Mohon tunggu...
rinto aritonang
rinto aritonang Mohon Tunggu... -

Pemerhati sosial politik Tapanuli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Perjalanan: Tapanuli Utara dalam Fakta: Isu, Mimpi, dan Harapan

22 Desember 2014   18:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:43 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah masa lampau, Kabupaten Tapanuli Utara termasuk Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, serta Kabupaten Humbang Hasundutan. Keresidenan Tapanuli (Residentie Tapanuli) versi Hindia Belanda menempatkan Sibolga sebagai pusat pemerintahan yang dipimpin seorang residen bangsa. Wilayahnya luas meliputi 4 Afdeling, masing masing Afdeling Batak Landen, Afdeling Padang Sidempuan, Afdeling Sibolga, dan Afdeling Nias.

Afdeling Batak Landen yang dipimpin Asisten Residen atas 5 Onder Afdeling (wilayah) yang terdiri Onder Afdeling Silindung ibukotanya Tarutung, Onder Afdeling Hoovlakte Van Toba (wilayah Humbang) ibukotanya Siborongborong, Onder Afdeling Toba (wilayah Toba) ibukotanya Balige, Onder Afdeling Samosir (wilayah Samosir) ibukotanya Pangururan, serta Onder Afdeling Dairi Landen ibukotanya Sidikalang. Setiap Onder Afdeling mempunyai satu Distrik (Kewedanaan) yang dipimpin seorang Distrikchoolfd bangsa Indonesia yang disebut Demang dan membawahi beberapa Onder Distrikten (Kecamatan) yang dipimpin seorang Asisten Demang. Kemudian tiap Onder Distrik membawahi beberapa Negeri yang dipimpin seorang Kepala Negeri (Negeri Hoofd).

Sistem pemerintahan ini bertahan hingga awal tahun 1942. Sebab, di masa pendudukan Jepang atas Wilayah Indonesia tahun 1942-1945 , sistem pemerintahan mengalami perubahan, seriting penyebutan nama yang juga berubah. Dimana, Asisten Resident diganti dengan nama Gunseibu yang menguasai seluruh Tanah Batak (Tanah Batak Sityotyo)., Demang menjadi Guntyome, sebagai pemimpin atas satu wilayah (Gunyakusyo), Asisten Demang menjadi Huku Guntyo yang memimpin sebuah Kecamatan (Huku Gunyakusyo), sedangkan Kampung Hoofd diganti namanya menjadi Kepala Negeri dan Kepala Kampung.

Namun sistem pemerintahan dan penyebutan nama itu, tidak bertahan lama. Karena sejak kemerdekaan Republik ini diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, istilah Keresidenan Tapanuli masih dipertahankan. Saat itu, Dr. Ferdinan Lumbantobing duduk menjadi seorang Residen atas wilayah Afdeling yang dikemudian hari diganti dengan nama Luhak, yakni, Afdeling Batak Landen menjadi Luhak Tanah Batak yang dipimpin Luhak pertama, Cornelis Sihombing di awal jabatannya yang dikukuhkan tanggal 5 Oktober 1945 sebagai Hari Jadi daerah ini. Wilayah yang lebih kecil yakni Onder Afdeling juga mendapat perobahan nama menjadi Urung yang dipimpin seorang Kepala Urung. Begitu juga dengan istilah Onder Distrikten juga dirobah menjadi Urung Kecil dibawah pimpinan Kepala Urung Kecil. Sebutan Luhak hanya bertahan sebentar, sebab di awal tahun 1946, Luhak Tanah Batak sudah diganti namanya menjadi Kabupaten Tanah Batak yang dipimpin seorang Bupati yang menguasai 5 wilayah yakni, wilayah Silindung,  wilayah Humbang, wilayah Toba, wilayah Samosir, dan wilayah Dairi yang masing masing dipimpin seorang Demang.

Setelah proklamasi kemerdekaan tersebut, Belanda kemudian beranjak meninggalkan Indonesia melalui pengesahan kedaulatan di tahun 1950. Seiring hal itu, diawal tahun, secara resmi terbentuk Kabupaten baru, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara (dulu Kabupaten Tanah Batak), Kabupaten Tapanuli Selatan (dulu Kabupaten Padang Sidempuan), Kabupaten Tapanuli Tengah (dulu Kabupaten Sibolga) dan Kabupaten Nias (nama yang sempat bertahan lama digunakan untuk sebutan Kabupaten kepulauan itu).

Khusus untuk wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, pada tahun 1956, alasan peningkatan daya guna Pemerintahan harus menjadikan Kabupaten Dairi menjadi sebuah wilayah yang terpisah sesuai UU RI No.7 DRT/1950. Demikian juga untuk percepatan laju pembangunan, pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan hasil hasil pembangunan dan stabilitas keamanan menjadi dasar alasan pembentukan Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan UU. No.12/1998, serta pemekaran Kabupaten Humbang Hasundutan yang didasari UU.No.9/2003.

Roda perjalanan Kabupaten berpenduduk mayoritas beragama kristen ini terus berputar maju. Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing yang akrab disapa Toluto, selaku pemimpin ke-20 Kabupaten ini mengawali amanah jabatannya di periode pertama tahun 2004-2009, lewat perolehan suara terbanyak dari para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada masa itu. Kepemimpinannya melanjutkan sejarah kepemimpinan tokoh tokoh sebelumnya, yakni C. Sihombing (1945-1946), HF. Situmorang (1946-1947), F. Siagian (1947-1948), RPN. Lumbantobing dan P. Manurung (1948-1949), F. Pasaribu (1950-1953), M. Purba (1954-1956), HF Situmorang (1956-1958), B. Manurung (1958), SM. Simanjuntak (1958-1963), E. Sibuea (1963-1966), Drs P. Simanjuntak (1966-1967), AV. Siahaan (1967-1968), Letkol MSM Sinaga (1968-1979), Drs. S. Sagala (1979-1984), Drs. G. Sinaga (1984-1989), Lundu Panjaitan, SH (1989-1994), Drs TMH Sinaga (1994-1999), serta Drs. RE. Nainggolan, MM (1999-2004).

Berbagai persoalan klasik terkait percepatan laju pembangunan, pertumbuhan ekonomi daerah serta pemerataan hasil pembangunan kerap menjadi keluhan masyarakat sebagai wujud belum tercapainya harapan seluruh masyarakat daerah ini. Meski demikian, periode pemerintahan Bupati Torang Lumbantobing yang diakhiri tahun 2009 masih dilanjutkan pada sistem pemilihan umum secara langsung oleh rakyat yang pertama digelar. Pemilukada Taput kembali mendudukkannya sebagai Bupati untuk periode keduanya tahun 2009-2014.

Satu dekade perjalanan Tapanuli Utara sejak awal pemerintahan Torang Lumbantobing, saya nilai menarik untuk dijadikan bahan renungan dan telaah. Sebab, baik buruk sebuah penilaian, seluruhnya tergantung pribadi setiap orang. Nilai baik sepantasnya menjadi tauladan, sementara nilai buruk setidaknya meninggalkan hikmah yang siap untuk dipetik. Karena dalam setiap perjalanan waktu, proses yang dijalankan dengan baik dan sempurna, maka layak untuk diapresiasi. Namun, jikapun penuh kekurangan, hal tersebut juga perlu diamati, demi semangat perubahan daerah ini yang lebih baik lagi ke depan.

Harapan dan mimpi demi  membawa perubahan sebuah daerah menuju arah yang lebih baik, pastinya menjadi poin utama setiap orang pemimpin, tak terkecuali oleh Bupati Taput. Diawali pada tahun 2004. Keterpilihan Torang Lumbantobing bersama pasangannya Frans A. Sihombing selaku Wakil Bupati, seperti biasa berjalan hangat penuh harapan seluruh masyarakat. Mulai dari upaya menggalakkan semangat Gotong royong hingga bermacam program yang menyentuh desa desa terjauh dari pusat kota Tarutung pun dilakukan. Namun, segala sesuatu yang baik, ada saja celahnya. Sebab, Gerakan Reboisasi Hutan Nasional  yang lajim disebut Gerhan sebagai satu penerapan program nasional di daerah ini langsung mendapatkan sorotan publik atas berbagai permasalahan yang terindikasi terjadi.

Tahun ke dua kepemimpinannya di 2005, permasalahan lain muncul. Kali ini, bantuan ternak sapi senilai Rp.900 juta yang dipusatkan untuk wilayah Kecamatan Pangaribuan, tepatnya di Desa Lumban Sinaga menjadi bahan pergunjingan opini publik. Sarat indikasi persoalan terkait bantuan ini dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut.

Sementara di Tahun 2006, penerapan program pentas seni sebagai media blusukan sang Bupati dalam menjangkau wilayah terisolir dan terpencil di daerah ini mulai dilaksanakan. Meski, di satu sisi, persoalan di tahun sebelumnya kembali menghangat. Karena, pembiayaan lanjutan perihal pemberian bantuan ternak sapi, ditampung kembali di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah senilai Rp.264 juta demi peruntukan pembuatan kandang ternak sapi serta penanaman rumput pakan ternak dimaksud juga terendus bermasalah oleh publik.

Lain lagi di tahun 2007. Masalah pengadaan pakaian dinas PNS dan atribut sebanyak 2.500 stel senilai Rp.380 juta, dan pengadaan pakaian dinas guru dan tenaga administrasi sekolah sebanyak 3.768 stel senilai Rp.501.144.000, serta pengadaan pakaian dinas guru swasta dan atribut 2.025 stel senilai Rp.269 juta ternyata tak sekedar isu. Sebab faktanya, pengerucutan hasil penyidikan aparat hukum berhasil dihantarkan ke meja hijau pengadilan. Jelas saja, Mantan Kabag Umum dan Perlengkapan berinisial JM, saat itu, yang merupakan adik ipar sang Bupati, duduk menjadi seorang pesakitan dan divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Tarutung selama 1 tahun 4 bulan penjara.

Tahun 2008, isu adanya manipulasi atau penggelembungan jumlah penduduk Kabupaten ini menggedor telinga publik. Dugaan manipulasi jumlah penduduk ini terindikasi dari Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Torang Lumbantobing pada tanggal 7 Agustus 2008 menegaskan jika jumlah penduduk Taput sebanyak 264.848 jiwa. Namun pada tanggal, bulan, dan tahun yang sama, Bupati juga menandatangani pengajuan jumlah penduduk versi Pemerintah daerah ke Komisi Pemihan Umum Daerah setempat, sebanyak 301.009 jiwa. Selain itu, proyek Pengadaan Saluran Air Bersih yang disingkat PSAB di tiga Kecamatan, masing masing sekitar Rp.5 miliar di Kecamatan Sipahutar, sekitar Rp.4 miliar di kecamatan Pangaribuan, dan sekitar Rp.4 miliar di Kecamatan Pahae Julu juga tak luput dari sorotan publik.

Setelahnya, di tahun 2009, agenda Pemilihan Umum Kepala Daerah yang dilaksanakan langsung oleh rakyat di gelar pertama kali di daerah ini juga ditingkahi dugaan korupsi pengadaan alat alat Kesehatan yang diperuntukkan demi pelayanan kesehatan di setiap Puskesmas se-Taput oleh Dinas Kesehatan setempat menjadi sorotan. Tahun itu juga, Toluto melanggengkan kepemimpinannya sebagai Bupati  untuk periode kedua bersama Wakilnya, Bangkit Parulian Silaban.

Sisi baiknya, kegiatan pengerukan RapaTobing di Desa Pansurnapitu, Kecamatan Siatas Barita berhasil menyelamatkan areal persawahan warga dari terpaan luapan banjir yang sering menggagalkan musim tanam padi para petani.

Namun, persoalan mengenai pemecatan sepihak sejumlah oknum Pegawai Negeri Sipil PNS di lingkungan Pemerintahan daerah menjadi pengisi utama pembicaraan hangat di tengah masyarakat pada tahun 2010. Meski persoalan tak kunjung hilang, setidaknya, program sejumlah desa percontohan di daerah ini, semisal desa Lobuhole, Kecamatan Siatas Barita berhasil menunjukkan jika tataruang desa yang baik dapat diciptakan demi keasrian lingkungan pedesaan.

Sementara di tahun 2011, tudingan dan isu yang dihembuskan atas permasalahan dalam pengerjaan rehabilitasi Kantor Bupati Taput yang menyita keuangan daerah senilai Rp.18 miliar rentan disorot sejumlah elemen masyarakat.

Sedangkan, di tahun 2012, pengadaan buku pelajaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus, serta dugaan menyoal adanya pungutan liar hingga mencapai nilai Rp.500 ribu sebagai bandrol harga untuk pengurusan satu lembar akta kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, sempat menjadi kabar menghebohkan.

Berita mengenai daerah ini bukan malah bertambah baik. Kabar tidak sedap kembali menyeruak soal menara lonceng yang tak kunjung berdentang seperti direncanakan, meski pengerjaannya sejak jauh hari dinyatakan rampung. Proyek yang ditujukan demi peningkatan iman kerohanian masyarakat Taput sebagai poin pelengkap eksistensi wisata rohani Tarutung yang disebut merupakan salah satu mimpi terpendam Bupati Torang Lumbantobing, ternyata tidak berjalan semulus harapan. Selain itu, isu ramainya bangunan Pemerintah yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan, santer menjadi kabar menghebohkan di tahun 2013.

Dan terakhir, di tahun 2014, sebagai tahun penghujung pemerintahan Torang Lumbantobing bersama Bangkit Parulian Silaban yang berakhir tanggal 9 April 2014 lalu. Persoalan pengerjaan proyek Patung Yesus sebagai mimpi lain sang Bupati yang ingin diwujudkan, rupanya terkatung katung dan terbengkelai. Bahkan, berbagai persoalan menyangkut dugaan korupsi di tubuh intansi Perusahaan Daerah Air Minum Mual Natio menjadi sorotan tajam aparat hukum.

Fakta, isu, mimpi bisa saja berujung pada timbulnya sebuah masalah, persoalan, atau problema, besar atau kecil, sederhana atau rumit, memusingkan kepala atau tidak memusingkan kepala, tetap akan mengisi keseharian perjalanan hidup. Menjadi seorang pemegang amanah rakyat, Bupati selaku pemimpin otonomi seharusnya mampu menyikapinya secara efektif dan benar. Harapan seluruh rakyat daerah ini, kini dipundak Bupati Taput Nikson Nababan sebagai Bupati ke-21 dalam sejarah pemerintahan daerah ini. Ukiran perjalanan sejarah yang dicatatkan, kiranya menjadi torehan yang terbaik, sejalan dan seiring dengan cita cita mewujudkan kemakmuran segenap masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun