Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan sudah Magister S2 dari Kota Yogya, kini berharap lanjut sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"People Power" dan Kebebasan Berpendapat yang Kebablasan

9 Mei 2019   22:18 Diperbarui: 9 Mei 2019   22:49 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapak Kapolri sudah mengingatkan jauh-jauh sebelumnya tentang penyebutan yang mereka istilahkan dengan sebutan 'People Power'. Dimana seperti yang dilansir oleh news.detik.com (7/5/2019), Ia mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat memang sudah diatur dalam UU No 9/1998. Tapi meskipun demikian hak tersebut memiliki batasan yang harus dipatuhi juga.

"Meski dilindungi UU 98, itu tidak absolut. Kita tahu itu UU 98 ini mengadopsi aturan kebebasan berekspresi. UU itu mengadopsi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2019).

Dimana jika kebebasan berpendapat mengarah kepada terancamnya stabilitas keamanan nasional, maka hal itu bisa langsung dipidanakan. Beliau menyebutkan ada 4 limitasi yang harus dipatuhi. Yaitu Pertama, tidak mengganggu ketertiban publik; kedua, tidak mengganggu hak asasi; ketiga tidak melanggar etika dan moral. Keempat, dalam bahasa ICCPR, tidak boleh mengancam keamanan nasional.

Kemudian dalam ketentuan pada Pasal 15 UU 9/1998, tertulis bahwa pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat dibubarkan.  Jika massa enggan bubar, mereka dapat dikenai pidana. Massa-pun dapat dijerat dengan KUHP.

Maka aksi people power kali ini yang bisa dibilang membela kepentingan paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandi, sesungguhnya adalah kebebasan berpendapat yang terlalu kebablasan. Sebab jika memang punya bukti, seharusnya bisa sabar menunggu hasil hitung resmi KPU pada tanggal 22 Mei nanti. Kemudian bukti-bukti valid tersebut bisa dibawakan ke MK, sebagai lembaga terakhir yang akan menentukan apakah keputusan KPU tersebut salah atau tidak.

Untungnya kerumunan massa yang berkisar ratusan orang saja tersebut langsung bubar. Dan seperti yang dilansir oleh news.detik.com (9/5/2019) akhirnya demo tersebut batal dan membubarkan diri. Pertama disamping karena memang sama sekali tidak bisa menunjukkan ijin keramaian untuk melakukan aksi dari pihak yang berwewang, juga mereka sudah mengganggu hak publik pengguna jalan yang harus melewati jalan tersebut.

Seandainya massa tersebut tidak segera membubarkan diri mereka maka berdasarkan UU seperti di atas tadi, merekapun bisa langsung dipidanakan. Kemudian ketika kita ngecek lewat video yang beredar yang banyak beredar, orang-orang hadir disana untuk melakukan aksinya adalah dominan emak-emak.

Tapi khusus kepada kedua orang yang menggagas aksi tersebut, yakni Bapak Eggi Sudjana langsung dijadikan tersangka, setelah satu hari sebelum pelaksanaan aksi pada hari ini, Kamis (9/5). Meskipun dia sudah dijadikan tersangka ternyata masih ikut bergabung dalam unjuk rasa tersebut, yang meminta supaya Bawaslu segera mengumumkan bahwa pemilu kali sudah mengalami kecurangan yang massif. Sedangkan Kivlan Zen masih status dilaporkan, belum naik jadi tersangka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun