Mohon tunggu...
Rinto Pariaman Tono Aritora
Rinto Pariaman Tono Aritora Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Rinto Pariaman Tono R

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baoa Na Burju #5# Kampung Jawa di Tanah Batak Namun Kampung Batak di Pulau Jawa?

2 Oktober 2014   20:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:38 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412231860869817822

Baoa na Burju#5#Kampung Jawa ada di tanah Batak namun adakah  kampung Batak di pulau Jawa?

Setelah mendapatkan alamat encik Ros yang sudah tinggal di Pematang Siantar dari kepala sekolah, mereka segera diantar dengan sepeda motor berbonceng dua sekaligus. Ada perasaan kuatir dan takut saat Lasma dan Abigail menaiki kendaraan tua tersebut. Belum lagi jalanan aspal yang belum rata mengakibatkan Abigail harus memegang kuat baju pak kepala sekolah sementara Lasma memegang kuat pegangan yang ada dekat pedal tersebut. Lasma dan Abigail baru bisa bernafas lega ketika sudah tiba di pelabuhan Muara. Mereka segera naik kapal jurusan Balige, namun berkat negoisasi dari Lasma oleh nahkoda kapal yang semarga dengan Lasma, di tengah danau saat berpapasan dengan kapal jurusan Ajibata-Parapat, Lasma dan Abigail akhirnya pindah kapal.

Abigail melihat Lasma keluar dari ruang ganti yang disediakan kapal. Lasma menukar bajunya, walaupun sudah berumur ia begitu menawan dengan rambut yang dibiarkannya tergerai, kombinasi dengan indahnya panorama senja kekuningan. Dilepasnya pandang lewat jendela kaca di samping kursinya, melihat kapal motor bergerak pelan di depan sana menyusuri air danau yang berkilau ditimpa sisa cahaya mentari yang tak lama lagi akan bersembunyi di balik pegunungan. Abigail keluar dan bersandar di galangan kapal. Nampak olehnya di ufuk timur cahaya kekuningan muncul di atas pegunungan. Sibalik hunik, kata orang sana. katanya ada mitos tertentu mewarnai cahaya mentari tenggelam berbaur kemerahan seperti itu. Banyak penafsiran para tetua zaman dulu dan beragam kisah yang telah terjadi. Warna kuning itu sedikit demi sedkit mulai menghilang, berganti warna kelabu menjemput malam.

[caption id="attachment_326911" align="aligncenter" width="720" caption="Danau Toba di sore hari"][/caption]

“pakai jacketmu Abi!” sahut Lasma, “sebentar lagi kita akan tiba” sambungnya.

“tante..Danau Toba indah bangeet” sahut Abigail, ingin rasanya ia berlama-lama berdiri di kapal itu. namun suara sirine itu menyuruhnya untuk turun karena kapal sudah tiba di pelabuhan Ajibata. Kapal terakhir jurusan Tomok ke Parapat. Mereka naik bis jurusan Pematang Siantar untuk mencari alamat encik Ros yang sudah pensiun. Encik Ros memilih tinggal di kota terbesar di Sumatera utara itu, tentu saja setelah kota Medan.

**

Pagi hari setelah Lasma dan Abigail check out dari Siantar Hotel, mereka mencari alamat encik Ros di sekitar jalan bali. Namun saat tiba di alamat tersebut ternyata encik Ros telah pindah ke kampung jawa yang terletak di belakang rumah sakit Horas Insani. Karena Mereka carter mobil jadi tidak terlalu sulit untuk mencari kampung jawa yang berada di sekitar jalan medan. Mereka tiba di kampung jawa percis seperti yang ada di alamat yang diberikan oleh mantan tetangga encik Ros. Sambil mengetuk pintu Abigail mengucapkan salam, “Selamat siang encik Ros!” sahut Abigail

Pintu terbuka dan muncul seorang pria dengan kain putih dan sarung sebagai bawahannya.

“maaf bang..benar ini rumah encik Ros” Tanya Abigail.

“emak ada tamu!” sahut pria itu lalu pamit karena hendak sholat. Matahari tepat di atas kepala pria itu saat berjalan ke mesjid dekat gang yang baru saja mereka mereka lewati. Seorang wanita paruh baya memakai kerudung keluar dari balik pintu ruang tengah.

“Wassalamu'alaikum encik Ros” sahut Abigail.

“wa'alaikum salam”

“Siapa yah?” tanya encik Ros.

“perkenalkan namaku Abigail siregar ..betul encik pernah ngajar di Muara?” tanya Abigail.

“iya ada perlu apa dengan saya?” Encik Ros dengan logat minangnya, “jangan panggil encik lagi, panggil uni atau umi saja..sudah tua masih panggil encik!” sambung encik Ros

“Maaf encik eeh maksud saya..uni.. kenal dengan  pria yang namanya Baoa na Burju?” tanya Abigail menunjukkan tiga foto, ada satu foto saat klientnya memakai baju seragam merah putih.

Encik Ros memperhatikan foto itu dengan seksama, lalu menurunkan kacamata yang tadinya seperti bando di keningnya. “ooh si buddu..kenapa dengan dia..ya Allah..apa kabar dia gerangan?, makin ganteng aja anak baik itu” Sahutnya. Wajahnya tampak berseri melihat ketiga foto itu.

“kabarnya sehat encik tapi ia sekarang dalam masalah..dan aku jadi pengacaranya..jika tak keberatan  kami ingin tahu info tentang dia..atau jika berkenan maukah encik jadi saksi untuk membantu dia besok di pengadilan?” Tanya Abigail

“tentu saja saya mau..cuma saya  enggak terlalu kuat untuk  melakukan perjalanan jauh”

“eeh sebentar yah..saya mau sholat dulu!” sahut encik Ros pamit.

“tante.. ada-ada saja yah? massa ada kampung Jawa di kotanya orang  Batak..bahkan jalan Bali juga ada..kira-kira kampung Batak ada gak yah di pulau  Bali dan di Pulau Jawa?” Tanya Abigail bercanda.

“aaah ada-ada saja pertanyaanmu..namanya Indonesia..bukankah terkenal dengan kemajemukannya..lebih baik kau baca buku ini..soalnya besok kasusmu bakal lebih pelik!” Jawab Lasma sambil memberikan buku seni berbicara di depan umum.

Ponsel Lasma berbunyi nyaring dan setelah ngobrol lewat telepon tiba-tiba wajahnya  berubah.

“Abi maaf bangeet namboruku sedang sakit dan aku disuruh kesana!”

“yah terus besok aku bagaimana, tan?”

“kau carter paradep taksi saja besok ke Tarutung..soalnya aku sudah bertahun-tahun gak kesana” pamit Lasma. Abigail bersedih ia tak menduga kalau besok ia akan berjuang sendirian di pengadilan. Tanpa klient dan tanpa saksi.

“temanmu mana?” tanya encik Ros duduk, tangannya memegang tasbih.

“Sebenarnya aku takut untuk membela bang Burju..karena aku belum punya pengalaman” sahut Abigail. Ia menceritakan kegundahan hatinya. Sementara encik Ros mulai memfokuskan diri sembari mengingat puluhan tahun lalu ketika ia pulang dari Malaysia dan menerima tawaran jadi seorang guru sekolah dasar namun ditugaskan di pinggiran danau Toba.

Pagi hari seorang wanita memasuki ruangan kelas satu sekolah dasar milik pemerintah yang tak jauh dari pelabuhan. Proses belajar mengajar akan dimulai dan encik Ros yang ditugaskan sebagai tenaga honor dipercaya untuk mengajari anak kelas satu sekolah dasar tersebut.

“selamat pagi anak-anak!” sapa encik Ros.

“Selamat pagi encik guru” Jawab murid-murid serempak.

“ini hari pertama kalinya kita akan belajar.. nah sebelum mulai encik guru mau kenal kalian satu persatu..nanti saat ibu panggil namanya..yang dipanggil berdiri yah!”

Encik Ros memangil nama-nama murid baru dimulai dari abjad A. Saat memanggil nama  Baoa na Burju Simaremare tak ada murid yang berdiri ataupun menyahut. Encik Ros tetap melanjutkan memanggil sampai urutan kedua puluh lima. Ia sudah menandai semua yang hadir. Ia melihat seorang murid lelaki yang duduk di depannya belum berdiri dan menyahut. “nama kamu siapa?” tanya encik Ros.

Murid lelaki itu hanya diam saja. Seorang murid perempuan menyahut. “namanya Burju encik guru dan dia gagu”

“encik guru.. gagu itu apaan yah?” Tanya salah satu murid lainnya. Encik Ros memperhatikan murid yang bernama Burju, Ia melihat murid itu unik, tak bergeming dan diam namun sorot matanya tajam menatap encik Ros. Encik Ros berusaha menenangkan murid-muridnya yang mulai meledek Burju. Ia menasehati agar saling menghormati satu sama lain.

“anak-anak hari ini encik guru mau ngajak kalian bernyanyi..hayoo siapa yang berani maju kedepan kelas untuk bernyanyi?” Sahut encik Ros. Suasana kelas menjadi riuh karena hampir dua puluh orang mengacungkan jari telunjuk untuk dipilih, bernyanyi di depan kelas. Walau ada beberapa yang fals namun encik Ros kagum dengan keberanian putra-putri Muara ini untuk memperlihatkan kemampuannya dalam bernyanyi. Keduapuluh empat murid sudah mendapat giliran dan murid yang bernama Burju itu maju kedepan kelas. “Burju mau nyanyi apa?” tanya encik Ros.

Burju  menggerakkan kedua tangannya sebagai isyarat untuk mengatakan sesuatu.

“oh kau mau pipis?”

Burju menggelangkan kepala

Encik Ros  menghela nafasnya, “ya Allah beri aku kesabaran..” gumamnya

“Burju mau nyanyi?”

Burju menggeleng

Hampir hilang kesabaran encik Ros. Ia menuntun Burju ke depan papan tulis dan membiarkan ia berdiri disana lalu ia berjalan ke meja murid-murid lainnya untuk meredam kekesalannya. Suasana hening, semua murid memperhatikan kedepan.

Burju menaruh kedua tangannya menyimpang di dada percis dekat dengah hatinya dengan posisi seperti bersila. Lalu menurunkannya perlahan sampai tepat di pusarnya dan menahan sebentar hingga ia memisahkan kedua tangan dan mengayunkannya seperti menyambut atau mempersilahkan tamu. Kemudian kedua tangannya memperagakan seseorang yang berenang lalu berhenti,matanya menatap ke depan dan bola mata itu bergerak-gerak seperti penari Bali. Kedua telapak tangannya ia dempetkan  bertindih dengan punggung tangan kiri bertemu dengan telapak tangan kanan. Kedua jempolnya ia gerakkan seperti insang ikan. Tiba-tiba kedua telapak tangannya seperti menggelepar. Seorang murid perempuan menyahut, “Menangkap ikan”Burju melihat murid perempuan itu lalu mengacungkan jempolnya.

Encik Ros bertepuk tangan diikuti oleh murid-murid lainnya. Ia terharu dan matanya menitikkan airmata. Sudah tiga tahun ia mengajar di Muara dan murid-murid sudah naik ke kelas dua. Namun Burju tidak diijinkan kepala sekolah untuk naik ke kelas dua karena Burju belum bisa baca tulis. Setiap memanggil namamurid baru di kelas satu persatu encik Ros tetap manggil mama Burju walaupun Burju tidak pernah memberikan respon dan ia bahagia saat semua murid sudah bernyanyi ia suka dengan penampilan Burju. Seperti menonton acara pantonim berkelas dunia jika ia  melihat kepiawaian Burju dalam memperagakan sesuatu untuk ditebak oleh teman-teman barunya. Karena terharu dan sangat emosional melihat penampilan Burju pernah encik Ros berucap bahwa ia tak akan mau pindah tugas dari Muara jika Burju belum bisa membaca. Namun di tahun ke lima ia tak melihat sosok Burju di dalam kelas.

“selamat pagi encik guru!” sapa murid-murid serentak.

