Suku adat osing merupakan suku asli dari Banyuwangi keturunan dari Kerajaan Blambangan (hasil pecahan dari Majapahit). Oleh karena itu, tata adat nya erat sekali dengan peradaban Jawa Kuno tetapi jauh berbeda dengan suku Jawa yang sekarang. Suku Osing sangat menjaga warisan budaya seperti tradisi, bahasa, seni, dan kepercayaan. Salah satunya rumah adat yang menjadi ikon dan mendapat perhatian khusus oleh beberapa peneliti maupun akademisi.
Pada tanggal 14 Oktober 2024, kami Mahasiswa Departemen Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang mengunjungi Desa Adat Osing Kemiren yang terletak di Banyuwangi dalam rangkaian kunjungan Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Masyarakat di sana menyambut kami dengan ramah dan hangat. Hal yang menarik di desa adat osing kemiren adalah rumah adatnya yang disebut-sebut tahan akan gempa. Bagaimana tidak? Pada setiap dinding rumahnya terdiri dari anyaman bambu dan kayu disebut dengan soko yang disatukan dan tidak melekat sempurna dengan tanah (hanya bersangga beberapa pion untuk menapak ke tanah). Persatuan antara kayu dan kayu yang menjadi pondasi rumah ini mempunyai daya lentur sehingga tahan akan gempa. Oleh karena itu, rumah adat ini bersifat fleksibel, bisa dibongkar pasang untuk acara tertentu, maupun dipindahkan kemana saja.
Dalam rumah adat osing kemiren terdapat 3 tata ruang; 1) bale, 2) jerumah (ruang keluarga), 3) pawon (dapur). Dahulu rumah adat osing kemiren termasuk dalam kategori rumah tidak sehat dikarenakan tidak memiliki jendela dan dianggap tidak ada sirkulasi udara yang cukup. Untuk menanggapi permasalahan tersebut, sekarang masyarakat di desa adat kemiren menambahkan beberapa jaring-jaring lubang pada dinding agar sirkulasi udara tetap terjaga.
Kemudahan dalam pembangunan rumah adat ini selaras dengan komitmen global dalam mensejahterakan masyarakat pada SDGs ke -11, Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan. Masyarakat adat osing akan memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau jika terus mempertahankan rumah adat mereka. Juga kualitas udara yang terjaga maupun material alam dari bangunan ini akan menjadi suatu strategi dalam penanggulangan bencana alam seperti gempa.
Kemudian, mengenai hukum adatnya, suku osing pada saat ini masih berjuang karena terkadang hukum adat selalu akan berbenturan dengan hukum formal. Masyarakat osing berharap ada perlindungan hukum untuk penyelenggaraan adat yang sedang mereka garap. Misalnya jika ada pencuri ayam, hukumannya akan diarak keliling kampung dengan barang curian tersebut. Â Lalu adat kawin colongan dan kawin lebongan yang menuai kontra karena bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana.
Untuk bahasa, masyarakat osing memiliki ciri khas seperti akhiran i jadi ai contoh kopi dibaca kopai, akhiran u jadi o banyu dibaca banyo. Adapun upacara adat yang disebut "Barong ider bumi" yang diselenggarakan setiap 2 syawal atau hari kedua hari raya idul fitri yang bertujuan untuk menolak balak. Dulu pada Tahun 1980-an ada perubahan untuk waktu pelaksanaan digeser pada syawal ke-4, tidak disangka ada satu anak meninggal dampak dari perubahan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaannya tetap pada hari ke-2 syawal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H