Suatu waktu teman saya datang ke rumah. Saya sedang duduk santai di kursi teras memainkan gitar dengan asal-asalan, teman itu tiba-tiba datang dengan sepeda motor matic-nya dan langsung menodong saya dengan pertanyaan yang rasanya sudah diperdebatkan ratusan, atau bahkan ribuan tahun yang lalu.
"Hey Andi! Ayam atau Telur dahulu menurutmu?" tanya teman saya.
Sebenarnya saya tidak ingin menanggapi pertanyaan itu dengan serius, karena saya rasa tidak penting juga untuk dijawab. Toh sang ayam maupun telur juga rasanya tidak peduli dengan hal itu.
Tetapi, di sisi lain, saya merasa harus menghargai teman saya yang sudah datang kemari dengan pertanyaannya. Sehingga saya jadi berpikir apakah dia ke sini hanya untuk bertanya perihal itu, atau ada hal lain. Ah! Nanti juga tahu.
Gitar saya taruh. Demi meladeni teman saya itu, saya memutar ingatan-ingatan di dalam otak saya mengenai beberapa hal yang pernah saya baca tentang ayam dan telur itu. Perihal siapa yang lebih dahulu saya sebenarnya belum bisa menyimpulkan, karena dari beberapa artikel tentang penelitian yang menyatakan ayam lebih dahulu, maupun telur, keduanya mempunyai argumen yang kuat dan dapat saya terima secara logis.
Sehingga saya menggunakan sebuah strategi lama dengan kembali bertanya pada teman saya tadi.
"Kalau menurutmu telur atau ayam dahulu?" kata saya sengaja membalik menjadi telur dahulu baru ayam, dengan tujuan membuat siasat bahwa dia tidak sedang menggunakan taktik kata, di mana kata 'ayam' yang diucapkan terlebih dahulu daripada kata 'telur'. Saya sudah beberapa kali dikerjai teman saya yang lain dengan taktik itu, alasannya pasti : kan saya tadi bilang 'ayam atau telur' dahulu, jadi jawabannya ayam.
Ternyata teman saya yang satu ini tidak demikian. Dia malah protes pada saya, katanya. "Kamu saya tanya bukan menjawab malah tanya balik."
"Ya pertanyaanku tadi adalah jawaban," bantahku.
Dia tampak sedikit jengkel, lalu berkata. "Kalau menurutku sih ayam dahulu."
"Alasannya?"
"Karena kan dalam kitab suci disebutkan kalau Allah menciptakan makhluk hidup secara berpasang-pasangan. Jadi ya, bisa disimpulkan kalau dahulu ayam diciptakan satu pasang, baru kemudian bertelur."
Saya lega ternyata dia tidak menggunakan taktik kata seperti yang saya pikirkan tadi. Dan sebenarnya alasan ini cukup masuk akal juga bagi saya. Tetapi, lagi-lagi demi menghargainya saya berusaha mendebat argumennya itu. Saya berpikir sejenak untuk menyajikan data berdasarkan sains, Â atau religi.
Hingga:
"Kalau menurutku telur lebih dahulu."
Jangan kamu berpikir saya menggunakan taktik kata. Tidak!
"Alasanmu?"
"Karena seekor ayam bisa mengenal telur, sedangkan telur tidak mengenal ayam."
"Dasar Abu Nawas!"
Kami berdua tertawa.
Saya menjawab tadi dengan jawaban yang sama dengan Abu Nawas, berdasarkan cerita yang beredar saat dia mengikuti sayembara yang diadakan oleh Baginda Raja, dengan hadiah satu pundi emas.
Sementara, kesimpulan tentang ayam atau telur, telur atau ayam yang terlebih dahulu, belum kami sepakati.
Kemudian saya mengambil gitar yang tadi saya taruh. Kembali memainkan secara asal-asalan yang menghasilkan suara sumbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H