Oleh Rio Ismail
Mungkinkah Prabowo Subianto sedang menggunakan proses hukum di MK untuk mematangkan situasi sehingga menjadi potensial rusuh?
Ketika tampil ke publik pekan hari lalu -- setelah sempat tiga hari menghilang dari publik -- Hatta Radjasa bebicara dengan sangat santun. Gugatan ke MK merupakan langkah hukum yang bisa mendinginkan situasi. Banyak yang berharap Hatta akan mampu menenangkan Prabowo dan para pendukungnya. Lalu gugatan di MK menjadi epilog yang manis dalam proses transisi kekuasaan, dimana Hatta sendiri akan mendapatkan tempat secara khusus di mata publik maupun penguasa berikutnya. Namun harapan ini menjauh ketika Prabowo yang berbicara pada sidang pertama, 6 Agustus, malah tampil takperformbahkan provokatif. Tidak hanya nada suara, mimik dan gestur, tetapi juga kata-katanya. Dengan lantang mengungkap perannya dalam rantai komando pasukan TNI yang solid dan mampu melakukan kudeta pada 1998, tetapi tak dilakukan karena alasan masih punya rasa cinta pada demokrasi. Prabowo juga sempat mengungkapkan isu pembakaran rumah salah satu saksi di Banyuwangi, yang ternyata dibantah oleh pihak kepolisian.
Sungguhkah gugatan ke MK akan mendinginkan suasana seperti diungkap cawapres Hatta Radjasa? Kalau melihat sosok Hatta, mungkin banyak publik yang yakin Hatta bukanlah politisi yang menyimpan niat makar. Hatta dipandang ibarat air di tengah lautan api dalam hingar-bingar kubu Prabowo-Hatta. Tapi kalau melihat karakter Prabowo dalam persidangan di MK, pertanyaan di atas menjadi signifikan. Seperti halnya dalam setiap event yang lain, Prabowo selalu membantah tudingan publik sekitar sikapnya yang keras, cenderung orotiter, provokatif bahkan emosional. Namun makin banyak membantah, justru semakin nyata pula bagaimana Prabowo mengekspresikan watak yang sesungguhnya. Mungkin tak pernah ada yang pernah berani menyampaikan hal ini ke Prabowo, termasuk mungkin Hatta sendiri.
Tiga Siasat Prabowo
Bisa jadi langkah ke MK bukanlah cara terbaik untuk memberi "adab berasa Indonesia" dalam proses demokrasi pada pilpres 2014. Alhasil upaya ini terkesan tak lebih dari serangkaian siasat Prabowo untuk mencapai tujuan dan hasil tertentu: Pertama, pelampiasan “dendam politik” atas kekalahan telak dalam debat pilpres putaran akhir maupun dalam hasil akhir pemungutan suara. Kedua, arena kampanye untuk mendelegitimasi hasil pemilu sekaligus untuk mematangkan situasi sehingga menjadi potensial rusuh. Ketiga, siasat untuk menciptakan bargaining position dengan kubu Jokowi, yang kemungkinan besar memenangkan proses hukum di MK.
Siasat pertama dan kedua bisa dicerminkan oleh rendahnya kualitas dokumen gugatan. Setidaknya oleh ketidaksesuaian argumentasi dengan fakta-fakta; hubungan kausal yang lemah antara posita dan petitum; serta tidak adanya hubungan logis antara motif gugatan dengan keseluruhan konstruksi fakta-fakta yang melandasinya. Siasat ini juga dikonformasikan oleh makin intensnya aksi-aksi jalanan dengan pesan-pesan provokatif yang dilancarkan pendukung Prabowo di depan gedung MK pada saat dua kali persidangan sedang berlangsung. Seakan ada hasrat yang luar biasa besar untuk mendelegitimasi dan "menteror" MK sebagai benteng keadilan publik. Dan, meski nun jauh di tempat lain, pesan yang sama juga dibabarkan dalam berbagai pernyataan permusuhan melalui demo pendukung Prabowo di berbagai tempat.
Tanda-tanda adanya kepentingan di luar kepentingan hukum sejak awal sudah bisa dilihat dari sikap sepihak Prabowo yang tiba-tiba bikin pernyataan menarik diri dari proses pilpres. Meski pernyataan itu sendiri sangat membingungkan karena tidak dilandasi pertimbangan hukum yangclear,bahkan disebut-sebut tidak didiskusikan dengan capres Hatta Radjasa. Hanya beberapa hari kemudian, kubu Prabowo-Hatta memilih melaporkan KPU ke Mabes Polri dengan alasan melakukan kejahatan pemilu, namun Polri malah meminta agar dilaporkan ke Bawaslu. Setelah mengajukan gugatan ke MK, kubu ini juga mengadukan KPU ke DKPP. Belakangan sebelum gugatan selesai diperiksa di MK, Prabowo justru membawa masalah ini ke Komisi II DPR-RI. Meminta dibentuk Pansus untuk memeriksa penyimpangan dalam penyelenggaraan pilpres 2014.
Kecenderungan yang terkesan menyerbu melalui semua lini tentu saja memunculkan rasa was-was, mengingat bahwa di kubu Prabowo-Hatta berkumpul sejumlah elit politik dan elit ekonomi yang dikenal korup dan bermasalah. Kekuatan yang disebut-sebut oleh beberapa pihak sebagai barisan mafia migas, mafia hutan, serta mafia tambang mineral dan batubara, juga bercokol di sini, meski sulit menunjuk batang hidungnya. Kubu ini juga didukung secara fanatik oleh sejumlah kelompok radikal-reaksioner dan fundamentalis yang jauh-jauh hari selalu menggunakan pesan-pesan bernuansa kekerasan dan permusuhan antar golongan untuk menghadang lawan-lawan politik Prabowo. Dalam pengalaman di sejumlah Negara, elit politik yang korup maupun para mafia maupun kelompok-kelompok radikal-reaksioner dan fundamentalis punya kencenderungan kuat untuk menyokong aktor pemimpin yang otoriter. Di Amerika Latin maupun Timur Tengah misalnya, “koalisi bermasalah” seperti inilah yang justru menjadi tonggak utama bercokolnya authoritarian regime selama bertahun-tahun. Mengapa? Karena hanyaauthoritarian regime-lah ataudespotic regime-lah yang mampu memenuhi atau mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok seperti itu.
Mampukah Prabowo Bikin Makar?
Meski demikian, tentu tidaklah semudah itu bagi Prabowo dan pendukungnya untuk mendorong kerusuhan. Setidaknya, apabila melihat posisi TNI maupun aparat keamanan yang hingga saat ini lebih netral dan tidak ingin terlibat di kancah politik, meski sebagian besar mantan anak buah Prabowo masih berdinas aktif di militer. Salah seorang kawan aktivis HAM, dalam diskusi dua hari silam, menyebutkan situasichaossesungguhnya sangat ditentukan oleh posisi TNI. Bila TNI berpihak pada Prabowo, maka tidak tertutup kemungkinan bagi Prabowo untuk memaksakan perubahan politik pasca persidangan MK melaluimachtsvorming. Tapi saya sendiri sangat yakin TNI dan Polri tidak akan membiarkan situasi ini terjadi atau tidak mau terjebak dalam kemelut politik yang bisa berbuntut panjang pada konflik yang bisa saja memicu bubarnya republik ini.
Jika TNI dan Polri bersikukuh netral dan mendukung kemenangan Jokowi-JK dalam persidangan di MK, maka bukan tidak mungkin yang disasar Prabowo adalah pemenuhan siasat ketiga, yaitu menekan atau menciptakan bargaining position dengan kubu Jokowi-JK. Sulit untuk mengidentifikasi dengan jelas apa yang ingin dipertukarkan dengan Jokowi-JK. Tapi bisa jadi adalah penghentian pengusutan kejahatan HAM masa lalu -- seperti yang menjadi teman utama dalam visi-misi-program Jokowi mengenai hak azasi manusia -- terutama yang melibatkan Prabowo Subianto.