Pilihan untuk tidak menggunakan hak suara alias golput (golongan putih) sebenarnya sangat beresiko bagi kemajuan suatu bangsa. Dimana akibatnya sudah dirasakan oleh Inggris saat ini. Yakni saat mereka melakukan sebuah referendum (bertanya lewat pemilihan umum) apakah mereka akan keluar dari Uni Eropa (UE) alias brexit atau tetap bertahan dan menjadi satu bagian dengan Uni Eropa.
Seperti yang dilansir oleh kompas.id (5/4/2019), mereka menyesali putusan mereka untuk tidak menggunakan hak suara mereka di Inggris pada saat referendum tiga tahun lalu. Dimana akhirnya mereka yang setuju Brexit menang tipis dari orang yang menolak untuk melakukan Brexit.
Yakni dari 46,5 juta pemilih terdaftar, ada sekitar 33,5 juta orang hadir dan datang ke bilik suara pada Kamis pagi hingga sore yang diselingi hujan itu. Tepatnya pada tanggal 23 Juni 2016. Â Akhirnya setelah kotak suara ditutup, diketahui hasilnya 17,4 juta pemilih setuju Inggris untuk meninggalkan UE alias Brexit. Sementara 16,1 juta pemilik suara menolak Brexit dan ingin Inggris tetap bersama UE.
Dan barisan yang tidak menggunakan suara mereka ada sekitar 12,9 juta pemilih. Mereka memilih untuk tidak hadir di bilik suara pada saat itu. Setelah dominan masyarakat Inggris yang memilih untuk keluar dari UE hasil dari referendum tersebut, Inggris-pun segera memulai proses keluar dari UE.
Mereka yang golput saat referendum lalu, diperkirakan ada sekitar 55 persen yang tidak setuju keluar dari UE. Itu berarti mayoritas warga Inggris lebih memlih bergabung dengan negara-negara UE.Tapi karena ketidakhadiran mereka, maka pemenangnya adalah mereka-mereka yang setuju untuk melakukan Brexit.
Mereka mengaku menyesal tidak memilih saat itu satu alasannya karena pada saat itu sedang hujan. Sehingga membuat mereka malas pergi ke TPS (tempat pemungutan suara). Tapi kini menyesal sepertinya tiada berguna lagi.
Hasilnya kini mereka harus menanggung banyak kerugian setelah mereka keluar dari UE. Adapun dampaknya, banyak perusahaan-perusahaan Internasional ataupun Bank-Bank dunia yang awal kantor pusat mereka berada di Inggris, mendadak dalam tiga tahun ini, sudah memilih untuk keluar atau pindah dari Inggris.
Salah satunya Bank of America sudah menghabiskan USD 400 juta untuk memindahkan Bank-nya dari Inggris ke Dublin, Irlandia. Dan berdasarkan riset independen Inggris, ada sekitar 250 perusahaan perbankan dan keuangan memindahkan baik itu bisnis, pekerja, aset dan badan hukumnya ke negara-negara lain.
Karena menimbang bahwa Inggris sebagai pintu untuk bisa menjamah pasar Eropa lainnya, kini hal itu sudah tidak memungkinkan lagi, karena Inggris sendiri menutup pintu mereka dari negara-negara Uni Eropa.
Akibatnya juga pertumbuhan ekonomi mereka tidak lebih dari 1,5 persen, bahkan hanya mencapai 1,2 persen saja. Sangat terburuk dibandingkan dengan masa-masa krisis dunia 1998 lalu.
Bukan hanya itu, Nissan-pun membatalkan pembangunan pabrik di Sunderland. Sementara Honda akan menutup pabrik di Swindon secara bertahap hingga 2021. Penutupan pabrik itu membuat 3.500 orang akan kehilangan pekerjaan.