Mohon tunggu...
Rinto Pariaman Tono Aritora
Rinto Pariaman Tono Aritora Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Rinto Pariaman Tono R

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ge & Bi-2#Pemimpin Pujian Gereja Itu Dipanggil Gay

19 Maret 2015   12:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Untuk 17 tahun ke atas

Minggu pagi di bulan yang sama, aku terbangun tak seperti biasanya. aku gelisah malam itu, bolak-balik. Memimpikan mata pria di altar itu, berbaju putih lengan panjang, kaki panjang dengan celana flanel berwarna gelap dan ngepas di otot-otot kakinya, jari panjangnya memegang mikrofon dan suara baritonnya menyapaku, Aku bangun dua kali di malam itu, hatiku berdebar-debar. Oh, aku akan terlihat bagaimana besok dengan tidur begitu sedikit, aku memarahi diriku sendiri. Aku meninju bantalku dan mencoba untuk tidur. Sayup-sayup suara mama menggema melantunkan lagu pujian selamat pagi Tuhan. Melihat jarum jam menunjukkan angka lima, aku bangkit dan menengok wajahku di cermin.

Tanganku merapikan rambut yang acak-acakan, mataku yang cipit kugerak-gerakkan, wajah orientalku mulai kusapu dengan kuas punya mama.

“belum mandi kok sudah dandan?” sahut mama. Mama menatapku penasaran.

“siapa yang dandan?” jawabku sedikit ketus.

“hahaha kalaupun dandan gak apa-apa sayang…kamu sudah mau 17 tahun, kalau kamu mau, mama bisa bantu dandanin kok”

“Gak perlu” jawabku malu ngelowor pergi masuk kamar mandi.

Aku merona merah diwajahku, cermin di toilet ku terlalu jujur. Oh benarkah aku lagi puber atau jatuh cinta?

“Lince…jangan lama-lama yah! Soalnya mama mau ibadah jam 7 pagi!” sahut mama.

“iya ma…tungguin aku ikut” jawabku bersemangat sambil menyelesaikan mandiku.

**

“sudah ma..aku sudah siap berangkat” sahutku ke kamar mama.

Mama mengintipku dari cermin besar, ia terperanjat melihat dandanan ku namun berusaha menahan senyumannya.

“Lince itu gincumu tebal banget?... mari mama perbaiki!” ajak mama menarik tanganku.

Mama bilang dandananku sangat menor padahal menurutku biasa saja dan aku merasa menjadi cantik dengan dandanan yang baru kubuat.

“bibirmu sebenarnya gak usah dikasih gincu juga sudah terlihat merah Lin…karena kulit wajahmu putih”

“cukup kedua pipimu di kasih shadow merah sedikit” sahut mama sambil mengatur gaya rambutku.

“eeh ini baju kenapa lengannya pendek banget? Roknya juga kenapa pake yang ini?” Tanya mama.

“sudah mama…katanya mau ibadah jam tujuh” jawabku keluar dari kamar mama.

Ayah melongokku dari teras rumah, ia menatapku dan menaruh Koran ke meja. Peci di kepalanya belum ia lepas. Biasanya ia suka melakukan sholat subuh di mushola dekat rumah.

“boru ayah mau kemana?” Tanya ayah keheranan sambil matanya menatapku.

“mau nemanin mama ke gereja”

“tapi….kamu ke rumah ibadah dengan pakaian seperti ini” sahut ayah hati-hati.

“iiih aku kok serba salah siih? Gak dandan ditanyain? Dandan gini diledekin?” jawabku duduk.

“bukan ayah bilang kamu salah berdandan, tapi menurut kamu pantas gak dengan pakaian ini ke rumah Tuhan?” Tanya Ayah hati-hati

“tapi Lince bukan mau ke mesjid”

“Lince…” sahut mama memegang tanganku lembut dan mengajakku ke kamar.

Dengan lembut mama membelai rambutku,“pakaian ini belum cocok buat mu sayang! Ayah kuatir entar kamu jadi perhatian orang…dan mama juga kuatir entar kamu malah jadi risih, mama yang pilihin yah!”

Aku hanya mengangguk dan memakai baju yang diberikan mama. Rok panjang berwarna-warni dengan corak bunga sampai semata kaki dan atasan kemeja putih lengan panjang yang pas ditubuh. Aku keluar kamar dan menuju teras. Papa sudah siap dengan celana jeans dan tshirt putihnya. Papa menatapku dan tersenyum senang.

“hah gini donk…ini baru boru ayah” sahut papa sambil memencet tombol remot mobil.

**

“Lince duduk di belakang saja! Kita sudah telat soalnya” sahut mama duduk di dekat pintu.

“iiih mama di depan aja!” jawabku namun akhirnya mengikuti perintah mama dan duduk di sampingnya.

Aku lihat mama melipat tangan dan menutup mata, sementara mama berdoa aku mengarahkan pandanganku ke altar. Aku melihat pemimpin pujian nya seorang wanita. Mama berdiri sementara aku duduk mendadak kesal. Sementara suara-suara dari jemaat mengalun disertai dengan berbagai macam alat musik berbunyi dengan satu harmoni namun tak terasa indah oleh pendengaranku. Aku duduk dan menatap kosong ke depan. Aku mati rasa.

“lince! Ayo berdiri” sahut mama

“mama…aku mau sama ayah saja yah!” pamitku berjalan ke luar ruangan. Buru-buru aku menuju ke toilet dan melarikan diri ke salah satu ruangan kecilnya. Aku memegang erat dahiku, Mengapa dia tak ada yah?

“Pemimpin pujiannya kurang enak yah?” sahut seorang wanita.

