Pers Realese
ALIANSI RAKYAT PEDULI KESEHATAN
(ARPEK) JAKARTA
Jakarta, Ratusan orang yang menamakan diri Aliansi Rakyat Peduli Kesehatan (ARPEK) Jakarta pagi ini (10/10/2013) mengelar unjuk rasa menyikapi 1 Tahun berjalannya program Kartu Jakarta Sehat (KJS). KJS adalah program unggulan dari pemerintah DKI yang pada kampanye pilkada lalu dijanjikan semua warga DKI baik miskin mau pun kaya dapat menikmati program tersebut. Janji tersebut tak ternyata tak dapat direalisasikan karena pada kenyataannya peraturan gubernur Nomor 187 Tahun 2012 yang memayungi semua warga DKI bisa menikmati KJS bentur dengan peraturan daerah tentang SISKESDA no. 4 tahun 2009 dimana telah diatur bahwa pelaksanaan jaminan kesehatan hanya diperuntukan bagi warga miskin dan rentan. Menyadari kekeliruannya dalam membuat peraturan, Joko Wi sebagai gubernur DKI mengeluarkan pergub no.14 tahun 2013 yang menyesuaikan peruntukan KJS sesuai dengan perda SISKESDA tersebut.
Kekisruhan KJS bukan hanya pada persoalan payung hukum, dalam pelaksanaannya pun KJS menuai banyak masalah. Masalah ini disebabkan karena KJS orientasinya lebih kepada sistem asuransi yang notebene mengandung unsur bisnis disamping unsur sosial. Terlebih pada saat ini pengelolaannya diserahkan pada pihak ke-3 yaitu PT. ASKES.
Sukandar, Humas ARPEK dalam siaran persnya menyatakan : ”Jakarta telah menjadi kelinci percobaan atas dilaksanakannya sebuah skema asuransi berkedok undang-undang.”
“dengan berubah menjadi asuransi maka setiap pasien pengguna KJS mulai dibatasi dalam mendapatkan obat, tindakan medis, alat medis dan pelayanan lainnya untuk mendukung proses percepatan penyembuhan pasien. Tindakan ini memang perlu dan wajar dilakukan oleh perusahaan asuransi di negara mana pun, tindakan ini dilakukan guna menekan laju pengeluaran biaya setiap pasien pengguna KJS dan dengan demikian perusahaan asuransi tersebut dapat memperoleh laba yang sebesar-besarnya setiap tahun.” Tambah Sukandar.
“Ada 5 hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan KJS ini : pertama, soal rujukan dimana pasien yang dirujuk biayanya tetap dibebankan kepada RS perujuk sehingga banyak menyebabkan penolakan pasien rujukan oleh RS Rujukan. Kedua, Verifikasi yang tidak jelas misalnya : warga DKI minimal yang sudah ber-KTP 3 tahun yang bisa menggunakan KJS. Bagaimana dengan pelajar miskin yang baru bertama kali membuat KTP dan jatuh sakit ? Ketiga, Tidak Dapat Pindah Status. Pasien miskin yang karena disebabkan keterbatasan pemahaman tentang mekanisme penggunaan KJS lalu terdaftar sebagai pasien umum tidak dapat pindah status menjadi pasien KJS. Sehingga banyak warga miskin yang terjebak dalam kubangan biaya berobat di RS. Keempat, Tidak Diberlakukannya Sistem Transit, Pasien Miskin pengguna KJS tidak dapat transit di kelas II atau I ketika kelas III penuh. RS wajib merujuk ke RS lain yang kelas III nya kosong. Sehingga pasien banyak yang harus tinggal di IGD melebih standar yang ditetapkan kemenkes. Kelima, Warga Pendatang Yang Tidak Ber KTP DKI Tidak Dijamin Bila Terkena DBD, padahal soal DBD ini adalah domain dari dinkes seluruh Indonesia.” Ahmad Ridowi, Humas ARPEK menambahkan.
Unjuk rasa yang didominasi kaum ibu ini berjalan damai dan tertib. (an)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H