Tujuh tahun sudah aku berada di kota ini, tak banyak perubahan berarti dalam hidupku. Apalagi dalam karir ataupun dalam pekerjaan ku, yang ternyata hanya cukup mengais seberkas rezeki. Yang hari ini mungkin ada, tapi besok sudah akan habis alias tak berwujud lagi. Â
Setiap harinya yang kupandangi, jari-jariku kini yang mulai menebal setiap kali aku menjadi kuli ban di kota besar ini. Sebab hanya ini yang bisa ku kerjakan setiap harinya. Kemampuan lain yang lebih baik dari ini seakan sulit kumiliki.
Mau menyesal juga percuma. Mengingat dimasa-masa orang tua ku yang kerap memaksaku untuk segera lanjut kuliah, supaya kehidupanku kelak bisa lebih baik darinya saat itu. Tapi keputusanku bulat, aku lebih memilih bekerja. Â
Meskipun keluarga kami sederhana, tapi sosok Ayah sosok pekerja keras dan tak tampak sedikitpun kerutan rasa lelah tiak terpancar di mukanya yang kokoh itu. Dimana setiap kali ia pulang melaut, seberapapun ikan yang didapatkannya selalu dipenuhi dengan ucapan syukur.
Disamping itu, sosok ibuku yang selalu menjadi penolong yang setia bagi ayahku. Tak pernah kulihat wajahnya mengeluh sedikitpun. Â
Kini Aku harus melanjutkan hidup bersama dengan adikku laki-laki yang sudah tiga tahun bersamaku. Meskipun saat-saat kondisi ekonomi yang boleh dibilang memprihantikan, tapi aku masih bisa sanggup membantu ala kadarnya untuk biaya pendidikan dan seluruh biaya kesehariannya.
Patar  akan segera menyelesaikan SMA-nya. Dan sebelumnya dirinya pernah kutanya tentang apa yang akan dia lakukan setelah ini.
"Tar...habis kau SMA, apa rencanamu, masih lanjut kuliah atau ?"
"Aku pilih kuliah, Bang Ngot"
"Oh baguslah itu. Jangan kayak abangmu ini kau nanti" Â Â
Sebentar lagi lebaran, dan lahir dari salah satu suku yang ada di Sumatera Utara, terkadang menjadi sebuah beban tersendiri bagiku. Pasalnya diriku yang masih menjomblo pada usiaku yang sudah dua tahun kepala tiga.