Aku tahu Novel Laskar Pelangi telah eksis sejak lama, kalau tidak salah tahun 2005. Aku juga tahu bahwa ini sudah jadi best seller, bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai negara, bahkan dibuatkan film di tahun 2008. Aku tahu banyak orang yang bilang bahwa aku tidak akan menyesal membaca bukunya ataupun menonton filmnya.Â
Tapi, walaupun telah banyak mendengar testimoni orang tentang itu semua, rasanya belum pernah dapat waktu yang bener-bener "pas" untuk menikmatinya. Finally, hari ini aku menyediakan waktu untuk menontonnya.Â
Dan sungguh, bukan hanya indah, ternyata membuatku berpikir kembali tentang kehidupan ini.
--LASKAR PELANGI--
Mengutip istilah Driando (Owner Tempe Movement, salah satu panutanku), aku menambah koleksi "guru" lagi di otakku.
Dari Pak Harfan, Kepala Sekolah, aku belajar bagaimana melihat value yang tidak terlihat dari setiap hal (anak-anak, kehidupan, dll). Juga belajar untuk tidak perhitungan akan jasa, melainkan dedikasi dan kerinduan yang besar untuk masa depan bangsa yang cerah di kalangan anak yang "butuh pendidikan". Pesannya yang mendarat untukku, "Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyak, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya". Apakah hidupku saat ini masih terlalu banyak menerima?
Dari Bu Mus, aku belajar untuk peka dan memberikan kesempatan kepada anak didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Seperti Mahar yang diberikan kesempatan menjadi leader untuk karnaval 17 Agustusan, walaupun orang di sekitarnya belum paham potensi tersembunyi Mahar, Bu Mus telah curi start untuk melihat dan meresponi itu. Juga dari Bu Mus aku belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil, dan optimis di tengah situasi yang mungkin terlihat sudah tidak ada harapan.
Tapi, sebaik-baiknya karakter Pak Harfan dan Bu Mus, ada momen ketika mereka juga tampak putus asa, bahkan hampir menyerah akan keadaan. Tapi, yang namanya positivity, pasti sifatnya nular, dan bisa jadi siklus. Kalau hari ini kita kuat, ya kuatkan sekitar. Kalau hari ini lemah, pasti ada cara untuk dikuatkan dari sekitar. Intinya, kita butuh sesama!
Dari anak sekolahan SD Muhammadiyah Gantung, aku belajar semangat polosnya anak-anak. Mungkin karena mereka masih anak-anak, jadi antusiasmenya tinggi. Tapi bukan berarti kita mengamini bahwa semakin tua, semakin mengalami penurunan semangat juang, kan?
Dari Ikal, aku belajar untuk tidak lupa akan sejarah: setiap hal didesain untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak ada yang kebetulan, setiap manusia, ataupun konteks kehidupan kita di masa lalu, dan masa kini, suatu saat akan kita syukuri di masa depan! Tapi, masalahnya adalah apakah kita memutuskan untuk mengingat dan mensyukuri itu ketika kita berada di comfort zone masa depan? --kebanyakan orang lupa ataupun melupakan.
Dari Lintang, aku belajar ikhlas. Lintang dianugerahi bakat alami, yang mungkin kalau dibarengi dengan "kesempatan", akan menjadi "orang besar" (standar kesuksesan kebanyakan orang: kaya materi). Tapi Lintang berbeda! Kakinya tetap berpijak di tanah, tapi mindsetnya beyond the sky! Personally, aku merasa butuh semangat Lintang. Ketika Papanya meninggal, tanggung jawab ia pegang teguh, tetapi semangat hidupnya tidak pupus: Ia tularkan itu ke anaknya. Setidaknya, dari film, tidak tampak penyesalan, ataupun sikap menyalahkan keadaan dari seorang Lintang. So, we don't really know what kind of future we will have, kalau berjalan sesuai harapan kita ya bersyukur, tapi kalau tidak (karena situasi khusus) maka jangan sampai nilai-nilai berharga yang kita punya, kita pegang hilang seketika. Karena kalaupun bukan untuk kehidupan kita sendiri, akan ada kehidupan orang lain yang terberkati melalui kita.