“iya…coba kalau cowok minggu kemaren” jawab wanita lainnya. Segera aku keluar dari ruangan kecil dan ikut nimbrung dengan ke dua wanita itu.

“iya mba cowok minggu kemaren bagus yah…” sahutku.

“kenapa dia gak ada yah?” tanyaku.

“oh mas G, dia mah pelayanan di menara ABC” jawab wanita yang berkacamata itu.

“maksud mba gedung perkantoran yang di jalan gatot subroto itu?” tanyaku penuh selidik.

“iya…kalau minggu ke dua biasanya dia disana…ini jam 8 sebentar lagi ibadah disana dimulai” jawab wanita berkacamata itu mengajak temannya keluar dari toilet.

Aku semakin tak menentu saat membayangkan pria itu ternyata memimpin pujian tak jauh dari mall ini. Aku melihat tangan yang disentuh olehnya minggu kemaren. aku merasakan getaran aneh menggembirakan menjalar melaluiku.

“yah ampoon ada apa ini? apakah ini yang dinamakan puber?” pikirku. Nafasku memburu dan aku merasakan lenganku masih hangat oleh gemgaman tangannya saat membantuku berdiri.

“yah tepat disini” gumamku masih memandangi tanganku. Aku masih merasakan sentuhannya. Memang Rian dan Michael pernah menggandeng tanganku saat menyebrang di jalan raya. Namun aku merasa biasa saja.

Bunyi handphone membuyarkan lamunanku.

“halo Ayah” jawabku

“kamu dimana?” Tanya Ayah.

“aku di toilet…Lince mau sama ayah saja” jawabku keluar dari toilet dan melangkah menuju food court lantai empat dimana ayah biasanya menunggu.

**

“boru ayah kenapa sudah keluar?”

“aah lagi gak mood ayah” jawabku.

“ayah.. Lince mau ke toko buku dulu…”

“lince!...tungguin mama selesai ibadah…biar kita bareng saja nanti” cegah ayah.

“sebentar kok ayah” jawabku berjalan tergesa-gesa.

**

“mau kemana neng?”

“ke menara PIB gatot subroto pak” jawabku setelah menghempaskan tubuh di kursi sofa taxi blueband.

Pria itu dikenal dengan Gay…apa berarti dia itu Gay? Aah tidak mungkin… aku teringat akan teman sekelasku Michael, cowok berkulit putih dan gemulai itu sering diledekin gay, bahkan namanya kalau malam hari kata teman –teman jadi Michele. Guru agamaku melarang kami untuk meledek Michael karena gay itu prilaku seks sejenis di zaman nabi Luth. Sementara Michael adalah sahabatku yang sampai sekarang belum pernah kulihat dia menyukai seorang pria.

“sudah nyampe neng” sahut supir taksi membuyarkan lamunanku

**

Dengan tergesa-gesa aku melambaikan tangan untuk menghentikan lift yang hendak naik kepada petugas keamanan.

“terimakasih pak” sahutku sambil mengatur nafas.

“wadooh kayaknya telat nih” gerutuku sambil melirik jam tangan.

“baru mulai kok neng” jawab seorang pria disampingku.

“lagipula kalau mas Ge yang jadi pemimpin pujian agak lama kok…jadi nyantai aja!” sahut wanita di belakangku.

“memangnya pemimpin pujiannya Gay yah Mbak?” tanyaku penasaran.

Seisi lift tertawa lalu salah satu dari mereka berkata : “pemimpin pujian itu bukan gay yang itu neng…namanya  GE..dieja GE”

Mukaku bersemi merah. Lift membawaku dengan kecepatan tinggi ke lantai sebelas. Pintunya bergeser terbuka, dan aku di lobi besar berikutnya - lagi semua terbuat dari kaca, baja, dan batu pasir putih. aku dihadapkan oleh sebuah ruangan besar yang disulap menjadi tempat ibadah. disambut oleh beberapa orang berseragam putih hitam dengan ramah menyapaiku.

“oooh enak banget sih orang Kristen…meski IMB gereja dipersulit…mereka bisa beribadah di gedung seperti ini” gumamku lalu duduk di barisan tengah dan melihat pria indah dan sempurna itu bernyanyi lagu cepat dan riang.

lebih enak lagi aku karena bisa menyaksikan pria dengan kemeja putih di altar itu beratraksi sambil senyumnya ia lemparkan ke segala penjuru.

Bahkan aku melonjak kegirangan dan berdiri mengikuti alunan music riang dan cepat saat mengetahui bahwa pria itu bukan gay. Tanganku seperti robot yang dijalankan oleh mesin bertepuk tangan tanpa bisa kucegah dengan wajah merah morona menyanyikan lagu dari Sidney Mohede yang dipandu oleh pria indah dan sempurna di altar itu.

♫♪♫ …. Dunia ini mengatakan
Hidup 'tuk senang saja
Hiduplah 'tuk puaskan jiwa
Namun ku mau hidup bagi allah bapa

Reff:
Aku tak bisa hidup tanpa
Aku tak mau hidup tanpa
Kaulah nafas yang kuhirup
Apakah arti hidup jika hidup tanpa-mu

Dunia ini mengajarkan
Hiduplah tanpa tujuan
Namun ku tau keb'naran
Ku dicipta 'tuk berjalan bagi bapa

Bridge:
Ku takkan dengarkan dunia
Ku takkan hidup tanpa-mu
Ku takkan dengarkan dunia
Ku mau hidup untuk-mu
Ku takkan dengarkan dunia
Apakah arti hidup jika hidup tanpa-Mu.♫♪♫

bersambung ke episode 3



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun