Mohon tunggu...
Rinto Pariaman Tono Aritora
Rinto Pariaman Tono Aritora Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Rinto Pariaman Tono R

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ge & Bi -1(untuk 17 tahun ke atas)

18 Maret 2015   16:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ge & Bi

♫♪♫ .. Kasih setiaMu Tuhan, Lebih dari hidupku. Jalan-jalanMu ya Tuhan, Terbaik bagiku

Dari s’mua yang Kau katakan, Tiada dusta kutemui. Dari s’mua yang Kau janjikan, Tiada yang tak terpenuhi

Reff:

Andaikan ku harus memilih, Tetap hatiku padaMu

Tak satupun dapat menggantikanMu, Hanya Kau yang berarti bagiku

Lebih dari semua yang ada, Kaulah s’galanya bagiku

Tak ingin ku berpaling dariMu, S’lamanya ku akan menyembahMu,

Tuhan….♫♪♫

“Lince!... ayo berdiri!” ajak mamaku. Ia sedang mengangkat kedua tangannya, menyembah sembari matanya melirik huruf demi huruf yang tampil di LCD dekat mimbar itu. kulihat bibir mama melafalkan setiap kata demi kata dari lagu yang dipopulerkan oleh Dewi Guna.

**

Akhirnya setelah tak punya alasan menolak ajakannya, aku menemani mama beribadah. Ruangan di lantai lima di sebuah mall disulap menjadi tempat ibadah. sebenarnya aku lebih memilih untuk jalan-jalan di mall ini dengan ayah. Namun demi untuk menyenangkan mama aku menolak ajakan ayah yang sedang menunggu mama menyelesaikan ibadahnya. Sementara aku penasaran dengan yang dilakukan ayah di food court lantai empat sana.

Lie Nanda Lubis adalah nama yang tertulis di akta lahirku, Lie pemberian dari mamaku karna mama adalah keturunan Tiongha, sementara Nanda nama yang diberikan oleh nenek dibaca ibu dari ayahku. Namun mama terbiasa memanggilku Lince.Aku dibesarkan dengan dua keyakinan, antara Islam dan Kristen. Di umurkuyang 16 tahun ini aku sudah diperkenalkan mengikuti segala tata cara ibadah ayah dan mamaku. Dan setelah ulang tahun yang ke-17 nanti ayah dan mama memberiku kebebasan untuk memilih walau sampai sekarang Aku belum bisa menentukan karena untuk menjalankannya saja selama ini, aku dengan setengah hati. Aku lebih tertarik untuk membaca novel klasik romantis daripada membedakan kedua keyakinan ayah dan mama.

**

Suasana mendadak hening, suara piano terdengar mengalun, lembut suaranya mengalunkan simponi dari lagu ‘Andaikan ku harus memilih’.Aku melihat sekelilingku dan memperhatikan beberapa orang yang sedang khusuk, ada yang mengangkat tangan, ada yang melipat ke dua tangan, ada yang menangis dan ada juga yang menahan agar air matanya tak tumpah. Mulut mereka komat-kamit bercerita tentang hidup atau mungkin juga sedang mengadu ataupun meminta.

Musik berhenti mengalun beberapa menit, sementara beberapa orang ada yang tak bisa menguasai diri hingga akhirnya meratap dan memanggil nama yang sering kudengar jika mama sedang berdoa. Lalu musik dari piano itu mengalun lagi dengan lembutnya. Aku berdiri tepat di samping mama dan memperhatikan mimbar. Seorang pria yang mungkin memandu lagu itu sedang berlutut dan menundukkan kepalanya.Lalu terdengar suara bariton dengan lembut menyanyikan refrain dari lagu ini.

♫♪♫.. Andaikan ku harus memilih, Tetap hatiku padaMu

Tak satupun dapat menggantikanMu, Hanya Kau yang berarti bagiku.. ♫♪♫

Aku melihat pria itu bangkit berdiri dan menyanyikan lagu itu dengan penghayatan yang mampu menyihir orang-orang yang mendengarnya. Pria itu memakai kemeja merah dengan dasi hitam sebagai padanan jas hitam yang melekat fit di tubuhnya. Aku menengok wajahnya yang tampan dengan kumis tipis menghiasi wajahnya. Wajah yang mirip dengan khayalan-khayalanku di novel-novel klasik. pria itu menatap ke depan dan mengangkat tangannya sambil melanjutkan lagu itu.

♫♪♫..Lebih dari semua yang ada, Kaulah s’galanya bagiku

Tak ingin ku berpaling dariMu, S’lamanya ku akan menyembahMu,

Tuhan….♫♪♫

Kuperhatikan mata pria itu menatapku , sorot nya sangat teduh. Membuat aku tak berkedip memandangnya. Seolah-olah aku hampir meleleh.Namun aku juga merasa canggung.

“aaah kenapa aku ke-pede-an?” pikirku sambil menatap pria bertubuh tinggi dan berambut hitam gelap yang sulit diatur serta mata berwarna gelap itu menyorot ke para jemaat.

Pria itu menyapa para jemaat dan meminta para jemaat untuk saling bersalaman. Ia meminta seseorang berjabat tangan satu dengan lainnya minimal dengan lima orang. Ia turun dari mimbar dan menyalami para jemaat yang duduk di barisan terdepan. Langkah kakinya yang panjang mantap berjalan ke arah dimana mama dan aku berdiri. Setelah ia memberikan salam kepada mama, ia menempatkan tanganku dan kami berjabat tangan,

Ketika jari kita bersentuhan, aku merasakan getaran aneh menggembirakan menjalar melaluiku. Aku menarik tanganku buru-buru, malu. Pasti listrik statis. Aku berkedip cepat, kelopak mataku menyesuaikan dengan debaran detak jantungku.

“selamat hari minggu” sapanya hangat dan melangkah menuju mimbar.

Aku merasa bingung dan menjadi malu. Ketika aku mengumpulkan keberanian untuk melihat dia, dia memperhatikanku, dan melemparkan senyumannya. Lalu mengajak jemaat untuk bernyanyi lagu tempo cepat dan riang.

Aku memerah dan menelan ludah dengan gugup. Sorot matanya menghipnotis aku. Hatiku berdebar-debar dan lutut ku gemetar. Sepertinya segerombolan kunang-kunang masuk ke perutku dan menyebar ke seluruh tubuh. dan hatiku seperti ada di mulutku berdebar dengan irama dramatis tak teratur. Bahkan debarnya kejar-kejaran dengan dentuman bas yang dipukul dengan stik perkusi yang keras. Aku bertepuk tangan untuk menetralisir semua keadaan yang seakan menggila dan tak beres di tubuhku.

“oooh mengapa mama harus duduk di barisan paling depan sih?” gumamku sambil memperhatikan atraksi pria di depan mimbar mengajak para jemaat untuk bersukacita. Deretan giginya yang rapi dia tunjukkan, dan ia pakai suara legato saat menyanyikan Tuhan itu baik.

“oh benar-benar seksi banget kedengarannya” gumamku.

Pria itu bertepuk tangan di atas kepalanya, seolah dengan gerakan itu menujukkan kalau ia punya kaki yang panjang dibungkus dengan celana flanel berwarna gelap dan ngepas di otot-otot kakinya dan menggantung dari bawah pinggulnya sampai tepat di atas sepatunya yang hitam mengkilap.

Pria itu menyapa jemaat dengan suara hangat dan sedikit serak seperti caramel coklat…atau sejenisnya.

Aku menggoyangkan kepala untuk mengumpulkan akalku. Hatiku masih berdebar, dan untuk beberapa alasan aku merona merah dibawah tatapan mantapnya ke depan. aku benar-benar syok saat ia meniru tarian tortor yang pernah dibawakan oleh ayahku. melihat dia berdiri dengan kedua telapak tangan terbuka dekat dengan bahunya seraya memperlihatkan jari-jarinya yang panjang dan bersih. Aku membayangkan bahwa ia percis seperti pria yang ada di novel-novel klasik romantis yang pernah kubaca. Dia tidak hanya tampan - dia adalah lambang keindahan pria, memukau, dan dia ada di sini yah di rumah ibadah. sekali lagi aku seperti kesetrum dengan sorot tatapannya yang mungkin bukan buatku.

Mama menyenggol pinggulku saat kulihat semua jemaat sudah duduk sementara aku masih berdiri bertepuk tangan kecil. Aku menjadi kikuk saat menghempaskan diriku di kursi. Lalu curi-curi pandang ke arah pria yang sedang berdiri di dekat keyboard bermerek Yamaha. Pria yang mungkin kurang lebih sekitar usia 27 tahun itu lalu duduk saat pengumuman sedang dibacakan.

Ia mengambil sebotol air mineral lalu meminumnya dan terlihat jakunnya naik turun saat air mengaliri mulut dan kerongkongannya.

Dia begitu sexy.. apalagi saat telapak tangannya yang gagah menyeka sebulir air yang tumpah dari bibirnya. Ia mengambil sapu tangan dan menyeka bulir-bulir keringat di dahinya yang lebar. Sekejap saja terlihat dahinya bersih.

“oh mengapa bukan aku saja yang melap dahinya” niat itu tiba-tiba ada di benakku.

Aku menarik napas mendesah lega. Demi Tuhan sebenarnya apaan ini? Bersandar penuh di kursi, aku dengan gagah berani mencoba untuk tenang dan mengumpulkan pikiranku. Aku menggelengkan kepala. Apakah itu? Hatiku memantapkan irama teratur, dan aku bisa bernapas normal lagi. Mataku menatap seorang pria yang mulai berceramah di atas mimbar.Aku mulai berkonsentrasi mendengar kotbahnya agar bisa melupakan pria yang sudah membuat getaran tak beraturan di jantungku.

Mama memegang tanganku, Ia melihat sepertinya aku sudah tak betah di ruang ini. terlebih pria itu tak tampak lagi di sekitar mimbar.

“ada apa ini? apakah aku sedang jatuh cinta?” pikirku sambil bernafas dengan normal. Namun tetap saja aku tak bisa konsentrasi bahkan aku malah berdiri dan berjalan ke arah toilet. Aku berjalan terburu-buru hingga saat mendorong pintu ruangan ibadah ini aku tersandung, tersandung oleh kaki sendiri dan jatuh dengan posisi kepala duluan ke arah luar.

Sial banget - aku dan dua kaki ku! aku pada posisi merangkak di ambang pintu.

“apakah kau baik-baik saja?” Tanya seorang pria dengan lembut sambil tangannya membantuku untuk berdiri. Aku jadi tengsin dan menguatkan diri untuk melirik ke atas.

“Subhanallah… dia begitu sempurna” pikirku. Saat sudah berdiri tepat di depannya. Aku tak berani menatap matanya. Sorotnya begitu tajam mengarah ke diriku, seolah-olah memeriksa apakah aku terluka.

Aku semakin kikuk sampai lupa mengucapkan terimakasih lalu membalikkan badan sekaligus untuk menyembunyikan wajahku yang merona merah. Namun baru dua langkah aku berbalik lagi menatapnya. Aku jadi salah tingkah saat ia menatapku. Butuh beberapa saat bagiku untuk menemukan suaraku kembali

“mmm maaf pak,, eeeh mas…. Toilet mana yah?” tanyaku sambil menahan senyum.

“saya juga mau ke toilet” jawabnyasambil melangkah menuju toilet.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun