Saya tekesima saat menemukan sebuah warung kopi yang tidak hanya unik dalam nama, tetapi juga dalam pemilihan tempat. KOPITRO alias Kopi Trotoar, demikian pemilik dan pengelola memberi nama usaha kreatif mereka.Â
Seperti namanya, warung yang menghidangkan seduhan kopi hasil olahan manual brew tersebut membuka lapak di trotoar pada malam hari.
Pertama kali berkunjung setengah tahun lalu, saya penasaran. Mampukah usaha kreatif anak-anak muda ini bertahan? Di pinggir-pinggir jalan cukup mudah menemukan kopi Kapal Api dan sejenis, dengan harga 3000. Paling mahal 5000. Apakah orang tertarik menikmati kopi dengan harga sedikit lebih mahal di trotoar?
Malam Minggu lalu saya datang untuk kedua kali. Lebih dari sekedar bertahan, Kopitro telah melesat pesat. Sekarang sudah ada live musik, mengandalkan satu vokalis dengan iringan gitar dan perkusi. Anak-anak muda meriung, menyesap kopi di atas kursi plastik atau lesehan di lantai sambil mengoyang-goyang kepala.
"Ide kreatif yang digeluti dengan konsisten akan menemukan rejekinya sendiri". Kesimpulan ini saya tarik karena tak memiliki keahlian menjelaskan dengan yakin mengapa warung kopi kreatif ini bisa berkembang pesat.
Saya kebetulan penikmat kopi beraliran black that matters. Asal hitam, pasti enak. Kapal Api seharga 3 ribu dan Black Americano seharga puluhan ribu, sama saja di lidahku. Maka saya tak mampu membedah keunggulan menu-menu Kopitro ini untuk menjelaskan mengapa mereka bisa berkembang pesat.
"Karakter seorang pemimpin berperan besar menentukan perilaku sosio-ekonomi masyarakat yang dipimpinnya."
Namun baiklah, mari sedikit berasumsi. Karena tidak mengeluarkan modal untuk sewa gedung yang kerap menjadi salah satu pengeluaran terbesar dalam bisnis indoor, Kopitro mungkin bisa menyajikan menu-menu lebih murah, berkualitas sama dengan kafe-kafe penyedia kopi di gedung berdekorasi cantik yang tengah tumbuh bak jamur di musim penghujan di seluruh sudut Jakarta.
Jadi hanya dengan uang 13 ribu, misalnya, anak-anak muda sudah bisa memposting foto di medsos saat tengah menunggu seduhan kopi Sidikalang menetes tuntas ke gelas berisi susu dari Vietnam dripper di hadapan mereka, sambil menikmati musik.
Barangkali persepsi tentang predikat "keren" mulai berubah. Berpose dengan segelas Flat White di kafe indoor mungkin sudah biasa dan tak lagi keren. Yang keren mungkin berpose dengan segelas pressed Gayo Wine di trotoar yang tentu masih jarang.
Apapun jawaban paling tepat, orang yang menggagas dan mengelola usaha kreatif ini layak diberi acungan jempol. Ini satu contoh dari ribuan usaha-usaha kreatif yang berkembang di Indonesia selama 5 tahun terakhir.