama besar lain dalam kaitan dengan skandal tersebut seperti Hasto Kristiano (Sekjen PDIP) dan Hapsoro Sukmonohadi (suami Puan Maharani).
Kita hanya berharap agar perkelahian para “gajah”, tidak membuat “pelanduk” mati di tengah. Pelanduk dalam hal ini tentu adalah rakyat Indonesia yang tinggal di daerah 3T (tertinggal, terluar dan terdepan). Ini nomenklatur politik yang diciptakan untuk menyebut masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok Nusantara.
Nomenklatur tersebut sering digunakan dalam program-program pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan kepedulian kepada masyarakat yang jauh dari pulau Jawa (pusat). Tapi, mirisnya, program-program untuk masyarakat dalam kategori tersebut justru sangat sering menjadi bancakan politik sebagaimana tergambar dalam dugaan korupsi BTS. Karena itu saya menyebutnya mega skandal. Proyek mulia yang dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat di pedalaman mengakses informasi justru menjadi bancakan politik dengan total rencana anggaran Rp. 28 triliun.
Dari besaran angka kerugian negara (sekitar Rp. 8 triliun dari Rp. 10 triliun yang sudah dikucurkan) dan dari berbagai kejanggalan proyek tersebut sejak dari proses penggangaran, tender hingga pelaksanaan kita bisa menyebutnya sebagai state capture. Ini istilah yang digunakan Bank Dunia untuk menggambarkan korupsi di negara-negara Asia Tengara di mana pebisnis, politisi dan pejabat berkomplot untuk menggarong uang negara.
Sepertinya proyek tersebut dirancang sebagai bancakan ketika para gajah masih akur, kemudian bau amisnya mulai menyebar ketika para gajah mulai saling sikut karena perbedaan kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Barangkali ini adalah hikmah dari pertikaian politik. Kita sulit membayangkan kasus tersebut dapat terendus dan terungkap andai penguasa dan para politisi pendukungnya masih akur di jalan yang sama. Maka mari kita lanjutkan menonton perkelahian para gajah, tapi harus kita teriakkan agar pelanduk tidak mati di tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H