Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teka-Teki Rizal Ramli dan “Silat Politik” Jokowi

11 September 2015   08:42 Diperbarui: 11 September 2015   09:50 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali ke topik kontroversi RR. Menarik mencermati bagaimana RR selama ini selalu mendasarkan kritik-kritiknya dengan argumentasi serta perhitungan yang mudah dicerna akal sehat, dan cukup mengherankan para penentangnya sebagian besar hanya bisa berputar-putar pada pernyataan “itu keputusan Presiden” atau “itu sudah disetujui presiden”. Selain Faisal Bahri yang menanggapi kritik RR tentang tarif listrik dengan sistem voucher dengan memberi perhitungan tandingan, saya tidak menemukan perimbangan argumen dari para penentang lain di berbagai media massa yang saya ikuti.

Awalnya saya juga sangat terkejut dan sedikit jengkel dengan kritik-kritik RR tapi lama kelamaan semakin menyadari bahwa argumen-argumen yang dia sampaikan lebih mudah dicerna dan lebih bernas daripada tanggapan-tanggapan dari para penentangnya. Mari kita ambil contoh tentang rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). RR sejak awal memberi rincian bahwa penambahan daya listrik sebesar itu melebihi kebutuhan nasional sebesar 21.000 MW dan akan merugikan PLN karena kewajiban membeli kelebihan itu walau tidak terserap oleh konsumen. Tak satupun penentang RR, termasuk Wakil Presiden, bisa memberi perhitungan tandingan untuk menunjukkan RR salah. Semua hanya berkilah “itu keputusan Presiden”. Banyak masyarakat seperti saya yang tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Tapi sejauh ini menurut saya penjelasan RR lebih masuk akal. Sekarang bukanlah era “ABS”. Keterbukaan informasi telah mendidik masyarakat menjadi lebih kritis, karena itu dibutuhkan sebuah debat yang bernas, bukan sekedar berujar “itu keputusan Presiden”. Alasan-alasan yang hanya bersandar  pada subjek otoritatif (argumentum auctoritatis) sudah usang dan saatnya dibuang. Tunjukan mengapa A benar dan mengapa B kurang tepat. Saya pikir  salah satu keunggulan demokrasi adalah adanya  kesempatan untuk melihat dan mencerna dengan akal sehat mana yang benar dan salah.

Salam demokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun