Dari Mahar, aku belajar untuk easy-going. Tidak mudah untuk menjadi pribadi yang santai ketika telah dewasa. Tidak mudah untuk menjadi orang yang tidak "jaim" di tengah komunitas. Tapi dengan kehadiran sosok Mahar, kelasnya menjadi solid, dan bisa menikmati momen-momen menyenangkan di usia sekolah. Walaupun terlihat "beda warna (terlalu colorful)" di antara teman-temannya, ya aku belajar mungkin ini salah satu cara untuk menikmati kehidupan ini.
Dari Pak Mahmud, aku belajar integritas. Walaupun menjadi guru di sekolah berbeda, tapi sebagai seorang guru aku mengapresiasi keputusannya di Lomba Cerdas Cermat itu: speak up for the truth. Di dunia pendidikan, tidak sedikit momen ketika kita diperhadapkan dengan situasi "ah, sudahlah", "kan bukan urusan kita", atau "ga usah bikin ribet hidup". Maksudku, konteks Pak Mahmud saat itu bisa saja tidak disukai oleh pihak juri ataupun sekolahnya, karena kalau dia diam saja maka tampaknya tidak ada yang tahu kebenaran itu, dan sekolahnya yang diuntungkan. Tapi, ini poin berharga: Kebenaran harga mati! Aku yakin, kalau aku jadi muridnya Pak Mahmud, ia akan jadi salah satu orang yang akan ku hormati sepanjang hidupku karena tindakannya itu.
Terakhir, aku belajar dari Penulis Cerita ini, Andrea Hirata, dan semua pihak yang telibat dalam mengonversi Novel ini menjadi Film. Alasan utama Novel dan Film ini dibuat hanyalah Penciptanya yang tahu. Tapi yang ku tahu, mereka telah berkontribusi untuk mencerdaskan - memberkati, setidaknya 1 manusia yang menikmati cerita ini hari ini. Terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H