Rencana pemerintah membatasi pembelian gas bersubsidi mulai pertengahan tahun ini menambah panjang perubahan kebijakan akibat mandulnya penegakan aturan dan amburadulnya data kependudukan di negeri ini. Gas bersubsidi telah lama diketahui kurang tepat sasaran karena juga dinikmati masyarakat ekonomi menengah ke atas. Salah satu indikasinya adalah praktek oplos.
Gas 3 Kg yang berubsidi bisa dibeli dengan harga Rp.16 ribu dalam skala besar, kemudian dipindahkan ke tabung berukuran 12 Kg yang di pasaran dibanderol di atas Rp. 130 ribu. Â
Dengan perhitungan 4 tabung gas 3 Kg menghasilkan 1 tabung gas 12 Kg, kita bisa mendapatkan gambaran margin keuntungan yang didapatkan oleh para pelaku oplos gas tersebut. Margin itu masih tetap besar sekalipun mereka menjual gas 12 Kg di bawah harga pasar untuk menarik pembeli.Â
Cerita seperti ini bisa dengan mudah kita temukan di berbagai liputan media dan tentu jauh lebih banyak kisah yang belum terekspos. Apakah aparat dengan segala kewenagan dan fasilitas yang dimilikinya sungguh tak berdaya memerangi kejahatan ekonomi ini?
Indikasi kedua, cukup mudah menemukan keluarga-keluarga kaya (indikator paling mudah: memiliki mobil pribadi) masih menggunakan gas 3 Kg bersubsidi. Apakah pemerintah tidak memiliki data akurat tentang persebaran masyarakat tidak mampu?
Semestinya berdasarkan data itu pemerintah dapat menentukan jatah bagi setiap suplier dan pedagang eceran sesuai dengan jumlah masyarakat tidak mampu di lokasi masing-masing. Â Hampir tidak pernah terdengar ada suplier atau pedagang yang ditindak karena menjual gas bersubsidi ke keluarga dari kategori ekonomi mampu.
Lemahnya penegakan hukum dan aturan disertai carut marut sistem distribusi gas bersubsidi selama ini pada akhirnya mengorbankan masyarakat tak mampu. Atas nama efesiensi, sebentar lagi pembatasan akan diterapkan pemerintah sebagaimana dilaporkan kompas.com.Â
Segera setelah aturan baru itu berlaku, para penjual makanan di pinggir-pinggir jalan dan berbagai jajanan masyarakat kelas bawah otomatis akan naik. Efek selanjutnya, seperti kita tahu, akan merembet ke harga-harga lain, dan sekali lagi, korban pertama dari semua itu adalah masyarakat kelas bawah.
Pada akhirnya masyarakat akan bosan dengan semua jargon-jargon manis bernama reformasi hukum, reformasi birokrasi, reformasi ekonomi dan seabret reformasi lain yang didegungkan dengan keras sejak lima tahun lalu. Kapankah wujud nyata dari semua konsep-konsep indah dan manis tersebut bisa dirasakan masyarakat lapisan bawah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H