“Selamat pagi anak-anak” Jawab encik Ros.


Encik Ros memandang keluar, “jangan-jangan Burju telat” pikirnya.

Suasana yang hening mulai krasak-krusuk karena murid-murid mulai berbicara satu sama lainnya. Dengan berat hati ia memulai proses belajar mengajar. Ia memanggil satu persatu murid baru dan saat giliran hendak memanggil nama Burju, ia menghela nafasnya lalu menyebut nama Burju. Namun dari luar pintu seseorang menyahut, “hadir encik guru”

Encik Ros melihat murid lelaki digendong oleh seseorang yang memakai seragam merah putih. Dan yang menggendong itu adalah murid abadi di kelas satu yaitu Burju. Encik Ros tersenyum ia mulai bersemangat lalu membantu menurunkan adiknya Burju yang ada di pundak Burju.

“nama kamu siapa?” Tanya encik Ros.

“Anggiat Hasea Simaremare encik guru..dan ini adalah abangku” jawab adiknya Burju.

Encik Ros menoleh ke Burju dan ia melihat Burju menggangguk. Semua murid sudah bernyanyi namun beda dengan adiknya Burju si Anggiat. Ia tak mau bernyanyi bahkan hampir menangis karena disuruh encik Ros maju kedepan kelas. Hingga giliran Burju tampil di depan kelas. Untuk menenangkan adiknya yang tersedu-sedu ia  melakonkan seseorang yang sedang memainkan kertas yang dibentuknya menyerupai pedang. Ia memperagakan seorang samurai mengayun pedang dengan lihai. Encik Ros melihat Anggiat mulai diam dan tersenyum lalu bertepuk tangan sambil teriak. “ayoo bang..lawan bang!”

“main pedang-pedangan” Sahut murid lelaki

Namun Burju masih melanjutkan aksinya, sekarang ia merendahkan tubuhnya lalu membentuk pedang itu seperti ketapel dan berakting mempergunakan ketapel itu dan menunjukkan keningnya.

Seorang murid perempuan teriak, “Goliat dan Daud”

Burju mengacungkan jempolnya dan duduk kembali ke kursinya. Encik Ros terharu lagi. Entah sudah berapa kali ia menyaksikan Burju dalam olah tubuh untuk memperagakan sebuah lakon. Sebelum pulang Encik ros mempersilahkan murid-murid menyanyikan lagu sekolah minggu Goliat dan Daud. Walau ia seorang muslimah tak pernah ia melarang murid-muridnya yang mayoritas nasrani untuk menyanyikan lagu sekolah minggu. Ia punya prinsip ‘Bagimu agamamu, bagiku agamaku’ dan hidup bukan sebatas beragama tapi hidup yang bermanfaat bagi orang lain.

Tujuh tahun sudah ia mengajar dan tujuh tahun juga burju tidak naik kelas dua karena disabilitasnya. Para guru sepakat untuk tidak menaikkannya. Tahun ajaran baru dimulai, seperti tahun-tahun sebelumnya encik Ros menyapa murid-murid baru dan  memanggil mereka satu persatu. Burju tidak ada di depan mejanya. “Sepertinya Burju sudah jenuh” gumam encik Ros.

Selama tujuh tahun Burju hanya  duduk si kelas satu sekolah dasar, sementara tubuhnya sudah gede, “sayang sekali.. padahal burju sudah hapal abjad” gumamnya lagi. Ia  menyapa murid murid dan menyuruh mereka untuk tampil di depan kelas. Tiba-tiba terdengar suara pintu sedang diketuk, setelah pintu terbuka encik Ros melihat burju menggendong murid perempuan di bahunya. Raut wajah Burju tidak seperti biasanya selalu tersenyum tanda sukacita.

“selamat pagi” sapa encik Ros. ia membantu Burju menurunkan murid perempuan itu. Encik Ros baru menyadari ternyata Burju tidak memakai baju seragam. Burju langsung pergi meninggalkan sekolah. “burju..tunggu..!” teriak encik Ros.

“kata mama abang Burju tidak usah sekolah lagi” sahut adiknya Burju

“kenapa?” Tanya encik Ros, ia mulai penasaran.

“karena kalau abang Burju masih sekolah..abang Anggiat gak mau sekolah..jadi papa bilang lebih baik abang burju bantu papa di sawah”

Raut wajah encik Ros  berubah. Ia merasa seperti kehilangan semangat. Awal ia mau mengajar di sini hanyalah untuk coba-coba namun saat melihat kemauan dan  semangat Burju untuk belajar ia semakin termotivasi hingga akhirnya ia bisa bertahan sejauh ini.

“ayo anak-anak mulai dari kursi paling belakang maju terus bergiliran sampai ke depan!” sahut encik ros menyuruh murid-murid tampil ke depan kelas. Tidak biasanya ia melakukan cara ini dalam mengenalkan setiap muridnya. Encik Ros yang menentukan giliran berikutnya untuk tampil. Ia tidak menyadari bahwa hampir semua murid baru sudah tampil di depan kelas hingga giliran Tamara, adiknya Burju membawakan sebuah lagu yang  berjudul  ‘Butet’ yang merupakan salah satu Lagu Wajib Nasional, yang masuk dalam Kategori Lagu Perjuangan. Yang lirik terjemahannya mempunyai makna yang dalam serta Lagu yang mengalun dengan tempo pelan dan mendayu ini memang telah melegenda.

penulis coba kasih lagu Butet yang dinyanyikan oleh bule asli yaitu Herman Delago..suara seruling bikin merinding, penulis jadi makin rindu kampung halaman  :(


♫♪♫Butet...Ayah mu sedang berada di pengungsian,

Bergerilya dalam darurat oh..butet (2x)

Butet..Janganlah pernah jemu hatimu puteri ku..

Menanti kabar berita oh butet

Ayah mu akan cepat pulang oh butet

Musuh kita harus dikalahkan oh butet

Butet...Cepatlah Besar anakku...

agar kelak kau menjadi Palang Merah

Palang Merah Negara Kita ♫♪♫

Tepuk tangan murid-murid saat Tamara menyelesaikan lagu Butet membuyarkan lamunan encik Ros. Iamenyuruh murid-murid pulang. Kebiasaan ini sering ia lakukan  di hari pertama di setiap  tahun ajaran baru.

“Tamara..ibu mau kerumahmu yah?” Sahut encik Ros. Ia berjalan mengikuti Tamara. Bocah di desa ini rata-rata mandiri. Tidak perlu dijemput orangtuanya karna  desa ini relatif aman dari orang jahat.

“Tamara gak dijemput?” Tanya encik Ros

“katanya bang Burju mau jemput..sepertinya ia sedang memberi makan ternah” Tamara berjalan pelan.

“suara tamara merdu yah..siapa yang ajarin nyanyi?”

“belajar sendiri..dan bang Burju yang mengiringi”

“oh yah! dengan apa?” Encik Ros fokus memperhatikan Tamara.

“seruling atau kecapi..encik guru awaaaas!!!" sahut Tamara berteriak melihat gundukan kotoran sapi di depan encik Ros.

**

“hahaha..saya mau sholat dulu yah dek..sudah jam tiga” Sahut encik Ros memotong ceritanya.

“sudah makan kau? Di dapur ada lontong..entar habis sholat..kita makan yah!” sambung Encik Ros meninggalkan Abigail di ruang tamu. Abigail ingat dengan adik lelaki dari Burju yaitu Anggiat Hasea, apakah pemilik nama itu sama dengan nama kekasihnya yang sedang kuliah pasca sarjana di luar negeri, atau Cuma kebetulan punya nama yang sama yaitu Anggiat Hasea Aritonang. Ia keluar ruang tamu dan menghirup udara luar. Ia ingat marga kekasihnya Aritonang, dan marga adiknya Burju Simaremare. Ia bingung dan ia menyesal selama ini tak pernah bertanya mengenai tarombo atau silsilah ke ayahnya.

Bersambung

Note :

Sibalik hunik = Lembayung senja

Encik = panggilan bagi perempuan yang belum menikah di Minangkabau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun