Pernyataan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, minggu lalu bahwa bahwa kepala desa yang korupsi dengan nilai kecil tidak perlu diadili, dapat menurunkan semangat pencegahan dan pemberantaan korupsi di negeri ini. Marwata beralasan, biaya proses hukum hingga ke pengadilan bisa lebih besar dari nominal yang dikorupsikan sehingga tidak efektif dan efisien karena biaya proses hukum yang ditanggung negara lebih besar dari potensi pendapatan dari pengembalian uang yang dikorupsi (CNN Indonesia, 02/12/21).
Dengan menggunakan perspektif ekonomi dalam pemberantasan korupsi, Marwata telah mendegradasi level tindak pidana korupsi dari kejahatan luar biasa menjadi kejahatan "biasa-biasa saja". Padahal salah satu dampak positif dari keberadaan KPK dengan semua sepak terjangnya selama ini adalah semakin banyak masyarakat yang meyakini bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.
Sejak KPK berdiri, penindakan pelaku-pelaku korupsi menjadi salah satu topik yang paling sering menghiasi media massa dan mendapat perhatian luas di negeri ini. Para figur publik juga semakin sering berbicara tentang pentingnya memberantas korupsi dan sering mengutip "korupsi adalah kejahatan luar biasa dan musuh bersama". Bersamaan dengan itu, berbagai lembaga mempromosikan nilai-nilai kejujuran sebagai langkah dasar mencegah korupsi, bahkan lembaga-lembaga pendidikan sekarang memasukkan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum. Semangat seperti ini pelan-pelan memanamkan kesadaran ke dalam benak masyarakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mesti diberantas hingga ke akar-akarnya. Maka pernyataan Marwata sebagai salah satu pimpinan  lembaga yang semestinya selalu terdepan dalam pemberatasan korupsi, dapat merusak semangat dan iklim anti korupsi yang sudah mulai terbentuk di negeri ini.
Keadilan Bersifat Imaterial
Selain korupsi, tindak pidana yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa di Indonesia adalah terorisme, kejahatan seksual terhadap anak, penyalahgunaan narkoba dan psikotropika. Keempat kejahatan ini dapat menyebabkan kerusakan mendalam dan berdampak luas bagi masyarakat. Kasus terorisme di sebuah daerah, dapat menimbulkan ketakutan bagi masyarakat di daerah lain bahkan di seluruh Indonesia ini. Dengan demikian, bukan hanya rasa keadilan korban langsung yang tercederai tetapi juga rasa keadilan masyarakat lebih luas telah direnggut oleh pelaku. Semua masyarakat berhak hidup bebas dari rasa takut.
Sejajar dengan itu, korupsi kecil yang dilakukan oleh seorang seorang kepala  desa dapat membuat kepala desa lain kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya. Jadi, bukan hanya rasa keadilan masyarakat yang dipimpin kepala desa pelaku korupsi tersebut yang tercederai, tetapi juga rasa keadilan masyarakat di desa lain. Maka mengatakan "korupsi dengan nilai ekonomi kecil tidak perlu diproses hukum", sejajar dengan pernyataan "aksi terorisme tidak perlu ditindak aparat hukum kalau tidak ada korban jiwa".
Sekarang tampak jelas bahwa keadilan  tidak bisa diukur dan dikuantifikasi karena bersifat immaterial. Karena itu hilangnya rasa keadilan masyarakat akibat tidak pidana korupsi tidak mungkin dipulihkan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Penegakan Hukum demi Efek Jera
Selain bertentangan dengan prinsip pemulihan keadilan, menggunakan perhitungan ekonomi dalam pemberantasan korupsi dapat mengurangi efek jera bagi pelaku atau calon pelaku lain. Salah satu strategi untuk memerangi kejahatan luar biasa adalah memberikan efek jera secara maksimal.