Mohon tunggu...
Ario S
Ario S Mohon Tunggu... Guru - Terus Belajar

Masih terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perubahan Sosial

22 April 2020   09:24 Diperbarui: 22 April 2020   09:26 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan saya beberapa kali menghadiri pesta berdiri saat hajad penikahan dalam hati saying bilang wah ini perkebangan yang cukum mudah dan praktis. Namun bila dilihat dari segi budaya dan etika saya kira ini kurang pas. Dalam acara ini saya banyak sekali melihat berbagai hidangan yang dapat dinikmati secara bebas dan sesuai selera. Banyak sekali saya menjumpai ipiring kotor yang disitu masih banyak menyisakan makanan. 

Ara sakmadya mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan ini. Mereka mengambil bebagai sajian yang disuka namun banyak pula yang mereka ambil tidak dihabiskan dan berlebih. Ara eling liyan mungkin juka kata yang pas untuk gambara ini. Bila saya melihat sering para tamu undangn yang dibelakang tidak kebagian sajin yang disedikan. Selain itu banyak pula dijumpai makan yang kurang baik seperti makan sambal berdiri dan bencang-bincang.

Dlam sebuah acara TVRI jogja acara angkringan dengan judul Dunia Global Dunia Gombal saya mendapat sebuh ilmu dari bapak Purwadmadi selaku bintang tamu. Dalam acara ini memberi sebuh informasi tetang perubahan kebudayaan.

Pertama perubahan kebudayaan yang hanya mengenal  Kang dumadi  yang sudah ada tanpa mengenal sangkan paranne (asal mula muasal, bibit kawit dan tujuannya). Hal ini mengakibatkan banyak yang langsung jadi user pengguna dan player pemain tanpa tau bagaimana sesuatu itu dibuat. Kita lebih suka yang instan dan langsung menjadi user dan player. 

Sebagai contoh adalah adanya teknologi smart phone banyak yang lasung menjadi pengguna tanpa tau sangkan parane fungi dan tujuannya, banyak kasus yang bermula dari Hp seperti penipuan, perselingkuhan dan lain sebagainya. Kasusu ini tentunya berbeda dengan tujuan awal ditemukannya dan diciptakannya hp canggih ini.

Kedua kita terlalu lama menjadi ahli waris tetapi tidak didorong menjadi pewaris. Artinya kita  hanya untuk  melestarika karya budaya tanpa diminta dan didorong satu kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang bisa diwariskan kepada anak cucu generasi berikutnya. Namun budaya yang sudah ada juga masih  perlu untuk dipertahankan.

Tiga kita dapat diposisi seperti bebek mengekor, bebek dalam kendang pejantan satu  betina dua puluh, bebek itu geleman ngendok ara neteske. Minthi  itu tidak tahu induknya. Ini seperti genrasi sekarang kurang mendapat  bimbingan. Generasi yang bingung deangan adanya perubahan kebudayaan dan sosial. Perlu adanya creator, generasi yang mewariskan kebudayaan unutk  generasi berikutnya. Upaya Bersama kerjasama untuk membangun peradapan kreatifitas inovatif supaya dapat mewariskan budaya tidak sekedar hanya melestarikan.

Dari beberapa hal yang disampaikan Pak Pur kita harus mampu untuk menjadi kreator dan inofator dengan terus melakukan Kerjasama untuk membuat kebudayaan yang dapat diwariskan tidak hanya menjadi pewaris saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun