Mohon tunggu...
Rio Fafen
Rio Fafen Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seseorang yang kebetulan senang menulis. Terkadang tentang Hukum, Politik, dan Ekonomi. Terkadang pula hanya sekedar cerita dan puisi tak bermakna. ,

Selanjutnya

Tutup

Money

Ancaman Stabilitas dalam Era Transisi

10 Oktober 2014   23:09 Diperbarui: 24 Agustus 2015   12:40 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412931976229305608

Tahun 2014 merupakan tahun yang dipenuhi dengan berbagai tekanan dan tantangan yang harus di hadapi oleh Pemerintah serta Bank Indonesia selaku Bank Sentral Indonesia, hal ini dilihat dimana Tahun 2014 diapit dengan adanya krisis pada Kuartal-III Tahun 2013 dan potensi tantangan di Tahun 2015, sehingga Tahun 2014 dapat dikatakan sebagai Tahun Transisi yang mana harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Bank Indonesia untuk memperkuat Kestabilan Sistem Keuangan di Indonesia akibat gejolak di tahun 2013, serta mempersiapkan ketahanan Indonesia dalam menghadapi potensi tantangan besar di 2015, baik dari sisi domestik berupa potensi Capital Reversal (penarikan modal asing) serta potensi tekanan inflasi pada periode Pemerintahan yang baru, maupun tantangan Eksternal berupa kemampuan persaingan Indonesia ketika memasuki persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (“MEA”) 2015 serta potensi dampak kenaikan Fund Rate dari The Federal Reverse Bank (“The Fed”) selaku Bank Sentral United States, yang bisa saja mencapai 100 bps.

 

Terjepit Suku Bunga

Secara Eksternal, menjelang Tahun 2015, Indonesia akan menghadapi tantangan MEA 2015, yakni integrasi dan liberalisasi pasar bisnis di kawasan ASEAN, yang tentunya juga berdampak pada liberasi pasar keuangan, sehingga peran Bank Indonesia untuk membantu mendorong kemajuan Industri UMKM di Indonesia, serta meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam menjaga kestabilan dan ketahanan Institusi Keuangan dinilai sangat diperlukan.

Dari sektor UMKM, terdapat tantangan dimana kualitas dan kompetensi persaingan bisnis menengah di Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya, belumlah setara. Hal ini dikarenakan dari pangsa pasar di Indonesia sendiri, masih banyak masyarakat yang lebih menyenangi produk/brand asing daripada hasil karya dalam negeri, sehingga dikhawatirkan ketika tiba MEA 2015, Indonesia hanya akan dijadikan pasar tanpa mampu bersaing dengan produk-produk dari negara ASEAN lainnya. Selain itu, dengan adanya kebijakan pengetatan Suku Bunga oleh Bank Indonesia, membuat UMKM masih belum mendapat ruang untuk melakukan ekspansi bisnis.

Padahal dengan semakin dekatnya MEA 2015, seharusnya Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, dapat melakukan koordinasi dan mencari cara agar Suku Bunga acuan untuk kegiatan bisnis UMKM, bisa secepatnya diturunkan menjadi lebih kecil sehingga ekspansi bisnis pun dapat dilakukan demi meningkatkan daya saing antar negara ASEAN.

Seperti yang diketahui, Suku Bunga di Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura  dan Thailand, rata-rata berada pada kisaran 2%-4% untuk suku bunga dana dan suku bunga kredit pada kisaran 3%-7%, Sementara di Indonesia, suku bunga kredit perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 11,25%-13.30%  untuk  korporasi  dan  16%-23% untuk kredit mikro, sehingga Indonesia termasuk Negara dengan suku bunga kredit tertinggi di ASEAN.

Tingginya Suku Bunga Bank tersebut juga tidak lepas dari akibat tingginya BI Rate sebesar 7.5% yang merupakan dampak dari goncangan keuangan yang dibarengi dengan lonjakan Inflasi pada tahun 2013 yang mencapai 8.3%.  Memang, ditambah dengan adanya kemungkinan kenaikan Fund Rate dari The Fed sebesar 100 bps pada tahun 2015 (pada saat ini Fed Fund Rate adalah sebesar 0.25%), tindakan Bank Indonesia dapat dikatakan tepat dengan menahan BI Rate di level 7.5% (dan bahkan mungkin akan menaikan BI Rate di 2015) dalam rangka mewaspadai risiko mendatang.

Namun demikian, dengan perbedaan suku bunga yang terlalu besar antara Indonesia dengan Negara-negara ASEAN lainnya, apabila Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat menemukan cara untuk secepat mungkin menurunkan tingkat suku bunga yang tinggi ini, maka tingkat persaingan UMKM Indonesia di kancah MEA 2015 akan menjadi suatu problema tersendiri di kemudian hari.

 

Transisi Politik

Disisi lainnya, terdapat juga tantangan Domestic yang harus dihadapi Bank Indonesia dalam jangka waktu dekat ini, yakni adanya Sentiman Politik di era Transisi Pemerintahan seperti Tahun 2014 ini, yang mana telah sempat memberikan ancaman yang cukup berarti terhadap kestabilan keuangan Indonesia.

Hal tersebut dapat dilihat dimana sejak pengumuman pengesahan UU Pilkada, diangkatnya Ketua DPR serta Ketua MPR, telah memberikan efek yang cukup terhadap Depresiasi Kurs Rupiah yang dalam beberapa bulan ini terus tergerus di level Rp. 11rb sampai Rp.12rb per USD, dan bahkan juga membuat IHSG terus terjun dari level 5100 hingga level 4900.

Memang, seperti yang diungkapkan oleh Chatib Basri selaku Menteri Keuangan RI, “Dampak politik itu short term. Relatif jangka pendek”. Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa keputusan politik saat ini juga berpotensi untuk memberikan dampak yang cukup panjang, baik terhadap sentimen dan keputusan Investasi di Pasar, yang notebene dapat berdampak pada terjadinya Capital Reversal, maupun terhadap kebijakan-kebijakan politis yang berkaitan dengan permasalahan perekonomian Indonesia dikemudian hari.

Hal tersebut terbukti dimana salah satu dampak dari Kebijakan politis Pemerintah dimasa lampau adalah tingginya ketergantungan terhadap Impor, sementara kemampun untuk melakukan Ekspor masih tergolong lemah, sehingga ditambah dengan masih tingginya alokasi Subsidi Energi khususnya Subsidi BBM dan rendahnya alokasi Subsidi yang bersifat Produktif, membuat current account deficit (defisit neraca berjalan atau kondisi ketika sebuah negara mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada ekspor) Indonesia semakin membengkak.


Mengacu pada [Tabel I] yang berisi mengenai alokasi subsidi selama 5 (lima) tahun terakhir diatas, dapat dilihat bagaimana dampak dari kebijakan politis yang kemudian memberikan pengaruh pada alokasi Subsidi negara, dimana Subsidi Non Energi, khususnya total Subsidi untuk Pangan, Pupuk dan Benih hanya sebesar 9 - 12% dari total Anggaran Belanja Subsidi, sangat jauh berbeda dibandingkan Subsidi Energi khususnya Subsidi BBM yang tiap tahun selalu diatas 55%, yang bahkan berdasarkan RAPBN 2015, mencapai 67% dari total Anggaran Belanja Subsidi.

Padahal, salah satu upaya untuk mengatasi lonjakan current account deficit adalah dengan mengurangi subsidi BBM, dan dialokasikan kepada Subsidi Non-Energi yang lebih bersifat produktif, khususnya untuk Industri Pangan dan Kegiatan Bisnis Kecil-Menengah, sehingga alokasi tersebut dapat meningkatkan daya saing industri domestik sekaligus mengurangi ketergantungan negara akan Impor.

Namun dengan kondisi sosial dan politik di Indonesia, penyediaan subsidi BBM dapat dikatakan sebagai buah Simalakama, dimana apabila subsidi BBM dihentikan, maka bayang-bayang Inflasi pun berada di depan mata, namun apabila tidak dihentikan, maka dapat dipastikan akan ada tekanan besar terhadap current account deficit, dan ditambah dengan minimnya kemauan Pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan Nasional sekaligus mengurangi permintaan Impor, dikhawatirkan akan semakin menambah tekanan pelemahan rupiah.

 

Menuju Stabilitas 2015

Sutton dan Tosovsky (2005) dalam kajiannya “Financial Stability and Monetary Policy, Two Sides of the Same Coin ?”, mengungkapkan bahwa Kemampuan menjaga Stabilitas Keuangan diukur dari 3 (tiga) hal, yakni : 1) Kemampuan Mengalokasikan Sumber Daya Secara Efisien kedalam kegiatan produktif pada waktu yang berbeda-beda; 2) Kemampuan Memprediksi dan Mengukur Risiko; dan 3) Kemampuan untuk menyerap shocks atau goncangan-goncangan yang timbul. Sehubungan dengan hal tersebut, sejauh ini Bank Indonesia dapat dinilai telah cukup berhasil menjaga stabilitas keuangan di Indonesia, namun demikian, penulis menilai terdapat setidaknya 3 (tiga) hal yang dirasa harus selalu menjadi perhatian Bank Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan kedepannya.

Pertama, sebagaimana yang telah diketahui, dengan adanya Krisis Keuangan Global pada tahun 2008, telah menunjukan bahwa bergantung pada permodalan institusi keuangan yang kuat tidaklah cukup untuk menghadapi krisis, sehingga harus juga diimbangi dengan tingkat likuiditas yang cukup untuk meredam shocks yang timbul agar tidak menimbulkan efek yang berkepanjangan. Oleh karenanya, saat ini Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan diketahui telah secara perlahan mulai meng-Implementasikan Basel Accord III, yang pada pokoknya bertujuan untuk memperkuat permodalan, leverage dan likuiditas perbankan.

Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Draft Usulan di dalam “Consultative Paper: Kerangka Basel III” yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada akhir September 2014 yang lalu, diketahui bahwa kerangka yang sedang dibahas adalah terkait penyusunan Liquidity Coverage Ratio (“LCR”) untuk menentukan kecukupan High Quality Liquid Asset (“HQLA”) perbankan dalam meredam Stress selama 30 hari.

Namun demikian, perlu diperhatikan dan hati-hati, dimana dengan penerapan Basel III, maka perbankan dituntut secara ketat, untuk memelihara aset-aset liquidnya sebesar 100% pada kondisi normal, yang mana hal ini tentunya dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada kelancaran pemberian Kredit perbankan, dimana ditandai dengan kemungkinan akan adanya kenaikan Suku Bunga Kredit Perbankan sehingga berpotensi menciptakan “kemandek-an bisnis” yang membahayakan pertumbuhan industri-industri kecil-menengah dan UMKM. Bahkan lebih jauh lagi, berdasarkan Institute of International Finance (“IIF”) dalam kajiannya berjudul “Measuring The Cumulative Economic Impact of Basel III”, penerapan Basel III berpotensi menurunkan Rata-rata GDP Negara sebesar 3.2%  pada tahun 2015, yang bahkan untuk GDP United Kingdom (Inggris) dan Eropa Area, berpotensi terjadi penurunan sebesar lebih dari 4% di tahun 2015.

Oleh karenanya, dengan kondisi Indonesia saat ini, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator, dalam menerapkan Basel III ini harus ekstra hati-hati dalam menentukan seberapa “ketat”-kah tingkat liquiditas aset perbankan. Jangan sampai penerapan Basel III ditengah kondisi saat ini dimana Suku Bunga masih tinggi dan bahkan berpotensi untuk dinaikan sehubungan dengan kebijakan The Fed di 2015, akan semakin mempersulit pertumbuhan bisnis dalam negeri, khususnya dari sector kecil-menengah dan UMKM yang mulai tahun 2015, dituntut untuk bersaing dengan Industri-industri bisnis dari Negara-negara ASEAN lainnya.

Kedua, bukti lonjakan Inflasi pada Kuartal-III di Tahun 2013 telah membuktikan bahwa tekanan Inflasi dikarenakan subsidi BBM, masih menjadi momok tersendiri dalam kestabilan keuangan Indonesia. Salah satu permasalahannya adalah dikarenakan Indonesia belum memiliki Undang-undang Pengendalian Harga atau Price Control Act yang secara eksplisit mengatur mengenai kewenangan negara untuk menentukan Price Ceiling (batas harga maksimum penjualan) dan/atau Price Floor (batas harga minimum penjualan), terhadap berbagai barang khususnya terhadap harga dari berbagai jenis pangan atau Volatile Foods sebagai penyumbang utama Inflasi di Indonesia.

Terkait pembentukan aturan ini, Indonesia sebenarnya dapat mencontoh Malaysia, dimana ketika Indonesia saat ini sedang dipusingkan permasalahan kenaikan harga kebutuhan pokok, dikarenakan naiknya harga BBM, Malaysia sendiri ternyata tidak mengalaminya. Hal tersebut dikarenakan Malaysia dinilai mampu untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok secara lebih baik daripada Indonesia. Salah satunya adalah dikarenakan Malaysia telah memiliki Undang-undang bernama Price Control Act 1946 yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur dan menentukan batas harga maksimal penjualan dari berbagai barang di Malaysia serta berbagai Contol of Supplies Act yang masing-masing mengatur secara lebih khusus mengeni ketentuan siapa yang berhak menjual, menyediakan, mendistribusikan dan/atau menggunakan sejumlah barang dan jasa tertentu.

Memang ketentuan seperti ini dapat berpotensi menghambat pembentukan harga berdasarkan penawaran pasar, namun dalam kondisi-kondisi tertentu, negara perlu untuk melakukan intervensi harga secara siginifikan untuk mengatasi inflasi seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Emergency Price Control Act 1942, dimana Undang-undang tersebut mengatur mengenai Price Ceiling dari beberapa komoditi yang rawan inflasi. Oleh karenanya, dengan mengambil contoh dari pengalaman kedua negara tersebut, maka apabila melihat kondisi ekonomi dan sosial Indonesia saat ini, maka terkait komoditi-komoditi tertentu, khususnya komoditi yang merupakan kebutuhan pokok yang rawan inflasi seperti pangan, perlu adanya suatu kerangka peraturan yang mengatur harga barang layaknya Price Control Act dan Control of Supplies Act.

Ketiga, perlu  adanya  pembangunan Komunikasi yang Efektif yang  dibangun antara  Pemerintah  dan  Bank  Indonesia  dengan  Masyarakat  terkait  aspek-aspek  dan arah  kebijakan  moneter, karena  seberapa-pun pentingnya  kebijakan  yang  hendak  diambil  oleh  Pemerintah  dan  Bank  Indonesia, apabila  tidak  dikomunikasikan  dengan  baik  kepada  masyarakat, maka yang  muncul  di  permukaan hanyalah kepanikan  dan  penolakan  secara  besar-besaran. Terlebih  lagi  apabila  masyarakat  kemudian  terhanyut  didalam  paradigma yang  kurang  tepat  bahkan  menyesatkan,  tentunya  akan  sangat  berbahaya,  karena selain  berdampak  pada  terhambatnya  pelaksanaan  kebijakan  moneter, akan berdampak pula pada peningkatan ekspektasi inflasi di kalangan masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun