Mohon tunggu...
Rinto Pariaman Tono Aritora
Rinto Pariaman Tono Aritora Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Rinto Pariaman Tono R

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baoa na Burju#2#sekuel Jilbabmu Mengalihkan Duniaku

17 September 2014   23:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:24 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semilir angin berhembus, tanpa tahu dari mana datangnya, padahal matahari masih terik memancar dengan gagahnya. Yang jelas angin tersebut terasa sejuk, menenangkan hati wanita yang sedang menunggu seseorangyang mengirimkan pesan ke inboxnya. Jarinya asyik menari-nari di layar ponsel pintar itu. mungkin untuk mengurangi rasa bosan. Ia membaca pesan itu kembali. Sedang tangan kirinya menahan rambut gelung-gelungnya yang tergerai menghalangi pandangannya.

Horas ito? Apa kabar? Bisa ketemuan gak?

Ia hampir lupa dan sudah lama tak berkomunikasi dengan pemilik nomor tersebut. Bang Regar inisial yang ia buat di daftar kontak dalam ponselnya. Seorang duda keren yang ditinggal mati istrinya. Setelah setahun bang Regar mencoba move on dengan menerima saran-saran dari teman dekatnya yang mendadak jadi mak comblang. Oleh karena mengikuti arisan perkumpulan Siahaan Sejabodetabek, ia pun berkenalan dengan duda keren itu yang mana mendiang istrinya satu marga dengan Lasma.

Kesan pertama kali jumpa di tempat ini, petang itu lapo Tondongta Senayan mengalun lagu tembang kenangan yang dipopulerkan oleh Robin Panjaitan. Larik-larik dari ‘Sonata yang Indah’ dibawakan penuh penghayatan oleh salah satu band pengisi acara.


Seorang pria dengan stelan jas hitam melangkah menuju ke kursi Lasma.

“Horas, dengan ito Lasma” sapa bang Regar

Saat itu walau si pria terkesan tidak banyak bicara namun ia sempat menuturkan bahwa ia suka dengan lagu yang sedang mengalun itu. sambil asyik menikmati sepring nasi dengan ikan mas arsik lengkap dengan sambal yang dicampur dari andaliman, ia menyeka bulir-bulir keringat di keningnya dengan tissue yang tersedia.

“Gerah yah bang?” Tanya Lasma. Untung saat itu suasana memasuki malam. Dan matahari menyudahi tugasnya menyinari wilayah Indonesia.

“iya nih..sambalnya bikin panas” jawab Bang Regar. Ia masih asyik mencomot nasi dan mengoleskan sambal di atasnya. “kamu sedang diet yah? Kok gak pesan panggang?” sambungnya.

“sudah tua, bang…takut kolesterol” jawab Lasma. Ia juga asyik memasukkan nasi dan sayur rebung ke mulutnya. Sesekali tak lupa ia ambil ikan teri medan campur kacang itu dari piringnya.

Setelah selesai lagu “Sai Anju Ma Au” dari ciptaan Charles Hutagalungyang dipopulerkan Nainggolan Sister , Keduanya meninggalkan lapo yang terdapat di daerah Senayan itu.

***

Dua puluh menit sudah Abigail memperhatikan Lasma dari kejauhan. Di tempat parkiran ia duduk di kursi yang tersedia. Wajahnya bingung. Ia sudah kenal dengan Lasma sepuluh tahun lalu. Tapi ia masih ragu untuk bertemu dengan wanita yang katanya perfeksionis itu. Ada keraguan untuk menjumpainya. Namun ia juga tidak boleh berlama-lama, jangan sampai Lasma menelpon nomor papanya. Ponselnya bergetar. Ada panggilan dari Lasma. Ia bingung apakah ia akan menjawabnya. Ia teringat kalau ia sudah bertindak tidak wajar ketika ia menyalah gunakan ponsel ayahnya. Saat ayahnya sedang konsen menyetir ia mengirimkan sms kepada Lasma untuk mengajak ketemuan. Dengan memberikan nomor baru pula yaitu nomornya sendiri.

***

Lasma melihat penunjuk waktu yang ada di ponselnya, wahhh… ternyata sudah jam 12.15. Pantasan saja sudah rame. Semua meja sudah terisi penuh dan banyak pengunjung yang masih berdiri menunggu meja kosong. Apalagi ini hari jumat, dimana para pegawai kantoran memiliki waktu istirahat yang lebih panjang dari hari kerja lain.

Lasma memperhatikan para pengunjung yang ada. Sebagian besar pengunjung mengenakan batik yang rapi. Penampilan mereka menunjukkan mereka adalah para pekerja-pekerja golongan menengah ke atas yang bekerja di kantor-kantor bagus di seputaran daerah senayan. Bahkan tidak sedikit para pengunjung adalah perempuan yang berpenampilan modis, berkulit putih mulus yang pasti sering bertandang ke salon kecantikan dan tempat-tempat perawatan kulit, tangan mereka yang berkuku rapi menggenggam blackberry dan sepatu mereka adalah sepatu pancus berhak tinggi. Hampir semua pengunjung tidak berwajah “marsuhi-suhi” atau oleh bang Aman disebut berwajah kaca spion.

“ah mengapa aku jadi ingat bang Aman?” gumamnya. Ia melihat seorang gadis hitam manis memperhatikannya dan berjalan mendekati mejanya.

“Tante Lasma yah?” sahut gadis itu tersenyum.

“iya, anda siapa?”

“maaf tante saya Abigail Hasianna SiRegar, putri dari pak SiRegar”

Lasma kaget namun ia berhasil menutupi kekagetannya dengan tersenyum.

Ia sadar kalau putri pak SiRegar yang ia lihat 10 tahun lalu ternya sudah besar dan setinggi Lasma.

“boleh gabung yah tante?” Tanya Abigail. Dari bahasa tubuhnya, ia memperlihatkan tidak ada satupun kursi yang tersisa.

Lasma kesal sebab yang ditunggu adalah ayahnya namun mengapa putrinya yang datang.

Abigail memesan makanan kesukaan ayahnya. Ia sedikit gemetaran, dan untuk mengatasinya ia memilih untuk makan terlebih dahulu. Dengan lahapnya ia menyantap makanan yang dipesannya.

“tante kenapa enggak makan?” Tanya Abigail menatap wajah Lasma. Ia melap bibirnya yang berminyak oleh kuah dari sayur daun singkong tumbuk khas Medan itu.

“saya enggak lapar” jawab Lasma. Suaranya ketus karena kesal.

“tante…sebenarnya sms kemaren…aku yang ngetik” sahut Abigail terbata-bata.

“aku ingin bertemu dengan tante…aku ingin minta tolong” sambung Abigail menatap Lasma dengan perasaan bersalah.

Lasma menyisir rambutnya dengan kelima jarinya. Ia semakin kesal namun ia menutupinya, ia menatap mata Abigail penasaran. Ia manarik nafas dan menghembuskannya pelan-pelan.

“aku minta maaf tante…tapi aku berbuat ini karena papa tak mengijinkanku…aku ingin tante jadi pengacara buat kasus”

“kasus siap?” potong Lasma. Suaranya agak meninggi.

“aku punya kenalan di Samosir sana…dan pria itu butuh bantuan seorang pengacara”

“Kasus apa?” Tanya Lasma

“Perebutan hak asuh, tante”

“hah…itu lagi..itu lagi..apa gunanya sih merebut hak asuh..kalau cerai yah sudah..jangan rebutin anak” sahut Lasma.

“maaf saya enggak mau membantu masalah seperti itu..di Samosir sana ada para penatua adat yang bisa menyelesaikannya” sambung Lasma. Ia hendak siap-siap pergi.

“tapi tante…ini bukan kasus perceraian..dan ini bukan perebutan hak asuh anak” Sahut Abigail. Mimiknya serius. Ia menceritakan kronologis kejadian. Semuanya ia ceritakan apa yang ia ketahui tentang kasus pria bisu itu.

Setelah mendengar keterangan dari Abigail, Lasma manggut-manggut. “tapi maaf..saya gak bisa..tempat itu terlalu jauh dan lagipula si artis itu pasti menang karena ia juga berhak, terlebih ia putri dari emaknya” Lasma mengambil tasnya dan hendak berdiri.

“Kemana nurani tante? Kalau tante tak mau biar aku yang membela!” sahut Abigail lantang.

“hei kau itu ngerti apa soal hukum? Sarjana hukum saja enggak cukup, manis” Lasma tersenyum.

“maka itu aku ingin menemui tante…kalau tante enggak mau, aku ingin membela pria itu. aku ingin berdialog, apakah seorang freshgraduate punya hak untuk jadi pembela?” Tanya Abigail. Suaranya merendah namun intonasinya jelas. Ia diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang. “Aku datang kemari ingin mendengar pendapat tante”

Lasma mengurungkan niat dan masih tetap duduk. Ia menatap mata Abigail. Ada semangat terpancar dari sorotannya. Semangat jiwa muda. “tapi ini tidak mudah sayang…kamu masih perlu belajar lebih banyak lagi?”

“aah tapi sampai kapan tante? Sampai kapan aku menunggu saat itu?”

“ini adalah kesempatan untuk menolong pria itu untuk mengungkapkan kebenaran” sambung Abigail.

Lasma memotong pembicaraan Abigail. “kesempatan untuk jadi terkenal atau menolong?” Sindir Lasma.

“ohhh my God…kalau bukan karena tergerak belas kasihan…ngapain aku repot-repot mau ikut campur tante?” ucap Abigail. Ia mulai berani.

Lasma mulai melunak. Ia melihat semangat dari binar-binar mata gadis itu. ia teringat ketika membela kasus Nia dengan salah satu maskapai penerbangan beberapa tahun lalu. “terus kau mau apa?”

“aku mau tante membantuku, menerbitkan surat pengalaman kerja lebih dari dua tahun, agar aku bisa ikut andil dalam perkara ini” jawab Abigail

Lasma tertawa. Ia mengerti arah pembicaraan gadis itu. “belum apa-apa sudah membohongi nurani..apalagi sudah jadi?”

“maaf tante…itu juga karena tante gak mau jadi pengacara pria itu, aku tahu…aku belum…”

“kamu bisa karena kamu sudah sarjana hukum dan kamu juga lulus advokasi” potong Lasma.

“awal yang baik pasti akan berakhir dengan baik, jadi tak perlu bikin surat referensi bohongan” sambung Lasma.

“berarti tante mau bantu aku?” sahut Abigail. Wajahnya tersipu.

“mau tapi hanya sebagai konsultan…lagipula tante sudah tua…enggak kuat kalau tante harus pergi ke sana.” Jawab Lasma.

“kau yang jadi pengacaranya, biar saya yang urus segala administrasinya…tapi ingat…apapun rintangannya kedepan..jangan mundur sampai kasus belum selesai” Sambung Lasma.

“Molatte tante..” ucap Abigail sengajamemperjelas huruf e nya.

“mauliate...bukan molatte emank orang Itali” balas Lasma.

“hahaha ternyata tante baik…maafin aku yah tan” Suara Abigail pelan.

“maaf kenapa?”

“yah karna aku tante jadi gak nikah ama papa” Jawab Abigail keceplosan.

“apaa? jangan ke gr an dulu manis..waktu saya ketemu dengan mu di rumah itu adalah pertama kalinya ketemu papamu..dan kesan pertama yang kutangkap kalo papamu bukan kriteria tante jadi yah sudah..kita tidak berjodoh” Sahut Lasma mengelak.

“bukan tidak berjodoh tante tapi belum berjodoh..” gumam Abigail

“yah sudah.. entar kita bisa kontak-kontak lagi..saya pergi dulu..” sahut lasma melangkah ke arah parkiran.

***

Ia menelpon supirnya. Dan ternyata supirnya telah mengikuti lasma dari belakang. Setelah di dalam mobil lasma menghempaskan tubuhnya. Dia tak habis pikir mengapa ia mau menerima ajakan bang Regar lewat sms itu..padahal saat ia jadi notaris perusahaannya tak pernahbang Regar bertatap muka dengannya. Semua dilakukan oleh sekretarisnya dan itu juga lewat telepon.

Ia ingat sehabis dari lapo tondongta malam itu, bang Regar mengajaknya ketemu putrinya. Saat mau naik dan turun mobil, bang Regar membukakan pintu untuknya. Dibalik sifat dingin bang Regar ternyata dia adalah pria yang pintar memperlakukan wanita.

Ia dan bang Regar tiba di perumahan elite di bilangan Jakarta selatan malam itu.

“Papaaaa...”

“hasian papa..”

bang Regar memeluk putrinya. Sorot mata putrinya tajam memperhatikan teman wanita papanya. Ada kecemburuan terpancar dari sana.

“hasian...ini tante lasma..teman papa..” sahut bang Regar.

“maaf pa..aku kebelet..” sahut Abigail lari ke arah toilet.

“hasian..” teriak bang Regar.

“Sudah bang..gak apa-apa...oiya maaf.. ternyata saya ada janji dengan klient..” Ucaplasma dan melangkah keluar.

“tunggu sebentar las..aku minta maaf atas sikap putriku..” Sahut bang Regar. Ia merasa bersalah.

“saya antar kamu pulang Yah?” sambung Bang Regar

“enggak apa-apa bang.. saya bisa naik taksi dan minta supir jemputdi stasiun”Jawab Lasma

“tapi lasma..”

“sudahlah..putrimu...hasian..lebih butuh ayahnya ..apalagi ia baru kehilangan mamanya jadi gak usah gak enak sama saya...” sahut Lasma pergi meninggalkan Bang Regar yang berdiri terpaku di teras rumahnya.

***

Abigail sedang berjalan ke stasiun busway. ia masih baru baikan dengan ayahnya, oleh karena itu ia belum berani untuk memakai mobil yang dihadiahkan oleh ayahnya enam bulan lalu ketika ia berhasil lulus kuliah dengan nilai cumlaude. Ia teringat saat tante lasma mampir ke rumahnya. Saat itu ia sudah tammat smp. Ia cemburu melihat gelagat ayahnya yang tak seperti biasanya. Ayahnya riang dan selalu tersenyum sendiri saat melihat foto lasma di ponselnya.

“Kamu itu tak sopan, hasian...” sahut bang regar, Ia marah.

“Loh emank aku kebelet papa..” jawab Abigail sambil memegangi perutnya.

“papa kecewa dengan kamu” bentak Bang Regar. Ia menahan amarahnya.

Abigail juga marah dan kesal, ia keluar dan membanting pintu. Ia lari dan terus berlari. Meyadari kalo tadi ia sudah membentak putrinya. Bang regarmengejarnya. “hasian..berhenti!” sahut bangregar.

“aku benci papa...papa gak sayang lagi sama aku..”sahut abigail lari ke arah taman komplek.

“hasian..dengar dulu penjelasan papa..”sahut bang regar kelelahan. Bagaimanapun usia memang tak menipu terlebih ia jarang berolahraga. Ia berhenti sejenak tuk mengambil nafas. Ia melihat sekelilingnya. Putri satu-satunya itu sudah tidak dilihatnya. Ia sadar bahwa ini terlalu cepat bagi putrinya untuk menerima wanita pengganti mamanya di rumah. Ia membayangkan jika sesuatu yang tak baik terjadi kepada putrinya terlebih saat ini putrinya sedang mencari jati dirinya. Ia menyesal sudah membentaknya.

“hasian..maafkan papa” ucapnya sambil mengatur nafas. Ia terengah-engah dan memegang pinggangnya.

“papa” sahut Abigail. Ia berdiri tepat di belakang ayahnya.

“hasian…” ucap bang Regar langsung mendekap putrinya.

“maafin aku, papa…aku sayang papa” suara Abigail terisak-isak.

Dibawah sinar bulan purnama, Mereka berpelukan. Pelukan atas nama keluarga. Hubungan antara ayah dan putrinya. Sementara sepasang mata wanita di kejauhan sana terharu melihatnya.

***

“ibu..Pak Monang titip pesan..tolong janji meeting hari senin direschedule” sahut operatornya.

“memangnya bapak kemana?” Tanya Abigail yang sudah tiba di kantornya.

“bapak sedang pergi dengan itu..artis itu loh”

“Tamara Arisma?”

“iya benar…hari senin katanya bapak mau berangkat ke sumatera” jawab operatornya.

Abigail kaget, karena getar ponsel di dalam tasnya. Ia membaca sms dari nomor yang berasal dari desa Huta Ginjang itu.

Aku yakin, tak akan ada keadilan bagi orang disabilitas, ternyata saya salah alamat. Kalian malah membela artis itu.

Abigail duduk di kursinya. Perasaannya jadi gundah, untuk menelepon klient ia urungkan, ia jadi uring-uringan. Ia berencana untuk mengajukan resign, namun ia juga belum bisa pastikan apakah tante Lasma dan ia akan pergi ke Samosir. Ia juga berpikir desa itu pasti jauh karena mamanya yang dikubur di Balige saja sangat jauh dari bandara. Ia hanya dua kali kesana, saat penguburan mamanya dan ziarah ke makam mamanya. Ia melihat kuku-kukunya, warna kuteknya sudah terkelupas.

“mba…mba..benarkah anda mau bercerai?” teriak para wartawan. Puluhan krew tv dan awak media sedang mengejar Tamara Arisma yang berusaha masuk ke dalam kantor ditemani oleh pak Monang.

“saya akan melakukan konferensi pers..jadi ditunggu aja yah!” sahut Tamara tersenym memperlihatkan deretan giginya yang rapih.

Tamara masuk ke ruang kerja pak Monang. “bagaimana ini bapatua? saya enggak mau kasus ini diekspos” Tamara sepertinya kuatir. Pintu ruang kerja pak Monang lupa ditutupnya.

“kalo bisa, saya tak perlu ikut di persidangan yah?” sambung Tamara.

“tenang saja kau Tamara, biar aku yang ngatur” jawab pak Monang menenangkan.

Suami Tamara sudah berada di depan pintu, ia terburu-buru dan melangkah ke ruang kerja pak Monang. Ia mengajak istrinya keluar dari ruangan. Mereka berjalan di antara para wartawan yang mengejar mereka. Nampak suaminya berbicara sembari mengajak istrinya yang ketakutan ke arah lift.

“selamat siang, pak” sapa Abigail. Ia melihat pak Monang hanya mengangguk. “bukankah lebih baik kasus ini diselesaikan dengan cara kekeluargaan?”

Pak Monang memperbaiki letak kacamatanya dan menatap Abigail. “bagaimana caranya berdialog dengan orang bisu? Bahkan semua orang di desa itu sudah kesal dengan pria itu”

“bisa lewat penterjemah pak!” Jawab Abigail.

Pak Monang mendongakkan kepalanya. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa itu. “ah sudahlah..kita ikutin kemauan klient saja”

“pak…saya mau mau resign” ucap Abigail pelan.

“apaaa?”

“iya, saya mau resign” jawab Abigail duduk. Posisinya berhadap-hadapan.

“Kau dapat kerjaan baru?”

“belum…tapi saya berniat untuk membantu saudara dari Tamara itu” ucap Abigail pelan.

“sebentar” sahut pak Monang, ia mengambil ponselnya. Barusan ada pesan masuk.

“lihat..pak Luhut sudah ke sana dan tadi pagi sudah dilakukan sidang pertama, enggak ada yang mau jadi pengacara pria itu..petugas pengadilan tadi ke rumahnya, namun rumah itu sepi..entah sampai berapa lama sibisu itu main petak umpet?” sahut pak Monang memperlihatkan sms dan gambar yang dikirimkan pak Luhut, rekan kerjanya yang sudah senior di kantor tempat Abigail berkerja.

“pria bisu itu punya nama pak..” sahut Abigail. Suaranya agak lantang.

“oke..jika kau mau resign, silahkan pintu terbuka lebar…tapi jangan pernah berpikir kau bisa menang menangani kasus ini” ucap Pak Monang, nada suaranya seperti merendahkan kemampuan Abigail. Ia berusaha menciutkan nyali wanita dihadapannya itu.

“bapak jangan menganggap rendah saya, tujuan saya bukan mencari menang..tapi untuk membela keadilan” jawab Abigail

“hah…dari sudut pandang mana kau melihat keadilan itu…? baru juga anak kemaren sore” sahut pak Monang. Nada suaranya meninggi.

“maaf saya enggak mau berdebat dengan orang yang gak punya nurani dan hanya bisa membela kepentingan orang kaya..” ucap Abigail. Ia meletakkan foto-foto yang diterimanya beberapa hari lalu.

“keluar!!!” bentak pak Monang. Suaranya meninggi.

“dasaar tak tahu diri…kalau bukan karna ayahmu, kau enggak akan diterima bekerja disini” sambung pak Monang.

Abigail melangkah ke mejanya dan mengambil tasnya. Ia keluar dari kantor pak Monang Lima menit kemudian ia sudah berada di dalam lift, sendirian..Terngiang-ngiang kata-kata pak Monang di benaknya. Ia merasa hidupnya tak jauh dari bayang-bayang ayahnya. Meski ia adalah pewaris tahta perusahaan ayahnya. Namun ia ingin berdikari..ya ingin berdiri di kaki sendiri..makanya ia lebih mengikuti kata hatinya untuk bergelut di dunia hukum. Berbanding terbalik dengan penawaran ayahnya di dunia bisnis ekspor garment. Bunyi denting halus membuyarkan lamunan Abigail. Ia sudah tiba di lantai dasar. Ponselnya bergetar tanpa panggilan masuk.

“Hallo” Abigail keluar dari lift.

“apakah lembaga bantuan hukum kalian hanya berpihak kepada orang kaya saja” teriak seseorang dari sebrang sana.

“hei..mengapa kau tidak bicara langsung sama bapatua Monang saja? Jangan hubungi saya lagi..saya sudah gak bekerja disana dan tak punya urusan lagi dengan LBH itu” jawab Abigail garang. Ia masih kesal. Ia menutup pembicaraan dan menyimpan ponselnya. Belum sempat ia menutup tasnya, ponsel itu bergetar kembali tanda pesang singkat masuk.

Kedengarannya anda sedang kesal, oke saya tidak akan mengganggu anda lagi.

Abigail mendengus kesal. Ia memang kesal setengah mati pada ayahnya karena selalu mencampuri urusan pribadinya. Ia duduk di bangku taman. Ia menelpon Lasma. “jurusan yang ada tuju sedang sibuk”

Abigail semikin kesal. Ia mengetik sms. Tante serius gak sih ngebantu kasus yang melibatkan Tamara itu?

Ponselnya bergetar pertanda pesan singkat masuk. “maaf saya gak ngurusin kasus seperti itu

***

Bandara Soekarno-Hatta.

Di antara bising mesin pesawat yang datang pergi. Di antara ratusan atau ribuan manusia yang lalu lalang dengan kepentingan masing-masing. Abigail duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponselnya tidak bergetar, tidak tidak berbunyi dan tidak melakukan apa pun!

“tak ada lagi yang perduli padaku” desisnya. Abigail harus mengambil keputusan. Meski tanpa restu ayahnya. Bagaimanapun ia harus berani bertindak dan mengikuti kata hatinya. Perasaannya agak baikan setelah ponselnya bergetar. “hallo papa” sapa Abigail setelah menempelkan ponsel ke telinganya.

“kau dimana hasian?”

“bandara Soeta…mau ke Medan berziarah ke makam mama” jawab Abigail. Suaranya ia buat-buat sedih.

“apaaa? Hasian..dengar papa..jangan bertindak gegabah…!” sahut ayahnya cemas.

“tapi aku kangen mama, papa” isak Abigail berpura-pura. Ia menjauhkan ponsel dari mulutnya sambil menahan tawa.

“maaf pa..sebentar lagi aku mau naik pesawat..entar aku hubungi” Sambung Abigail mematikan ponselnya. Ia sudah yakin untuk pergi ke Danau Toba, kampung dimana nenek moyangnya dilahirkan. Tas ranselnya ia gendong dan menuju tempat penjualan tiket.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun