Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan di Indonesia. Sejak Januari hingga Oktober 2024, tercatat sebanyak 59.796 orang mengalami PHK, dengan tambahan 6.800 pekerja pada bulan Oktober. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan angka PHK tertinggi, mencapai 14.501 orang, yang mencatatkan lonjakan 94% dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara itu, Jawa Tengah mengalami penurunan sebesar 23,8%, dengan 11.252 pekerja terkena PHK, sementara Banten mengalami peningkatan sebesar 15,47%, mencapai 10.524 orang.
Di sisi lain, beberapa startup Indonesia juga terpaksa menutup operasionalnya, menyebabkan banyak tenaga kerja terdampak oleh penutupan bisnis. Penutupan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor utama yang mendorong startup mengalami kesulitan dan mengarah pada pemangkasan karyawan:
1. Kesulitan Pendanaan: Banyak startup bergantung pada pendanaan eksternal untuk tumbuh. Namun, dengan penurunan minat investasi dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan rintisan yang gagal mengakses modal, sehingga terpaksa memangkas biaya atau menghentikan operasionalnya.
2. Persaingan yang Ketat: Banyak startup kesulitan untuk bersaing di pasar yang semakin padat. Kegagalan dalam melakukan penetrasi bisnis sering kali berujung pada kesulitan mempertahankan pangsa pasar.
3. Meningkatnya Biaya Operasional: Ketegangan ekonomi global, inflasi, dan lonjakan biaya bahan baku menyebabkan beban operasional semakin tinggi, memaksa beberapa startup untuk memangkas biaya, termasuk melakukan PHK.
Penutupan startup dan tingginya angka PHK di Indonesia umumnya disebabkan oleh gabungan tantangan internal, seperti masalah manajerial, kesulitan beradaptasi, atau masalah keuangan, serta faktor eksternal, seperti persaingan yang semakin ketat, perubahan regulasi, atau kondisi pasar yang dinamis. Oleh karena itu, bagi pemilik dan manajer startup, penting untuk siap menghadapi perubahan yang cepat, mengelola risiko secara bijaksana, dan memastikan pendanaan yang cukup agar bisnis tetap bertahan.
Menurut dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si, pengamat Ekonomi Kerakyatan sekaligus Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tingginya angka PHK ini terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang lesu, yang berdampak pada sektor industri padat karya, seperti garmen dan tekstil. "Faktor-faktor yang menyebabkan gelombang PHK ini sangat beragam, tetapi sektor industri padat karya berorientasi ekspor menjadi yang paling terdampak," ungkap Hempri dalam wawancaranya dengan laman resmi UGM.
Dengan tren PHK yang terus meningkat, banyak yang bertanya-tanya, apakah fenomena ini akan berlanjut hingga 2025? Atau, apakah pemerintah memiliki langkah-langkah strategis untuk menanggulangi masalah PHK ini agar tidak berlanjut secara terus-menerus?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H