Di akhir tahun 2018 ini, terbongkar setidaknya dua kasus pelecehan yang dialami oleh seorang perempuan dewasa yang sudah bekerja. Tapi siapa sangka tempat kerja yang seharusnya bisa membawa perubahan yang lebih baik di dalam keluarganya, Â malah menjadi tempat petaka akibat perlakuan bejat yang dilakukan oleh bos-nya sendiri.
Kasus pertama, kasus yang menimpa seorang staf sekolah, yang dilecehkan oleh sang kepala sekolah-nya sendiri. Ibu Nuril sendiri sampai merekam pembicaraan mesum dari sang kepala sekolah yang malah akhirnya mendapatkan promosi jabatan ke tingkat daerah Mataram. Sedangkan ibu Nuril sendiri akhirnya malah mendapatkan vonis bersalah oleh MA sendiri, karena tindakannya merekam dikenakan pasal UU ITE, dengan vonis penjara 6 bulan dan denda Rp.500 juta.
Kasusnya sendiri bermula di tahun 2014 dan akhirnya dilaporkan kepihak yang berwewenang. Meski menang di akhir tahun 2017 di tingkat pengadilan pertama dan kedua, terakhir di tingkat MA malah menuai kekalahan dalam sidang. Banyak yang simpati kepada beliau, sehingga warganet mulai menggalang dana hingga akhirnya terkumpul uang denda tersebut. Sebab faktanya PK yang akan diajukan kembali tidak akan menyurutkan vonis hukum. Yang berlaku hanya penundaan eksekusi saja.
Melalui komnas perempuan, Nuril dan kuasa hukumnya sudah melaporkan lagi perbuatan sang kepala sekolah tersebut kepada Kepolisian Polda NTB, pada bulan November lalu supaya si pelaku bisa terkena hukuman juga.
Kasus yang kedua juga menimpa sang bawahan. Dimana seperti yang dilansir oleh kompas.com (28/12/2018), seorang staf dewan Pengawas BPJS akhirnya mendapatkan pemecatan setelah dirinya melaporkan perbuatan sang bos sendiri di kepengawasan BPJS. Beliau berinisial RA (27 tahun), bahkan sudah mendapatkan perlakuan perkosaan hingga pelecahan seksual, sejak April 2016 lalu hingga November 2018.
Dan laporannya sudah masuk kepihak yang berwenang, dan kini sedang melakukan proses penyidikan lebih lanjut. Meski tidak seperti Ibu Nuril melakukan penyadapan, tapi seakan tindakan kekerasan yang dialami oleh wanita mengisyaratkan bahwa perlindungan hukum kepada mereka sangat betul-betul lemah.
Sudah jadi korban, malah akhirnya dinyatakan bersalah, didenda bahkan dipecat. Semoga ini bisa menjadi perhatian kita bersama.
Dua kasus di atas adalah kasus yang baru terungkap ke publik, bagaimana kasus lainnya yang belum terungkap ke publik? Bagaimana mereka bisa berani untuk mengungkapkan sementara orang yang berani melaporkan-pun malah dianggap bersalah dan bahkan divonis hukuman yang tidak setimpal dengan para pelakunya?
Ini tentu terjadi karena kinerja DPR kita yang seakan lamban. Lamban dalam memutuskan banyaknya rancangan undang-undang yang harus ngantri di paripurnakan oleh para dewan terhormat kita. Dan salah satunya adalah perihal  RUU penghapusan kekerasan seksual kepada perempuan-perempuan yang ada.
Dan mengenai hal ini-pun DPR kita malah meminta supaya kinerja mereka dimaklumi. Karena sedang lagi sibuk kampanye untuk pemilihan mereka kembali supaya terpilih pada pemilihan legislatif yang sebentar lagi akan dimulai. Â Padahal sudah banyak jatuh korban karena RUU-nya lama untuk segera disahkan menjadi UU yang berlaku ditanah air ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H