Sejarah masa lampau, Kabupaten Tapanuli Utara termasuk Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, serta Kabupaten Humbang Hasundutan. Keresidenan Tapanuli (Residentie Tapanuli) versi Hindia Belanda menempatkan Sibolga sebagai pusat pemerintahan yang dipimpin seorang residen bangsa. Wilayahnya luas meliputi 4 Afdeling, masing masing Afdeling Batak Landen, Afdeling Padang Sidempuan, Afdeling Sibolga, dan Afdeling Nias.
Afdeling Batak Landen yang dipimpin Asisten Residen atas 5 Onder Afdeling (wilayah) yang terdiri Onder Afdeling Silindung ibukotanya Tarutung, Onder Afdeling Hoovlakte Van Toba (wilayah Humbang) ibukotanya Siborongborong, Onder Afdeling Toba (wilayah Toba) ibukotanya Balige, Onder Afdeling Samosir (wilayah Samosir) ibukotanya Pangururan, serta Onder Afdeling Dairi Landen ibukotanya Sidikalang. Setiap Onder Afdeling mempunyai satu Distrik (Kewedanaan) yang dipimpin seorang Distrikchoolfd bangsa Indonesia yang disebut Demang dan membawahi beberapa Onder Distrikten (Kecamatan) yang dipimpin seorang Asisten Demang. Kemudian tiap Onder Distrik membawahi beberapa Negeri yang dipimpin seorang Kepala Negeri (Negeri Hoofd).
Sistem pemerintahan ini bertahan hingga awal tahun 1942. Sebab, di masa pendudukan Jepang atas Wilayah Indonesia tahun 1942-1945 , sistem pemerintahan mengalami perubahan, seriting penyebutan nama yang juga berubah. Dimana, Asisten Resident diganti dengan nama Gunseibu yang menguasai seluruh Tanah Batak (Tanah Batak Sityotyo)., Demang menjadi Guntyome, sebagai pemimpin atas satu wilayah (Gunyakusyo), Asisten Demang menjadi Huku Guntyo yang memimpin sebuah Kecamatan (Huku Gunyakusyo), sedangkan Kampung Hoofd diganti namanya menjadi Kepala Negeri dan Kepala Kampung.
Namun sistem pemerintahan dan penyebutan nama itu, tidak bertahan lama. Karena sejak kemerdekaan Republik ini diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, istilah Keresidenan Tapanuli masih dipertahankan. Saat itu, Dr. Ferdinan Lumbantobing duduk menjadi seorang Residen atas wilayah Afdeling yang dikemudian hari diganti dengan nama Luhak, yakni, Afdeling Batak Landen menjadi Luhak Tanah Batak yang dipimpin Luhak pertama, Cornelis Sihombing di awal jabatannya yang dikukuhkan tanggal 5 Oktober 1945 sebagai Hari Jadi daerah ini. Wilayah yang lebih kecil yakni Onder Afdeling juga mendapat perobahan nama menjadi Urung yang dipimpin seorang Kepala Urung. Begitu juga dengan istilah Onder Distrikten juga dirobah menjadi Urung Kecil dibawah pimpinan Kepala Urung Kecil. Sebutan Luhak hanya bertahan sebentar, sebab di awal tahun 1946, Luhak Tanah Batak sudah diganti namanya menjadi Kabupaten Tanah Batak yang dipimpin seorang Bupati yang menguasai 5 wilayah yakni, wilayah Silindung, wilayah Humbang, wilayah Toba, wilayah Samosir, dan wilayah Dairi yang masing masing dipimpin seorang Demang.
Setelah proklamasi kemerdekaan tersebut, Belanda kemudian beranjak meninggalkan Indonesia melalui pengesahan kedaulatan di tahun 1950. Seiring hal itu, diawal tahun, secara resmi terbentuk Kabupaten baru, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara (dulu Kabupaten Tanah Batak), Kabupaten Tapanuli Selatan (dulu Kabupaten Padang Sidempuan), Kabupaten Tapanuli Tengah (dulu Kabupaten Sibolga) dan Kabupaten Nias (nama yang sempat bertahan lama digunakan untuk sebutan Kabupaten kepulauan itu).
