Mohon tunggu...
Rio Alif Ramzy
Rio Alif Ramzy Mohon Tunggu... Lainnya - A cinephile as picky as coffee connoisseur.

A head full of imagination.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"The Neon Demon", Merasakan dengan Panca Indera

24 November 2017   08:44 Diperbarui: 24 November 2017   08:58 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Internet Movie Database (IMDb)

Ada satu pola yang terlihat dalam beberapa film terakhir karya Nicholas Winding Refn, yaitu semakin menghilangnya penceritaan konvensional yang terlalu bergantung pada plot. Dalam "Drive", film yang dielu-elukan dan melambungkan namanya, penceritaan masih benar-benar bersandar pada plot. Di tahun selanjutnya, "God Only Forgives" dirilis dan semua pujian berubah jadi cercaan. Plot yang sangat abstrak dan simbolis, gaya penceritaan yang highly stylized dan tingkat kekerasan serta darah yang lebih tinggi dari sebelumnya membelah dua penonton menjadi kubu yang mencintai dan membenci film tersebut. 

Puncaknya, pada tahun 2016, Refn mengirimkan "The Neon Demon" untuk bertanding dalam perebutan Palme d'Or. Sepertinya ia tidak peduli apakah ia memenangkan kompetisi tersebut atau tidak, dan tentunya ia tidak peduli reaksi penonton, sebab ia kembali berhasil membagi dua penonton seperti Musa membelah Laut Merah. Dalam suatu wawancara, ia berkata bahwa reaksi adalah hal yang ia inginkan dari penontonnya. Jika itu yang ia harapkan, maka dalam kasus ini ia berhasil mencapai tujuannya.

"The Neon Demon" adalah cerita yang sangat mengundang perhatian di atas kertas. Jesse (Elle Fanning) berumur 16 tahun dan datang ke Los Angeles untuk menjadi seorang model. Ia berteman dengan fotografer Dean (Karl Glusman), yang membantu Jesse mempersiapkan portfolio untuk mendaftar di agensi permodelan, serta Ruby (Jena Malone), penata rias yang mendandani model sekaligus mayat (Anda tidak salah baca).

Sesuatu di dalam diri Jesse, entah itu kecantikan, aura atau sesuatu yang lebih daripada itu semua, membuatnya melesat lebih jauh daripada model-model lain yang amatir sepertinya. Itu semua membuat model-model yang jauh lebih berpengalaman, seperti Gigi (Bella Heathcote) dan Sarah (Abbey Lee), jadi iri. Baik Ruby, Gigi, dan Sarah mulai menghalalkan segala cara untuk dapat mencicipi (secara figuratif dan literal) apa yang Jesse punya.

Dari segi cerita, "The Neon Demon" diatur untuk menjadi horor psikologis. Dalam layar lebar, "The Neon Demon" tidak menjadi seperti itu. Refn terkadang menggunakan konvensi-konvensi horor dan thriller, kemudian meninggalkannya begitu saja. Nyatanya, film ini susah dikategorikan. Mungkin, deskripsi yang lebih baik adalah drama psikologis dengan bumbu horor dan thriller. Film ini terus-menerus bermain dengan ekspektasi penonton, terutama yang sudah terbiasa terekspos dengan konvensi horor dan thriller.

Ada beberapa contoh dalam film yang menunjukkan bagaimana Refn bermain dengan ekspektasi. "The Neon Demon" dibuka dengan adegan Jesse, dengan riasan dan kostum yang mencirikan pemotretan untuk model, tergeletak dengan leher yang bersimbah darah di atas sofa. Dean memotret dengan tatapan dingin seperti pembunuh yang baru saja menghabisi korbannya. Ternyata, di adegan berikutnya, penonton mengetahui bahwa itu semua hanya sesi pemotretan.

Di adegan lain lagi, seorang fotografer meminta semua orang meninggalkan ruangan, dan Jesse diminta untuk menelanjangi diri. Dengan tatapannya yang sangat dingin pula, ia mematikan lampu dan mempersiapkan diri dengan perlengkapannya dari kegelapan. Alih-alih kita mengira bahwa Jesse akan disakiti, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ini adalah sesi pemotretan lainnya. 

Nicolas Winding Refn adalah sutradara yang mengharapkan lebih dari penonton, tipe yang take-it-or-leave-it. Hanya penonton yang sanggup menghadapi tantangannya yang dapat menikmati, atau setidaknya bertahan sampai credit roll muncul. Kalau ada satu tantangan dari Refn yang bermakna bagi penonton film ini, maka tantangan itu adalah duduk manis dan membiarkan Refn menyajikan banyak rasa pada penonton. Ini seperti salah satu model penyajian makanan di Jepang, dimana konsumen harus mempercayakan semuanya kepada sang juru masak untuk memanjakan indera mereka.

Di dalam film ini, aspek visual dan musik berbicara dengan kekuatan yang sama, jika tidak lebih besar, dengan performa tiap aktor dan aktris. Refn banyak sekali mengandalkan warna-warna kontras dan pencahayaan bak neon serta simbol dalam penceritaan sinematiknya kali ini. Cukup banyak momen-momen sureal atau abstrak yang sangat art-directed. Ditambah lagi dengan musik dari Cliff Martinez yang sangat bernuansa prog tahun 80an. 

Pecinta film, terutama yang sering menonton film-film abstrak, akan menyibukkan diri dengan menganalisa tiap unsur dan adegan dari film ini. Namun, Refn juga menantang ekspektasi penonton-penonton seperti ini juga. Kunci dari mengerti film ini justru adalah dengan membiarkan mata dan telinga dibombardir oleh stimulasi-stimulasi keinderaan "The Neon Demon" yang menggoda. Di film ini, apa yang terlihat mata dan didengar telinga akan bercerita lebih banyak daripada yang diduga.

Nicolas Winding Refn berhasil mendobrak ekspektasi penonton dengan menyajikan cara lain untuk menikmati sinema. Walaupun konsep ini mungkin tidaklah baru, tetap saja berlaku seperti ini: bahwa terkadang lebih menyenangkan dan bermakna untuk lebih mengindahkan apa yang dirasakan dibandingkan apa yang terlihat jelas. "The Neon Demon", tanpa peduli disukai atau tidak, menjelma menjadi salah satu produksi sinema tahun 2016 yang tidak akan mudah disingkirkan dari ingatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun