oleh Rio Ismail
Seperti yang sudah bisa diduga, Israel menang tidak akan mematuhi gencatan senjata. Hamas juga kurang lebih sama. Serangan pasukan Israel kemarin, kembali membuktikan betapa keselamatan warga sipil tidak diperdulikan di kawasan seluas 140 mil persegi dan berpenduduk 1,7 juta jiwa ini. Israelmelalui Menteri Ekonomi Naftali Bennett, tokoh Yahudi yang berpengaruh dalam kabinet Benyamin Netanyahu menegaskan, “hit Hamas without mercy. Day and night. On weekdays and holidays. Without respite and without rest. Until they are defeated” (Time, 29 Juli 2014).
Pada bagian yang lain Yasser Bakheet, 28, warga Nussirat -- yang tinggal di dekat satu-satunya pembangkit listrik yang dirudal Israel beberapa hari silam – hanya bisa berujar penuh harap melalui Time, "Saya tidak peduli tentang politik. Yang saya pedulikan sekarang adalah hidup normal atau setidaknya mendapatkan kebutuhan dasar bagi saya dan keluarga saya." Yasser bersama ribuan penduduk Gaza yang kini terusir dari pemukimannya, tak punya listrik, sulit air, sulit makanan, sulit tempat berlindung, terisolosasi dari dunia lain, tercerai berai dengan keluarga, sudah dikepung wabah penyakit bahkan setiap saat terancam kematian.
Naftali menilai tidak cukup hanya menghancurkan jaringan terowongan yang dibangun Hamas. Operasi militer harus dilanjutkan sampai Hamas kehilangan kontrol atas Gaza. Langkah ini merupakan pengulangan dari peristiwa 16 November 2012 ketika Menteri Pertahanan Ehud Barak memanggil 75.000 anggota militer cadangan untuk mengepung Gaza. Jalan-jalan utama yang menuju ke Gaza dan sejajar dengan Sinai dinyatakan zona militer tertutup. Tank, kendaraan lapis baja, artileri self-propelled dan pasukan telah berkumpul di perbatasan dalam beberapa hari. Pengerahan pasukan ini berlangsung dalam jumlah yang disebut oleh Alan Woods -- dalam “Gaza: What does it mean?” -- sebagai angka yang melebihi jumlah personil saat invasi ke Gaza pada era 2008-2009. Kini Israel kembali menumpahkan darah di Gaza dengan pengerahan pasukan dan juga rudal mematikan.
Kontradiksi Hamas
Sehari sebelum Natalie bikin pernyataan, Mohammed Deif, kepala al-Qassam, sayap militer Hamas, menegaskan kepada Time, tidak akan ada gencatan senjata di Gaza kecuali jika Israel menghentikan pengepungannya atas Gaza yang sudah berlangsung selama 7 tahun. Hamas adalah kekuatan yang selama beberapa tahun terakhir ini terus-menerus mendorong radikalisasi perlawanan di Gaza. Pernyataan Deif jelas memberikan pesan kepada Israel bahwa Hamas siap untuk melakukan perang yang panjang. Kendati cara ini dari waktu ke waktu justru tidak efektif bahkan sebaliknya makin memberi alasan kepada Isreal untuk menghancurkan tidak hanya fasilitas militer Hamas tetapi juga membunuh warga sipil tak berdosa dengan hujanan rudal.
Tragisnya, penderitaan warga Gaza seperti yang dialami Yasser Bakheet justru kontradiktif dengan kehidupan mewah para pemimpin Hamas. Khaled Meshaal, salah seorang pemimpin Hamas, malah terlihat lagi bersantai ria di Qatar, bepoya-foya menghabiskan uang pada saat warga Gaza sedang menghadapi gempuran Israel (www.islamtoleran). Khaled adalah prototype pemimpin Hamas yang korup dan hidup dari monopoli dan kontrol atas bisnis dan perdagangan dan pertanian di kawasan Gaza. Dalam kondisi damai maupun perang, sejumlah elit Hamas tetaplah hidup senang.
Kalau seperti ini, siapakah yang sedang mengambil keuntungan dari situasi ini? Bagaimana menekan Israel yang sewenang-wenang dan tak berhenti merudal rakyat Palestina? Layakkah dunia membantu Hamas jika mereka tak juga berhenti meroket Israel? Tapi bagaimana caranya membantu rakyat Palestina di Gaza tanpa Hamas? Ini tentu sederet pertanyaan yang saat ini tidak bisa dijawab secara sederhana dengan mengirim para jihadi utuk berperang di Gaza. Juga tidak semudah membayangkan bahwa otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmud Abbas -- dari kelompok Fatah yang berseteru dengan pimpinan Hamas -- mampu mengambil alih kontrol atas Gaza dan memulai kembali inisiatif perundingan atas nama rakyat Gaza.
Dari Intifada ke Radikal-Reaksioner
Palestina sebagai negara kelahiran agama-agama sepertinya tak berhenti menuai konflik bahkan kejahatan perang. Rakyat Palestina sendiri pernah membangun sejarah perlawanan yang dikenal sebagai Intifada. Ini adalah bentuk perlawanan berbasis rakyat yang muncul karena kekecewaan rakyat terhadap serangan-serangan Israel pada saat kaum birokrat dan pejabat-pejabat Fatah dan otoritas Palestina (PLO) yang korup sibuk membuat kompromi-kompromi dengan kekuatan imperialis dan Zionis di Madrid, Oslo, Camp David, Wye River, Sharm al-Sheikh, dan Anapolis. Sayangnya belakangan gerakan rakyat yang bertumbuh kuat dan butuh kepemimpinan baru itu ditelikung oleh munculnya kekuatan radikal-reaksioner baru, Hamas, bersamaan dengan surutnya kekuatan Fatah dan Hezbollah.
Hamas yang juga menganut ideologi Islam reaksioner makin mengingatkan kita tentang “proyek CIA” pada era 90-an yang merekrut kelompok-kelompok Islam radikal untuk menghadang invasi Soviet ke Afganistan, Timur Tengah dan kawasan sahara Afrika. Amien Rais dalam beberapa kali kesempatan sempat menyebutkan ada ribuan orang muda dari Indonesia telah ikut “proyek” pelatihan di Afgnistan. Belakangan sejumlah ahli maupun kalangan intelijen Indonesia juga menyebut-nyebut bahwa sejak pasca kejatuhan Soviet, sejumlah “alumni” Afganistan ada di balik kerusuhan di berbagai daerah seperti Ambon dan Poso. Bahkan ada yang kemudian punya jejak kuat dalam kegiatan terorisme di beberapa tempat di Indonesia.