Khusus untuk wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, pada tahun 1956, alasan peningkatan daya guna Pemerintahan harus menjadikan Kabupaten Dairi menjadi sebuah wilayah yang terpisah sesuai UU RI No.7 DRT/1950. Demikian juga untuk percepatan laju pembangunan, pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan hasil hasil pembangunan dan stabilitas keamanan menjadi dasar alasan pembentukan Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan UU. No.12/1998, serta pemekaran Kabupaten Humbang Hasundutan yang didasari UU.No.9/2003.
Roda perjalanan Kabupaten berpenduduk mayoritas beragama kristen ini terus berputar maju. Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing yang akrab disapa Toluto, selaku pemimpin ke-20 Kabupaten ini mengawali amanah jabatannya di periode pertama tahun 2004-2009, lewat perolehan suara terbanyak dari para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada masa itu. Kepemimpinannya melanjutkan sejarah kepemimpinan tokoh tokoh sebelumnya, yakni C. Sihombing (1945-1946), HF. Situmorang (1946-1947), F. Siagian (1947-1948), RPN. Lumbantobing dan P. Manurung (1948-1949), F. Pasaribu (1950-1953), M. Purba (1954-1956), HF Situmorang (1956-1958), B. Manurung (1958), SM. Simanjuntak (1958-1963), E. Sibuea (1963-1966), Drs P. Simanjuntak (1966-1967), AV. Siahaan (1967-1968), Letkol MSM Sinaga (1968-1979), Drs. S. Sagala (1979-1984), Drs. G. Sinaga (1984-1989), Lundu Panjaitan, SH (1989-1994), Drs TMH Sinaga (1994-1999), serta Drs. RE. Nainggolan, MM (1999-2004).
Berbagai persoalan klasik terkait percepatan laju pembangunan, pertumbuhan ekonomi daerah serta pemerataan hasil pembangunan kerap menjadi keluhan masyarakat sebagai wujud belum tercapainya harapan seluruh masyarakat daerah ini. Meski demikian, periode pemerintahan Bupati Torang Lumbantobing yang diakhiri tahun 2009 masih dilanjutkan pada sistem pemilihan umum secara langsung oleh rakyat yang pertama digelar. Pemilukada Taput kembali mendudukkannya sebagai Bupati untuk periode keduanya tahun 2009-2014.
Satu dekade perjalanan Tapanuli Utara sejak awal pemerintahan Torang Lumbantobing, saya nilai menarik untuk dijadikan bahan renungan dan telaah. Sebab, baik buruk sebuah penilaian, seluruhnya tergantung pribadi setiap orang. Nilai baik sepantasnya menjadi tauladan, sementara nilai buruk setidaknya meninggalkan hikmah yang siap untuk dipetik. Karena dalam setiap perjalanan waktu, proses yang dijalankan dengan baik dan sempurna, maka layak untuk diapresiasi. Namun, jikapun penuh kekurangan, hal tersebut juga perlu diamati, demi semangat perubahan daerah ini yang lebih baik lagi ke depan.
Harapan dan mimpi demi membawa perubahan sebuah daerah menuju arah yang lebih baik, pastinya menjadi poin utama setiap orang pemimpin, tak terkecuali oleh Bupati Taput. Diawali pada tahun 2004. Keterpilihan Torang Lumbantobing bersama pasangannya Frans A. Sihombing selaku Wakil Bupati, seperti biasa berjalan hangat penuh harapan seluruh masyarakat. Mulai dari upaya menggalakkan semangat Gotong royong hingga bermacam program yang menyentuh desa desa terjauh dari pusat kota Tarutung pun dilakukan. Namun, segala sesuatu yang baik, ada saja celahnya. Sebab, Gerakan Reboisasi Hutan Nasional yang lajim disebut Gerhan sebagai satu penerapan program nasional di daerah ini langsung mendapatkan sorotan publik atas berbagai permasalahan yang terindikasi terjadi.
Tahun ke dua kepemimpinannya di 2005, permasalahan lain muncul. Kali ini, bantuan ternak sapi senilai Rp.900 juta yang dipusatkan untuk wilayah Kecamatan Pangaribuan, tepatnya di Desa Lumban Sinaga menjadi bahan pergunjingan opini publik. Sarat indikasi persoalan terkait bantuan ini dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut.