Mohon tunggu...
Rio Alif Ramzy
Rio Alif Ramzy Mohon Tunggu... Lainnya - A cinephile as picky as coffee connoisseur.

A head full of imagination.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"It's Only the End of the World", Mengevaluasi Kembali Pentingnya Keluarga

12 November 2017   20:30 Diperbarui: 12 November 2017   20:41 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: The Upcoming

Film "It's Only the End of the World" benar-benar dibuka setelah beberapa menit berjalan dengan lagu "Home is Where It Hurts" karya Camille. Lagu ini menggambarkan kenyataan mengenai konsep home yang berbeda dari yang sering digaungkan masyarakat, yaitu bahwa home bisa menjadi tempat dimana ketenangan dan kebahagiaan alpa, dan yang tersisa adalah hal-hal yang hanya membuat sakit hati. Dalam pemikiran Louis (Gaspard Ulliel), seperti inilah keluarganya.

Dalam film ini, Louis kembali berkunjung ke rumah keluarganya setelah 12 tahun absen dan menikmati semua ketenaran sebagai dramawan ternama. Tujuan kepulangannya egoistis: ia akan mengumumkan bahwa ia akan mati atas suatu penyakit yang tidak dijelaskan. Bayangkan, Louis punya setumpuk dosa pada keluarganya. Ia tidak bersua dengan keluarga bertahun-tahun dan tidak berusaha melakukannya, sehingga mereka otomatis hanya tahu gerak-gerik Louis dari media massa. Sekalinya ia akan bertatap muka lagi, ia membawa kabar kematian bersamanya, seakan ia hanya hadir untuk memberitahu bahwa ia tidak akan hadir lagi untuk kedua kalinya. Selain itu, walaupun ini mungkin dosa yang lebih kecil dari yang lainnya, Louis adalah seorang gay, yang menjadikan dia tanpa anak dan memungkinkan keluarga untuk menyalahkan gaya hidup ini sebagai penyebab penyakit yang perlahan membunuh Louis. Tidak heran Louis merasa sangat khawatir tatkala harus kembali menjejakkan kakinya kembali ke rumah.

Populasi dari keluarga Louis terbentuk dari pembatas-pembatas kehadiran fisik Louis dan akhirnya justru memperkuat keengganan Louis untuk menampakkan diri di depan mereka. Martine (Nathalie Baye) adalah sang ibu yang menolak tua, suka berdandan berlebihan, dan otoriter, namun perkataannya tidak pernah diindahkan. Antoine (Vincent Cassel), adalah yang sulung yang emosional, tidak dapat diprediksi, jauh lebih outspoken daripada yang lain, dan sering merasa tidak dimengerti. Istri dari Antoine, Catherine (Marion Cotillard), benar-benar berkebalikan dengan Antoine: tidak pandai berbicara, menjunjung tinggi kesopanan, dan lebih tertutup mengenai perasaannya. Suzanne (Lea Seydoux), yang termuda dari keluarga, adalah yang memberontak dan emosional, seperti adik yang masih kanak-kanak yang tumbuh tanpa seorang kakak atau bapak. 

Dengan karakter-karakter tersebut memasuki ruang pribadi Louis, ia dan kita langsung berasumsi bahwa kembali ke keluarga tersebut dengan membawa pesan tersebut berarti memicu perang. Namun setelah kaki Louis menjejak ke rumah keluarganya, perang itu tidak terjadi. Yang terjadi malahan adalah orang-orang yang sangat-sangat berusaha untuk senang di depan Louis (dan mungkin kesenangan itu memang ada dalam diri mereka, karena tersirat bahwa mereka benar rindu terhadap Louis), namun mereka juga berusaha mengartikulasikan uneg-uneg dalam hati, yang sudah membusuk selama 12 tahun. Rasanya seperti cairan lava yang tenang namun sesekali meletup dan panas apabila diselami. Asa-asa mau tak mau ini justru lebih mencekam.

"It's Only the End of the World" adalah film yang menarik karena hampir seluruh aspek sinematiknya berpusat kepada rasa cekam tersebut. Xavier Dolan memenjara objek-objek, bahkan wajah para karakter, dalam keterbatasan ruang lensa. Ini mirip dengan penggunaan aspect ratio 1:1 pada filmnya sebelumnya, "Mommy". Bedanya, pada film terbarunya, Dolan memampatkan ruang dengan memfokuskan lensanya tanpa memampatkan aspect ratio-nya. Akhirnya,  ini seperti mem-blowup gambar pada aspect ratio 4:3 yang notabene besar. Efeknya adalah ketidaknyamanan yang dirasakan Louis juga bisa dirasakan oleh penonton. Apalagi, dialog dipenuhi dengan pengulangan dan pemutusan, yang dengan sendirinya menggarisbawahi ketidakmampuan para karakter untuk menyampaikan yang tertahan dalam hati. Terkadang emosi mengalir lebih bebas dari rangkaian kata-kata, seolah emosi mengkhianati dialog.

"It's Only the End of the World" tidak melupakan estetika. Xavier Dolan tetap memasukkan gaya sinematografinya yang khas, kebanyakan terpakai selama adegan-adegan kilas balik. Namun, berbeda dengan karya-karyanya yang terdahulu seperti "Heartbeats" dan "Laurence Anyways", Xavier Dolan sangat meredam penyutradaraan yang stylistic untuk mengimbangi atmosfer dan drama yang disuguhkan oleh cerita.

Walaupun film ini dimulai dari asumsi bahwa keluarga adalah sumber kekecewaan dan sakit hati, cerita dari film ini berusaha untuk menguatkan kembali fondasi lama keluarga sebagai tempat satu-satunya dimana setiap hati dapat berpulang. Dalam beberapa kesempatan, Martine dan Catherine seperti sudah mengetahui dan merasakan apa tujuan Louis kembali berpulang, namun mereka berusaha untuk menutupinya dengan hal-hal lain untuk tidak merusak kesakralan sebuah pertemuan keluarga dan kebahagiaan kecil yang mereka tengah alami. Kemarahan Antoine pada klimaks cerita bisa jadi juga dikaitkan dengan dirinya yang telah merasakan kabar buruk tersebut. 

Ketika pada akhirnya Louis pergi tanpa memberitahukan apapun mengenai kematiannya yang ada di depan mata, hal ini tidak terlihat sebagai akhir yang negatif. Keluarga Louis mungkin sudah bisa menebak hal itu, dan kalaupun mereka benar-benar belum tahu, itu tidak penting lagi. Berita itu harus tetap menjadi rahasia semata-mata untuk melindungi keluarga, yang sekarang ia sadari patut diperjuangkan.

JUSTE LE FIN DU MONDE (IT'S ONLY THE END OF THE WORLD) | 2016 | Genre: Drama | Diadaptasi dari drama panggung dengan judul sama oleh Jean-Luc Lagarce | Pemenang, Grand Prix, 2016 Cannes Film Festival; Nominasi, Palme d'Or, 2016 Cannes Film Festival | Sutradara: Xavier Dolan | Pemain: Gaspard Ulliel, Nathalie Baye, Vincent Cassel, Marion Cotillard, Lea Seydoux | Penulis naskah: Xavier Dolan | Sinematografi: Andre Turpin | Penyunting: Xavier Dolan | Penata artistik: Colombe Raby | Penata musik: Gabriel Yared

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun