Mohon tunggu...
Rinto Suppa
Rinto Suppa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Saya adalah seoarang Dosen yang wajib berkarya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Zonasi, Start Awal "Keadilan Pendidikan"

24 Juni 2020   19:36 Diperbarui: 24 Juni 2020   21:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sistem zonasi merugikan!'', "Sistem zonasi belum siap diterapkan!", "Sistem zonasi membatalkan saya masuk ke sekolah favorit!'. Kalimat di atas merupakan contoh dari sekian banyaknya kalimat yang dilontarkan oleh orang-orang yang merasa kecewa atau tidak setuju dengan penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB. 

Baik dari komentar di media sosial ataupun percakapan sehari-hari, sepertinya sistem zonasi kelihatan merugikan masyarakat, namun apakah hal tersebut memang benar ? Terus kenapa pemerintah memberlakukannya? apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah sistem ini diterapkan? untuk itulah opini ini penulis lontarkan demi menjawab sedikit keresahan akibat sistem zonasi yang menuai polemik ini.

Pertama, perlu diingat bahwa sistem PPDB sebelum sistem zonasi diberlakukan, juga tidak menguntungkan amat bagi sebagian besar masyarakat, kenapa? Karena hanya sebagian orang yang bisa merasakan sekolah yang distigmatisasi sebagai 'sekolah unggulan', yang lainnya hanya cocok ditempatkan pada sekolah swasta ataupun sekolah negeri yang kualitasnya 'rendah'. 

Mereka yang diterima pada 'sekolah unggulan' tadi, sudah rahasia umum, biasanya mempunyai tiga kriteria, kognetifnya memang baik, ada relasi dengan pihak sekolah, dan seseorang yang eksklusif. Terus, kenapa hal tersebut dianggap bukan merugikan ? yah, jelas, karena hal tersebut sudah berjalan sangat lama dan menjadi kelumrahan dalam masyarakat. Sifat permisif inilah yang membuat separuh keadilan pendidikan bagi sebaian besar masyarakat tertutupi.

Kedua, sifat konservatif masyarakat Indonesia yang masih cukup besar, kurang progresif,egoisme dan pesimisme semakin mematenkan bahwa Sistem Zonasi PPDB belum cocok untuk diterapkan. Banyak para praktisi di dunia pendidikan Indonesia yang sudah merasa nyaman dengan sistem sebelumnya. Kenyamanan tersebut bisa diakibatkan oleh kondisi proses belajar mengajar ataupun situasi yang mereka dapatkan akibat status dari sekolah yang mereka tempati. 

Sulit memang, yang biasanya kita mengajar siswa yang responnya baik, kini mungkin mengajar siswa yang 'bandelnya' kelewatan, yang sebelumnya mengajar siswa yang pengetahuannya pas-pasan kini mengajar siswa yang sangat kritis. Tidak nyaman memang, yang semula mengajar di perkotaan kini mengajar di pinggiran kota atau sebaliknya. Oleh karena itu banyak dari praktisi pendidikan yang memilih-milih sekolah mana yang harusnya mereka tempati

Lain lagi sebagai masyarakat, kebanyakan hanya mementingkan diri sendiri,banyak yang menganggap bahwa kualitas pendidikan yang baik hanya untuk mereka yang mampu, yang diluar kualifikasi harus terpinggirkan, oleh karena itu, kita sebagai masyarakat sering berpikir, saya yang cocok bersekolah di sekolah itu dan kamu cocoknya di sekolah ini. 

Padahal sangat jelas tertuang di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 5 ayat 1 berbunyi "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu", dan pasal 11, ayat 1 menyatakan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi". 

Dengan demikian, semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik yang kaya maupun yang miskin, masyarakat perkotaan maupun pedesaan, atau kaum bonafid maupun kaum marginal. 

Akumulasi dari prespektif praktisi dan masyarakat itulah yang semakin mengukuhkan bahwa sistem zonasi belum cocok diterapkan baik dari segi waktu dan tempatnya. Tidak hanya itu,sikap pesimisme dan apatisme yang seringkali ditampilkan oleh semua elemen masyarakat kepada apa
yang dilakukan oleh pemerintah semakin menghantui program yang progresif ini semakin terlihat sebagai 'produk gagal'.

Ketiga, yang perlu disadari oleh masyarakat adalah status sekolah pada akhirnya semua akan sama, cuma memang membutuhkan waktu. Waktulah akan menghapuskan semua stigma sekolah-sekolah yang ada. Tidak ada lagi sekolah 'favorit', sekolah 'unggulan', sekolah 'rendahan', ataupun sekolah 'pembuangan'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun