Negara kita, memang terletak di cincin api, itu artinya kita memang rawan terhadap bencana yang mungkin terjadi. Seakan belum selesai duka-duka yang lama, kali ini kita kembali diselimuti duka kembali. Duka seakan tiada berhenti di alam Indonesia yang kita cintai ini.
Habis duka di Lombok, penanganan serta pemulihan yang dikerjakan masih tetap dilakukan, terjadi lagi duka di Palu, Sigi dan Donggala. Kembali belum usai penanganan dan pemulihan di sana, dan dukanya masih terasa sampai sekarang, muncul lagi duka dari rekan-rekan kita yang ada di Banten.
Dimana seperti yang dilansir oleh Kompas.com (23/12/2018), sudah ada beberapa kali tsunami meskipun dengan gelombang yang kecil sebelum akhirnya tsunami yang besar yang kini menyisahkan kerusakan yang begitu hebatnya.
Dan menurut data BNPB terakhir, data yang diungkapkan oleh Bapak Sutopo, Humas BNPB, bahwa sudah ada 62 orang dikabarkan meninggal, 485 orang terluka dan masih ada 20 orang yang hilang. Berikut 3 fakta yang menyelimuti duka tsunami Banten.
Pertama, Tsunami ini mirip dengan tsunami di Palu dan Donggala. Dimana hal ini diakui  oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati. Sebab tsunaminya periodenya (panjang gelombangnya) pendek-pendek, yang diduga terjadi karena akibat lemparan dari letusan Gunung Anak Krakatau. Sehingga menimbulkan adanya pergerakan lempeng dasar laut yang menimbulkan tsunami.
Kedua, tsunami ini mirip juga kejadiannya ketika Tsunami Aceh, 14 tahun yang lalu. Dimana kejadiannya menjelang akan memasuki hari natal. Tsunami Aceh waktu lalu terjadi pada tanggal 24/12/2004 yang lalu. Sedangkan tsunami Banten terjadi 22/12/2018.
Ketiga, band kebanggaan Indonesia, Seventeen ternyata terkena dampaknya. Bahkan dikabarkan sang basis dan sang manajer telah meninggal dunia. Istri dari sang vokalis, Irfan, bersama dua rekannya yang lain, pemain gitar dan drum masih hilang.
Pentingnya Narasi Komunikasi yang PositifÂ
Kenapa hal ini penting untuk kita jaga? Ada dua hal penyebabnya. Yaitu, Â pertama, sebab tak sedikit orang, khususnya para politikus kita malah memanfaatkan kemalangan orang lain seperti peristiwa bencana sebagai alat untuk memperbesar daya elektoralnya. Bahkan tak jarang menyindir pemerintahan sekarang ini, dengan mengatakan lambatlah pelayanannya, dan lain sebagainya.
Padahal apa yang terjadi? Kabar tersebut bohong. Dan hal ini tentu semakin meresahkan warga dan tentu menambah penderitaan kita sebagai masyarakat Indonesia. Oleh karena itu penekanannya penting untuk tidak menyebarkan kabar-kabar yang kebenarnnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.