Ini curhatan keduaku. Setelah pertama pengakuan dosaku sebagai seorang penulis. Dan inilah mungkin enaknya seorang penulis. Lewat menulis bisa mendorong kita tetap kritis, semakin kuat jika ingin menganalisis sesuatu hal. Dan ini kan membuat seorang penulis makin lama makin sehat. Jauh dari yang namanya kepikunan.
Dan satu yang tak diragukan lagi bisa menambah banyak relasi di dunia maya. Disamping itu mungkin ada tambahan-tambahan rejeki di sela-selanya.
Kembali ke topik yang akan saya bahas. Sebab ini melihat keluargaku sendiri, bagaimana berkaca dari apa yang menjadi harapan orang tua ku semenjak masa mudanya? Kutemukan ada makna-makna terdalam di dalam tiap pengalaman yang ia rengkuh setiap harinya.
Ia menjadi pekerja buruh di dalam suatu perusahaan. Dan sejak aku masih diasuhnya hingga akupun bisa kuliah, dia hanya masuk ke dua perusahaan saja yang status perusahaannya PT (Perseroan Terbatas). Ada banyak kisah di masa kecilku bersamanya. Terutama saat hari buruh. Dan aku akhirnya diperkenalkan dengan satu nama, Mochtar Pakpahan, sebagai presiden buruh saat itu.
Karena ia seorang supir, maka saat itu, mobil truk perusahaan yang selalu ia bawa menjadi kendaraan yang ditompangi mereka untuk pergi berunjuk rasa di depan kantor walikota. Menuntut suatu hal yang di dalam otak kecilku yang mungkin belum mampu mengerti sedang apa gerangan, ngapain  ngumpul-ngumpul sebanyak itu.
Tapi satu yang pasti ku ketahui, saat diajak Among (pangilan seorang anak Batak yang artinya Bapak) ikut naik mobil truk perusahaan untuk antar es-es balok yang akan dipakai banyak tangkahan atau tempat pembongkaran ikan, maka itu adalah hari yang sangat menyenangkan di dalam hidupku.
Sehingga pernah suatu kejadian, aku ditinggal sendirian di kap truk tersebut. Karena Among sedang akan bongkar muat es-es baloknya. Aku memencet pedal gas truk tersebut. Akhirnya truk tersebut maju perlahan-lahan, untung Amongku bisa sigap membuka pintu dan memberhentikan truk tersebut. Aku ketakutan karena mobilnyapun berjalan. Sungguh pengalaman yang tak kan terlupakan.
Aku bersyukur dan tetap bangga kepada mereka. Karena mereka tetap optimis untuk menolong kami anak-anaknya. Hingga akhirnya aku-pun bisa menyelesaikan kuliahku di Medan. Dengan kondisi Among yang tetap setia menjadi pegawai buruh. Ternyata beliau sanggup menyekolahkan aku bisa menyelesaikan pendidikanku di tingkat perguruan tinggi.
Dan kini ketika aku-pun sudah berkeluarga, serasa aku belum bisa membalas jasa-jasa kebaikan mereka selama ini. Apalagi jika ingin memberikan mereka sebuah tempat tinggal yang layak bagi mereka. Karena ternyata kesanggupanku sebagai seorang guru hanya sanggup untuk memenuhkan kebutuhan keseharian keluargaku saja. Dan hanya bisa mengirimkan sesekali saja berkat yang ada pada kami ke mereka.
Mungkin ada benarnya, jika pilihan menjadi seorang buruh mimpi untuk memiliki sebuah rumah yang layak huni mungkin agak sulit terealisasi. Sebab untuk bisa menabung saja agak sulit karena untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Apalagi bertepatan saat aku kemarin akan kuliah. Persediaan-persediaan mereka mungkin agak terkuras.
Jaminan hari tuanya yang sudah dia ambil beberapa tahun yang lalu-pun ternyata tidak sanggup untuk mewujudkan mimpinya bisa punya rumah. Hanya sanggup untuk membelikan sebuah becak yang kini tetap ia pakai sampai sekarang. Di masa tuanya-pun, ternyata ia harus kerap bekerja keras. Tapi rasa mengeluh sedikitpun tak terpampang di wajahnya.